Prasasti Pariangan

Oleh Nurmatias

Semenjak budjet travel mengumumkan Nagari Pariangan sebagai 5 desa terindah di dunia banyak masyarakat Nusantara dan Dunia datang melihat desa tersebut. Bagi kita yang sering ke Paringan biasa saja. fenomena budaya yang kita lihat disana karena semua aktifitas dan sejarah yang ada sudah kita ketahui. Masyarakat Nagari Pariangan yang melakukan rutinitas yang bersahaja dengan pola hidup yang sederhana menambah keindahan budaya dan alamnya. Banyak khazanah budaya muncul dan hidup di daerah kaki Gunung Merapi sebagai simbol kekuatan masyarakat Minangkabau dengan semboyan Gunung Marapi sagadang Talua Itiak (Gunung Merapi sebesar Telur Itik) tempat tersadarnya kapal anak  Iskandar Zulkarnain. Dalam kisah Tambo masyarakat Minangkabau percaya bahwa  daerah ini merupakan tempat turunnya nenek moyang Minangkabau. Merujuk tradisi lisan yang digambarkan dalam tambo tidak terbukti dengan temuan-temuan prasasti yang ada dengan presepsi masyarakat Minangkabau secara keseluruhan tidak sesuai dengan fakta dan data sejarah. Dalam Tambo menyebutkan nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Raja Iskandar Zulkarnain dari Macedonia. Dalam sejarah yang ada Raja Iskandar Zulkarnain hanya sampai ekspansi ke India, dan setelah itu tidak dijelaskan sejarahnya kemudian. Dalam tambo menyebutkan Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga orang anak dan mereka berlayar ke daratan Cina akibat banjir besar melanda bumi. Ketiga anak tersebut mempunyai watak yang berbeda dan kemudian bertengkar memperebutkan tahta kebesaran ayahnya. Ketidak cocokan ini mereka berpisah, yang dua tetap melanjutkan ke Cina dan Anatolia dan satu lagi yang dikenal Maharajadiraja mendarat di Gunung Merapi Kemudian air sudah susut Maharajadiraja dan pengikutnya  turun dari Gunung Merapi dan membuka lahan di Padang Panjang Pariangan sekarang masuk kecamatan Pariangan, Kab Tanah Datar.  Semenjak peristiwa tersebut yang sampai dalam tambo dan kemudian diyakini kebenarannya oleh masyarakat sebagai cikal bakal sejarah budaya Minangkabau

Bentuk peninggalan Hindu-Budha adalah Prasasti dan Candi. Prasasti yang lebih dikenal di Sumatera Barat dengan nama batu basurek dengan huruf Pallawa dengan bahasa Sangsekerta.  Salah satu prasasti yang ditemukan di Sumatera Barat adalah Prasasti Pariangan. Prasasti Pariangan ini ditemukan di tepi Sungai Mengkaweh yang mengalir dari kaki Gunung Marapi. Lokasi ini ada di sebelah Barat Kota Batu Sangkar. Prasasti Pariangan ini ditemukan di tepi Sungai Mengkaweh yang mengalir dari kaki Gunung Marapi. Lokasi ini ada di berada pada jalan lintas Padang Panjang – Batu Sangkar.. Bahan batunya dari jenis trachyt, dengan ukuran tinggi 1,6m, lebar 2,6m, dan tebal 1,6 m. Prasasti ini dipahatkan pada batu monolit non-artifisial berbentuk setengah lingkaran dengan tulisan berjumlah 6 baris. Aksara yang dipakai sama dengan aksara prasasti Adittyawarmman lainnya. Terdapat angka tahun yang sudah aus, tetapi dapat terbaca dua angka yang di depan, yaitu 12. Kondisi prasasti ini sudah terlalu aus, sehingga tidak memadai untuk dibahas lebih lanjut. Pada masyarakat berikutnya Prasasti ini ada hubungan dengan Batu Lantak tiga (Batu ditancapkan berjumlah 3 buah). Batu Lantak 3 ini ada hubungan dengan keberadaa 3 luak dalam perjalanan budaya Minngkabau. Prasasti Pariangan sebagai penanda daerah Luak Tanah Datar, Luak Agam dan Luak Limo Puluh Koto. Jarak ketiga batu ini sama sudut derajat yang sama dan ketinggian batu juga relatif sama. Batu Lantak Tigo ini mengeliling Masjid Islah yang berdiri kokoh di  Jorong Paringan.  Daerah sekitar prasasti bervariasi kontur tanahnya dan cocok untuk pendirian bangunan suci atau daerah suci yang dekat dengan sumber air.

Ada juga prasasti yang menyebutkan nama Pariangan yaitu Prasasti Pagaruyung VII yang sekarang bisa kita temui di Situs Prasasti Pagaruyung yang terletak di Gudam Pagaruyung. Prasasti Pagaruyung VII merupakan tulisan yang digoreskan pada sebuah batu andesit warna abu-abu berbentuk persegi pipih, artificial. Batu media prasasti tersebut sekarang dalam keadaan patah sehingga ada beberapa tulisan dan huruf tidak terbaca dengan baik dan hilang. Prasasti ini berukuran tinggi 82 cm, lebar 50 cm dan tebal 10 cm. Untuk melihat langsung dalam melihat di Situs Pagaruyung, Gudam, Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar

Prasasti ini tidak diketahui angka tahunnya, hanya didalamnya menyebutkan Sri Akarendrawarman sebagai Maharajadhiraja. Pemakaian nama wangsa warman dibelakang menunjukan bahwa Sri Akarendrawarmman masih ada hubungan darah dengan Adityawarmman. Beberapa ahli sejarah menyebutkan sebagai saudara Adityawarman dan karena gelarnya adalah maharajadhiraja tentunya ia sudah menjadi raja saat mengeluarkan prasasti tersebut. Menurut analisa ahli, ia diangkat setelah Adityawarmman turun tahta atau meninggal. Dalam prasasti tersebut juga menyebutkan nama tuhan perpatih bernama Tudang (datuk perpatih nan sabatang) dan seorang yang disebut dengan tuhan gha sri rata. Kedua pembantu raja yang setia dan patuh. Isi prasasti yang lain adalah sumpah atau kutukan yang ditujukan pada orang yang mengganggu atau tidak mengindahkan maklumat raja didalam prasasti tersebut.

Menurut Casparis prasasti di atas dikeluarkan oleh Raja Akarenddrawarman yang memerintah sebelum Adityawarman, yaitu sekitar paruh pertama abad ke -14. Isi prasasti mengenai perjalanan yang dilakukan oleh Prabu. Ia diantar oleh pembesar-pembesar seperti tuhan arya, mantra dan tuhan parpatih. Kemudian isi prasasti ini juga menyebutkan parhyangan yang menurut analisa sama dengan Nagari Pariangan, letaknya 10 km dari Kota Batusangkar. Pariangan juga ditemukan sebuah prasasti dan tulisannya sudah sangat aus. Kata lain yang menarik adalah berampat suku, suatu istilah yang sangat terkenal dalam adat Minangkabau yang aslinya disebut dengan Nagari Barampat Suku, yaitu suatu wilayah yang berdasarkan adat istiadat lama yang terdiri dari empat suku (Bodi, Chaniago, Koto, dan Piliang). Isi prasasti yang fenomenal adalah pemindahan pusat kerajaan dari Jambi ke Perdalaman pada masa Raja Akarenddrawarman atau sebelum tahun 1347 M, yaitu tarikh prasasti Amoghapasa dan Prasasti Kapolo Bukit Gombak I (Prasasti Pagaruyung III) (Casparis, 1989:7-9). Itu penggal sejarah daerah Paringan yang berlu dikaji lebih lanjut sehingga kita mendapatkan informasi yang lengkap terhadap Sejarah Minangkabau. Wassalam