oleh: Merry Kurnia

Tahun 1918 ada 3250  buruh paksa rang rante (ketting ganger)  yang hidup dalam kondisi perantaian di tambang batu bara Sawahlunto, mereka hidup dalam pelukan penderitaan dan balutan keputusasaan. Raga mereka dipaksa menjadi ujung tombak  membolak balikkan perut Sawahlunto menggali emas-emas hitam demi jutaan gulden untuk kolonial Belanda. Emas emas hitam inilah yang menjaga mesin- mesin uap agar terus berjalan dan memuaskan dahaga manusia- manusia imprealis akan kekuasaan dan kesenangan.

Malang nian nasibmu urang rantai, hak sebagai manusia sudah dicabut paksa. Mereka bekerja tidak mengenal letih, membanting tulang siang dan malam namun dibayar dengan upah paling rendah. Hal yang paling miris adalah mereka tidak lagi punya nama, mereka dikenal lewat nomor dan stempel yang melekat di tubuhnya. Sungguh tak berharga dan terhinakan, hak mereka hilang dalam lubang-lubang tambang hitam, sehitam nasibnya sebagai manusia yang tidak dimanusiakan.

Salah satu tempat yang dijadikan penampungan para pekerja dengan stempel huruf dan angka itu adalah penjara Sunge Duren (sungai durian). Penjara yang menyimput sejarah kelam orang rantai ini sudah ditumbuhi ilalang, disisa-sisa dinding penjara masih bisa dilihat paku pecahan batu bara yang tajam, dan pecahan beling tempel, tujuannya jelas perkelahian dan pertikaian sesama buruh yang berasal dari berbagai etnik di Nusantara( Elsa puti E Syafril). Perkelahian yang berujung kematian sering terjadi, hal ini menandakan keputusasaan dan penderitaan tak sanggup lagi mereka pikul, mereka berasal dari berbagai etnik di Nusantara dengan budaya yang berbeda yang bisa saja memicu konflik. Hal-hal kecil bisa menjadi pemantik pertikaian dan hanya yang saktilah yang bisa menjadi pemenang dan yang kalah akan menjadi kuburan bernisan kecil tak bernama, hanya nomor-nomor menjadi penanda seakan akan yang terkubur disana hanya seonggok bangkai yang tidak berharga.

penjara sungai durian
Penjara sungai durian masa kolonial
Sumber KTILV

Sebagai buruh paksa, mereka bekerja paling keras namun mereka diperlakukan berbeda karena di cap sebagai sampah masyarakat yang diambil dari berbagai penjara di Hindia belanda. Pada tanggal 12 oktober 1912, terjadi perkelahian besar antara buruh paksa dan kontrak yang memakan korban jiwa dari kedua belah pihak, 4 orang dari buruh paksa dan 8 korban dari buruh kontrak. Atas perkelahian tersebut pihak tambang menjatuhkan hukuman yang tidak seimbang, buruh kontrak dibiarkan bebas sedangkan buruh paksa mendapatkan cambukan yang menanggalkan kulit dari daging.

Untuk meningkatkan produksi emas hitam, pemerintah melakukan pengendalian terorganisir bagi pekerja untuk menciptakan susana kerja yang tertib. Buruh-buruh bekerja di bawah pengawasan seorang mandor yang bertanggung jawab kepada pengawas atas jalannya proses produksi batu bara. Mandor kadang berbuat kurang ajar dengan memaksa buruh bekerja diluar batas kekuatan manusia bahkan mandor sering memperlakukan kuli dengan kasar secara fisik dan verbal pukulan dan cambukan merupakan makanan sehari- hari kuli. 

Urang rantai juga dikenal urang lubang, karena mereka hidup dalam lubang-lubang tambang. Hidup dalam lubang-lubang tambang tanpa cahaya matahri membuat raga mereka cepat menua, berkali kali lipat dari umurnya. Mereka tak berhenti menghujamkan linggis mengeruk perut bumi sawahlunto dalam keadaan kaki dirantai, kematian bagi mereka ibaratkan angin yang bisa saja datang tiba-tiba karena bisa saja tiba-tiba lubang yang mereka gali mengeluarkan gas beracun yang bisa meloloskan roh dari raga. pihak tambang tidak menghargai mereka karena dianggap bajingan (pelanggar hukum berat), pemberontakan sering terjadi antara kelompok mereka seperti melakukan pembunuhan pada mandor. Keputusasaan dan penderitaan menjadikan mereka selalu berusaha untuk melarikan diri dari lubang-lubang tambang, mengingat hal tersebut pihak tambang kemudian membangun penjara yang terhubung langsung dengan lubang-lubang tambang.Sejak dibangunnya penjara ini maka buruh bisa diproteksi oleh pihak tambang sehingga tidak ada lagi buruh paksa yang bisa melarikan diri, sudah bisa dipastikan mereka hidup dan mati dalam lubang tambang ataupun penjara.