Aulia Rahman

Pulang Bulang termasuk kawasan Batam dan Pulau-pulau sekitarnya sejak zaman klasik tidak pernah sepi dari aktivitas perdagangan. Bagaimana tidak, Pulau-Pulau yang berada di Kawasan ini bahkan Kepulauan Riau sendiri sudah menjadi magnet dan posisi strategis sejak zaman peradaban Rempah di Kawasan Perairan Timur Sumatera ini. Pulau-pulau di kawasan ini menjadi Geopolitik dalam pusaran kerajaan Melayu Riau Johor Pahang dan bermula sejak Selat Malaka menjadi jalur internasional perdagangan dunia, Pulau-pulau di kawasan ini tidak pula sepi dari segala percaturan dan hegemoni politik, asimilasi budaya.

Peta Sumatera Dungan Posisi yang strategis Sumber https://res.cloudinary.com/usman82/image/upload/v1572321831/Negeri_Ophir.jpg

hegemoni politik, asimilasi budaya berupa interaksi sosial dan aktivitas ekonomi pada abad ke 7-ke 20 bahkan sampai sekarang terus berlangsung. Salah satu pulau yang juga menjadi tempat hegemoni berlangsung yakni pulau Bulang. Pulau ini meninggakan sisa jan jejak bahwa kawasan ini pernah menjadi perhatian penuh oleh Kerajaan Melayu Riau Johor dan Pahang. Dalam system ketetanegaraan kerajaan ini ditempakan seorang pembesar kerajaan dengan gelar yang tidak kalah penting.

Sesunguhnya, peristiwa pembagian wilayah ‎‎“permakanan” antara Yang Dipertuan Muda dan Yang ‎Dipertuan Besar Riau-Johor-Lingga-dan Pahang pasca ‎‎‘Perdamaian Kuala Bulang’ pada tahun 1803, juga berlaku ‎untuk keluarga Temenggung yang mendapat kuasa ‎memegang perentah atas pulau Bulang dan pulau-pulau ‎sekitarnya.‎ Sejak saat itu, perlahan-lahan pulau Bulang telah ‎tumbuh menjadi kawasan penting diluar wilayah ‎‎‘permakanan’ Yang Dipertuan Muda dan Sultan Yang ‎Dipertuan Besar dalam kerajaan Riau-Johor-Lingga-dan ‎Pahang. Kedudukannya juga setarap dengan wilayah Pahang ‎di Semenanjung yang merupakan pegangan Bendahara.‎

Komplek Makam Temenggung Abdul Jamal (BPCB Sumbar 2017)

Peranan Pulau Bulang sebagai ‎basis daerah perintah Temenggung sejak tahun 1722 hingga ‎‎1824, dan dua pendapat tentang asal-usul nama pulau ‎Bulang.‎ Sejumlah bahan sumber Melayu dan Eropa mencatat ‎bahwa pulau Bulang pernah memainkan peranan yang cukup ‎penting dalam peristiwa sejarah di kawasan Selat Melaka. ‎Dalam Sejarah Melayu atau Sulalatus Salatin umpamanya, ‎nama pulau Bulang paling tidak telah dicatat dalam ‎kaitannya serangan-serangan Portugis terhadap pusat ‎pertahanan Sultan Mahmud Syah, Sultan Melaka yang ‎menyingkir ke Pulau Bintan.‎ sejak tahun 1722 pulau ini telah dijadikan ‎‎“markas besar’ keluarga Temenggung yang merupakan ‎cabang kecil dinasti Bendahara yang memerintah Riau-‎Lingga-Johor-dan Pahang.‎

Sebuah laporan Portugis juga mencatat bahwa kawasan ‎sekitar pulau Bulang telah terkenal sebagai pelabuhan dagang ‎sejak tiga puluh lima tahun sebelum Laksamana Tun Abdul ‎Abdul Jamil dari Johor (Lama) diutus membuka sebuah ‎negeri baru di pulau Bintan yang kemudian dikenal sebagai ‎‎“bandar dagang” bernama Riau pada tahun 1673.

Tumenggung, begitulah gelar itu disematkan untuk perwakilan Kerajaan Melayu Riau Johor dan Pahang. Gelar ini bukan gelar biasa namun gelar ini menjadi symbol kerajaan. Temenggung merupakan salah satu dari empat ‎pemegang cap mohor di bawah sultan dan raja. Cap mohor ‎itu juga diiringi dengan kepemilikan bendera yang disebut ‎bendera Fajar Menyingsing.‎ Penempatan jabatan Temenggung di Pulau Bulang ‎menjadi indikator bahwa pulau tersebut adalah sebuah ‎kawasan penting pada masa eksistensi Kerajaan Melayu, ‎Johor dan Pahang.

Menapaki jejak pembesar kerajaan ini dapat ditelusuri dari Kota Batam Centre naik Taksi ke Pelabuhan Sagalung, naik kapal Pompom (Kapal Pancung), setiba di pulau Buluh naik Kapal Kancung menuju Pulau Bulang, jalan kaki 10 menit akan ditemui sebuah peninggalan seorang pembesar Pulau Bulang yang menjadi kawasan dari Kota Batam, pada masa kerajaan Kerajaan Melayu Riau Johor dan Pahang ditempatkan seorang tumenggung bernama Tun Abdul Jamal, ‎diperkirakan lahir sekitar tahun 1720. Tun Abdul Jamal ‎merupakan putra dari Tun Abbas Datuk Bendahara Sri ‎Maharaja Johor Ibnu Sultan Jalil Riayat Syah. ‎Temenggung tersebut berkedudukan di Pulau Bulang ‎hingga tahun 1811 M dipindah ke Singapura oleh ‎Temenggung berikutnya yaitu Tun Abdul Rahman.

Pulau Bulang adalah ‘cradle’ atau ‘buaian’ bagi ‎Temenggung-Temenggung penting dalam sejarah Riau-‎Lingga-Johor-dan Pahang sebelum mereka pindah ke ‎Singapura, dan kemudian dapat ‘merebut’ tahta Sultan atas ‎Singapura dan Johor pasca Traktat London 1824. Warisan ‎itulah yang kemudian berlanjut sampai kepada Sultan Johor ‎‎‘modern’ pada hari ini.‎ Temenggung Abdulrahman, meskipun telah pindah ‎dari pulau Bulang ke Singapura pada tahun 1811, juga ‎dilaporkan telah memulai karirnya sebagai Temenggung di ‎Pulau Bulang.‎

Menurut sejarawan Carl A. Trocki dalam bukunya ‎yang kontroversial, Prinse of Pirates; The Temenggongs and ‎the Development of Johor and Singapore 1785-1885 (1979), ‎selama lebih dari empat generasi yang dimulai dengan ‎Bendahara Tun Abbas, pulau Bulang telah menjadi basis ‎penting keluarga Temenggung hingga menjelang ‎Temenggung Abdulrahman pindah ke Singapura pada tahun ‎‎1811.‎

Bahkan dalam catatan Trocki, Bendahara Tun Abbas, ‎ayah Temenggung Abdul Jamal, juga telah dimakamkan di ‎pulau Bulang, seperti halnya Temenggung Abdul Jamal dan ‎puteranya yang bernama Engku Muda Raja Muhamad. ‎Pendapat Trocki ini agak bertentangan dengan pendapat lain ‎yang menyebutkan makam Tun Abbas berada di Hulu Riau, ‎berhampiran dengan makam Daeng Marewah Yang ‎Dipertuan Muda Riau I.‎ Walaupun berbasis di Pulau Bulang, dalam ‎kenyataannya pemegang jabatan Temenggung tersebut tidak ‎pernah digelar sebagai Temenggung Bulang. Sebaliknya, ‎sejumlah sumber menunjukkan bawa jabatan Temenggung ini ‎selalu dikaitkan dengan pusat utama kerajaan yang berada di ‎Riau. ‎ Sejak tahun 1804, kedudukan pulau Bulang dalam ‎sejarah Temenggung Riau-Johor, barangkali dapatlah ‎disamakan dengan kedudukan dan arti penting pulau ‎Penyengat dan Lingga dalam sejarah keluarga Yang ‎Dipertuan Muda dan Yang Dipertuan Besar Riau-Lingga-‎Johor-dan Pahang- jika perbandingan ini harus dibuat.

Secara arkeologis makam yang dideskripsi adalah ‎makam utama yaitu Makam Temenggung Abdul Jamil. ‎Makam tersebut berbentuk silinder dengan orientasi utara-‎selatan. Orientasi dan bentuk makam mencirikan makam ‎tersebut makam islam. Nisan makam dibentuk dari batu tuff dengan pola ‎silinder. Nisan tersebut memiliki diameter 26 cm dengan ‎tinggi 84 cm dari tanah penutup kaki nisan.‎ Sementara itu, di luar komplek makam utama terdapat ‎sebuah makam yang sangat indah. Tipe makam tersebut ‎adalah tipe Aceh yang memiliki tanduk dengan ukiran yang ‎sangat halus. Akan tetapi, belum ditemukan informasi ‎mengenai siapa yang tokoh yang dimakamkan pada tempat ‎tersebut.‎

‎‎Pada tahun 1843, seorang pengamat Eropa lainnya ‎bernama Horsburg melaporkan, “Teluk Boolang, di pulau ‎Battam, atau Pulo Battam, terletak kira-kira 13 atau 14 miles ‎sebelah Tenggara Singapura, menyediakan tempat berlabuh ‎yang aman, dan sering dikunjungi kapal-kapal Amerika; di ‎sini mereka memperoleh barang muatan, dan berdagang ‎dengan Singapura, dalam rangka menghindari biaya ‎tambahan bila langsung pergi ke Singapura, karena Teluk ‎Bulang berada di luar batas wilayah kekuasaan Inggris”. ‎Setelah tahun 1824, yang ditandai dengan pembelahan ‎kerajaan Riau-Johor-Lingga-dan Pahang tersebab Traktat ‎London 1824, barulah keluarga Temenggung benar-benar ‎meninggalkan pulau Bulang: terutama ke Singapura dan ‎Johor.‎ (Ar)