Revitalisasi bertujuan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting  dari cagar budaya dengan penyesuaian baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Cagar budaya yang dimaksud jika sudah tidak sesuai dengan sebagaimana bentuk dan fungsi aslinya sehingga bertentangan dengan prinsip pelestarian dan kebudayaan, akan menciptakan nilai-nilai baru yang tidak seharusnya.  Nilai baru tersebut juga dapat menghilangkan nilai asli yang dimilki cagar budaya tersebut.

Revitalisasi pada situs dan kawasan cagar budaya berguna untuk memunculkan potensinya dengan memperhatikan tata ruang, tata letak, fungsi sosial, dan/atau lansekap budaya asli berdasarkan kajian. Revitalisasi ini dilakukan dengan menata kembali fungsi ruang, nilai budaya, dan penguatan informasi tentang cagar budaya, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya pada pasal 80 ayat (1) dan (2). Mengikuti prinsip pengembangan pada umumnya, revitalisasi harus memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dalam Revitalisasi yang menjadi landasan utama untuk dapat dilakukan revitalisasi adalah kesiapan cagar budaya itu sendiri untuk direvitalisasi. Oleh sebab itu, dibutuhkan penanganan dan pengamatan terhadap kesiapannya, jika belum siap maka akan dilakukan tahap pendahuluan, seperti konservasi atau pemugaran jika diperlukan.

Revitalisasi sebagai upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kawasan yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Mengatasi masalah tersebut, maka dibutuhkan  revitalisasi yang  mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat).

Kegiatan konservasi bisa berbentuk preservasi dan pada saat yang sama melakukan pembangunan atau pengembangan, restorasi, replikasi, reskontruksi, revitalisasi dan atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu. Untuk melakukannya perlu upaya lintas sektoral, multidimensi dan disiplin serta berkelanjutan. Kegiatan revitalisasi dapat dilakukan dari aspek keunikan lokasi dan tempat bersejarah. Demikian juga, revitalisasi juga dilakukan dalam rangka untuk mengubah citra suatu kawasan.

Bangunan cagar budaya dalam tindakan revitalisasi membutuhkan suatu kajian fisik. Kajian fisik ini yang dimaksud ialah mempelajari tentang fisik yang terlihat maupun yang memiliki makna sosial di dalam daerah tertentu, fungsinya, sejarah, atau bahkan dari namanya. Hal ini akan mengulas tentang persoalan bentuk yang terlihat dan diambil bahwa dalam bentuk desain yang sebenarnya harus digunakan untuk  memperkuat makna dan tidak meniadakan sesuatu makna yang sudah ada  sebelumnya.  

Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi  melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi  hal-hal seperti intervensi fisik, Rehabilitasi ekonomi dan Revitalisasi sosial/institusional. Intervensi Fisik erat kaitannya dengan kondisi visual  kawasan khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini  perlu dilakukan. Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan  dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan  kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, system tanda/reklame dan  ruang terbuka kawasan (urban realm). Isu lingkungan (environmental sustainability) pun menjadi penting, sehingga intervensi fisik pun sudah  semestinya memperhatikan konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus  dilandasi pemikiran jangka panjang.

Rehabilitasi ekonomi merupakan upaya mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic  development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan. Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Dalam  konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).

Revitalisasi sebuah bangunan akan terukur bila mampu menciptakan  lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar membuat beautiful  place. Kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan  dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga (public realms). Kegiatan  perancangan dan pembangunan situs/kawasan untuk menciptakan lingkungan sosial yang  berjati diri (place making) dan hal ini pun selanjutnya perlu didukung oleh suatu  pengembangan institusi yang baik.

Pada dasarnya revitalisasi  merupakan tata cara pengelolaan atau penanganan terhadap cagar budaya secara jangka panjang. Mulai dari permasalahan keterawatan hingga pemanfaatan yang memberi kesejahteraan kepada masyarakat. Selain itu, diperoleh data-data dampak potensial terhadap pengembangan (adaptasi dan revitalisasi) sebuah Cagar Budaya  sehingga diperoleh rekomendasi agar setiap upaya pengembangan Cagar Budaya dapat terkendali dan sesuai aturan Undang-Undang khususnya di wilayah kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau.