(Suatu Kajian Dinamika Sejarah Republik Indonesia Pada Masa Awal Revolusi)

Oleh : Merlina Agustina Orllanda, S.S

Pemberitahuan atas peristiwa Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945 tidak mampu menghentikan langkah Belanda untuk kembali menjajah. Agar tujuannya dapat terealisasi, Belanda menyusup ke barisan sekutu yang bertugas di tanah air. Isu kedatangan sekutu dengan memboncengi serdadu Belanda telah membangkitkan api revolusi dalam sukma rakyat untuk berkorban demi kedaulatan Indonesia.

Euforia revolusi yang melanda tanah air mendorong kegairahan intelektual muda Indonesia untuk menghadapi tantangan sekutu dan Belanda.Atas nama kedaulatan Indonesia, maka rakyat di berbagai daerah melakukan perlawanan sebagai wujud anti penjajahan. Selain itu, rasa dikhianati sekutu telah menimbulkan permusuhan dan kebencian dari pribumi sehingga terjadi berbagai konflik di beberapa wilayah di kota-kota besar seperti di Pulau Jawa dan Sumatera (Imran, dkk: 2012).

Sejarah revolusi adalah penegasan atas perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sikap anti penjajahan menunjukkan kecintaan rakyat terhadap tanah air. Oleh sebab itu, dengan hadirnya pasukan sekutu telah meningkatkan ketegangan di Sumatera dan Jawa.Hal itu karena rakyat tidak ingin menyerahkan Indonesia walau seukuran jengkal tanah kepadaasing.Dari pada alasan itu, maka pasca kemerdekaan berkobar berbagai pertempuran seperti di Surabaya, Ambarawa di Semarang, Bandung dan Medan Area.

Keinginan hidup merdeka dan mandiri merupakan faktor perlawanan terhadap sekutu dan Belanda. Aktualisasi dalam mengusir penjajah dari setiap daerah diwujudkan dengan  kontribusi yang bervariasi. Seluruh kisah perlawanan dari daerah-daerah yang disebutkan tadi berperan dalamupaya mempertahankan kemerdekaan RI di masa revolusi. Salah satu perlawanan sporadis yang menjadi lambang perjuangan nasional adalah “Pertempuran 10 November Surabaya”. Hal itu karena pertempuran hebat tersebut mampu menggugah semangat persatuan jiwa-jiwa muda di tanah air. Selain kisah tersebut terdapat perlawanan konfrontatif dibalik “Pertempuran Ambarawa” di Semarang yang ikut berperan dalam menghadang kekuatan sekutu dan Belanda di Bumi Indonesia.

Umumnya di daerah lain, maka Pertempuran Ambarawa terjadi karena pihak serikat yang tidak mampu untuk menghargai kemerdekaan Indonesia. Pada 20 Oktober 1945 tentara sekutu yang harusnya mengurus tawanan perang di penjara Ambarawa dan Magelang justru memboncengi NICA yang mempersenjatai tawanan tersebut. Hal itu menyulut kebencian serta perasaan tidak senang pribumi sehingga pecah insiden antara TKR dan tentara sekutu pada 26 Oktober 1945 (Poesponegoro dan Nugroho, 1990:116).

Demi mengatasi bentrokan yang terjadi pihak Inggris menuju Magelang dan Ambarawa untuk membebaskan 10.000 tawanan Indo-Eropa dan Eropa dari wilayah pedalaman Jawa yang sedang bergejolak akibat perlawanan dari pihak Republik (Ricklefs, 2009: 455-456).Menengahi kejadian itu Soekarno dan Brigjen Bethel melakukan perundingan gencatan senjata pada 2 November 1945. Diperoleh kata sepakat antar kedua belah pihak bahwa sekutu tetap bertanggungjawab atas tugasnya, jalan raya Ambarawa-Magelang terbuka untuk republik dan serikat. Kemudian sekutu tidak mengakui aktivitas NICA (Poesponegoro dan Nugroho, 1990:116).

Pada kenyataannya sekutu mengabaikan bunyi perjanjian yang telah disetujui bersama sehingga meletuslah pertempuran 20 November 1945 yang kemudian menjalar ke dalam kota pada 22 November 1945. Bala tentara sekutu melakukan pemboman ke pedalaman Ambarawa untuk mengancam kedudukan TKR. Dengan tidak gentar pihak republik melakukan pembalasan untuk mempertahankan wilayah dari sekutu. Sejak itu medan Ambarawa terbagi 4 sektor, yaitu sektor utara, sektor Selatan, sektor Timur dan sektor Barat(Poesponegoro dan Nugroho, 1990:118).

Semangat perlawanan rakyat Ambarawa yang bersatu dengan TKR membuat sekutu kesulitan menaklukkan wilayah tersebut. Ketika itupasukan TKR yang terlibat menghadapi sekutu berjumlah 19 batalyon. Pada 26 November terjadi pertempuran yang menewaskan Kolonel Isdiman yang digantikan oleh Kolonel Soedirman. Sekutu melancarkan aksinya  mengancam Ambarawa karena daerah tersebut sangat strategis untuk mencapai Surakarta, Magelang dan Yogyakarta (yang saat itu jadi tempat kedudukan Markas tertinggi TKR) (Poesponegoro dan Nugroho, 1990:119).

Tewasnya Kolonel Isdiman mendorong rakyat dan TKR gencar melakukan serangan balik.  Pada akhir bulan November pertempuran telah berkobar lagi dan pihak Inggris dibuat mundur ke daerah pesisir (Ricklefs, 2009: 455-456). Selanjutnya pada 11 November 1945, Kolonel Soedirman mengumpulkan para komandan sektor dan menginstruksikan pukulan terakhir bagi sekutu. Pada 5 Desember 1945 pasukan sekutu berhasil diusir dari desa Banyubiru yang saat itu merupakan garis pertahanan terdepan. Kemudian tepat 12 Desember 1945 pasukan berhasil menyerang sekutu di dalam kota. Kekuatan sekutu yang berada di Benteng Willem berhasil dikepung TKR 4 hari 4 malam. Hal itu menyebabkan kedudukan sekutu terjepit dan mundur dari Ambarawa tepat 15 Desember 1945 (Poesponegoro dan Nugroho, 1990:118).

Barak Infanteri di Banyubiru di Benteng Willem Ambarawa Sekitar 1880
Sumber : KTILV
http://hdl.handle.net/1887.1/item:819473

Riwayat pertempuran hebat pasukan TKR yang solid bersama rakyat mengukuhkan peristiwa tersebut dalam pasukan tempur darat utama di TNI Angkatan Darat. Resistensi pasukan tersebut diabadikan ke dalam salah satu bagian pagar bangsa di Indonesia. Melalui TNI, maka setiap 15 Desember selalu diperingati sebagai Hari Juang Kartika atau Hari Infanteri yang menggambarkan kekuatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hari Juang Kartika/ Hari Infanteri Simbol Perlawanan TKR dan Rakyat di Ambarawa Sumber : Dokumentasi Pribadi

Keberhasilan pihak Republik dalam Peristiwa Ambarawa hendaknya menyadarkan warganegara akan kesadaran nasionalisme, khususnya dalam menggalang persatuan dan menanamkan rasa memiliki atas Indonesia Raya. Melalui Hari Infanteri atau dikenal Hari Juang Kartika yang bertepatan 15 Desember ini, mari kita menaburkan benih-benih persatuan demi rasa cinta tanah air. Lewat semangat membangun dan mempertahankan bangsa di era globalisasi ini menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang banyak belajar dari sejarah serta mampu menghargai arti sebuah kemerdekaan.

REFERENSI

Imran, Amrin, dkk. 2012.  Perang dan Revolusi”,Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid 6. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve dan Kemendikbud.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah NasionalIndonesia VI.  Jakarta : Balai Pustaka.

Ricklefs. 2009. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.