(Suatu Kajian Dinamika Sejarah Republik Indonesia Pada Masa Awal Revolusi)

Oleh : Merlina Agustina Orllanda, S.S

1.1 Latar Belakang

Restorasi  Meiji di Jepang telah membawa dampak dalam kisah Indonesia. Jepang sebagai  pemimpin Asia yang perlahan menguasai dunia telah membuktikan eksistensi dengan menaklukkan  Cina pada tahun 1894 dan Rusia di Manchuria pada tahun 1904.          Selanjutnya, pada 8 Desember 1941, bangsa kulit kuning ini berhasil menyerang Pearl Harbour sebagai Pangkalan Militer Amerika di Pasifik. Kemudian, Pasukan Laksamana Kondo sukses menghancurkan kekuatan militer Amerika di pulau Luzon. Kedahsyatan Jepang menyebabkan Belanda tunduk terhadap  Jepang. Pada  8  Maret 1942 berlangsung penyerahan kekuasaan tanpa syarat dari tangan Belanda kepada Jepang. Peristiwa itu dikenal dengan Kapitulasi Kalijati (Herlina: 2005).

Kejadian itu membuat Indonesia mengalami transisi masa dari kolonialisme  menuju Pendudukan  Jepang. Upaya Jepang untuk menguasai dunia ternyata mendatangkan kehancuran sendiri bagi  bangsanya. Dalam Perang Dunia II Amerika, Inggris dan Belanda bersekutu demi memerangi Jepang.  Pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kalah pada sekutu (Imran, dkk: 2012).  Keadaan ini mendatangkan kebahagiaan tersendiri bagi bangsa Indonesia karena menjadi titik tolak  Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 (Herlina: 2005).

Sejak saat itu Indonesia lepas dari belenggu penjajahan. Indonesia telah merdeka tanpa kekuasaan bangsa lain (Herlina: 2005). Kebebasan yang diperoleh Indonesia merupakan tanggung jawab besar bagi masyarakat. Hal itu karena di awal kemerdekaan, pihak Belanda masih ingin menguasai nusantara. Bangsa Tanah Rendah itu menyusup dalam pasukan sekutu yang bertugas di Indonesia. Kemudian beberapa orang NICA (Netherlands Indies Civil Administration) mendarat pula di tanah air. Adapun tugas yang diemban sipil Belanda ini untuk memulihkan kembali kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia  (Imran, dkk: 2012).

Bangsa  Belanda terus berupaya agar Indonesia kembali bersedia menerima rezimnya. Isu kedatangan sekutu yang diboncengi serdadu Belanda telah membangkitkan api revolusi dalam jiwa-jiwa muda. Saat itu, rakyat sangat tergugah untuk menentang bayangan  Belanda melalui kehadiran pasukan sekutu. Mereka rela berkorban jiwa dan raga demi kedaulatan Indonesia. Rasa dikhianati sekutu telah menimbulkan permusuhan dan kebencian dari pribumi sehingga terjadi berbagai konflik di beberapa wilayah di kota-kota besar seperti di Pulau Jawa dan Sumatera (Imran, dkk: 2012).

Sesuai itu, pasca kemerdekaan terjadi berbagai pertempuran seperti di Surabaya, Semarang, Bandung dan Medan Area. Dari peristiwa yang terjadi, maka Pertempuran Surabaya adalah contoh perlawanan yang dahsyat dalam mempertahankan kemerdekaan. Arek-arek Surabaya memiliki semangat yang radikal untuk mengusir penjajah dari tanah air. Berbagai elemen masyarakat di Surabaya bersatu  dalam menyiratkan kesadaran nasionalisme. Hal itu membuktikan kecintaan warga Surabaya terhadap kemerdekaan yang diraih (Frederick: 1989). Untuk menghayati  jiwa kepahlawanan dalam raga arek-arek Surabaya dapat ditelusuri uraian  berikut.

1.2 Gegap Gempita Perlawanan Arek Arek Surabaya

Respons masyarakat Surabaya atas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia merupakan bagian terpenting, karena semangat merdeka itu kemudian hari akan terwujud pada Peristiwa 10 November yang hingga ini dikenal sebagai Hari Pahlawan (Frederick: 1989). Surabaya menjadi ajang pertempuran yang paling hebat selama Revolusi sehingga menjadi lambang perlawanan nasional (Ricklefs:1998). Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II membuat bangsa ini menyerah terhadap sekutu. Kejadian itu pun membuat Jepang melepaskan Indonesia dari genggamannya.

Sebelum meninggalkan tanah air,  Jepang dituntut untuk menyerahkan senjata. Oleh sebab itu, pada tanggal 3 Oktober 1945 Laksamada Madya Shibata Yaichiro di Surabaya tunduk terhadap Sekutu dan memerintahkan pasukannya agar memberikan senjata kepada rakyat Indonesia yang akan bertanggung jawab untuk menyerahkan senjata-senjata itu kepada pihak sekutu (Ricklefs : 1998).

Pada tanggal 25 Oktober 1945 kapal perang Eliza Thompson milik sekutu mendarat di Surabaya. Brigade 49 ini di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby. Sebelumnya pasukan ini merupakan bagian dari Divisi India ke -23 yang dipimpin oleh  Jenderal  D.C Hawthorn.   Pasukan ini  mendapat tugas dari AFNEI (tentara sekutu) untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan interniran serikat (Poesponegoro dan Nugroho: 1993). Keberadaan kapal sekutu saat itu bertujuan untuk mengangkut tawanan perang yang dikirim dari Semarang ke Surabaya (Imran, dkk: 2012).

Kedatangan  Laskar  Sekutu awalnya  bertujuan untuk mengamankan tawanan perang,  melucuti  senjata Jepang, evakuasi dan menjaga ketertiban di berbagai daerah di tanah air salah satunya Surabaya.  Pada praktiknya, sekutu  yang didominasi pasukan Inggris ini  menyimpang dalam pelaksanaan tugas. Pada 27 Oktober 1945 Tentara Sekutu menyerbu penjara Republik untuk membebaskan perwira-perwira Sekutu dan Pegawai RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Interness)  yang ditahan Republik (Kartasasmita: 1995).

Masyarakat Surabaya semakin antisekutu lantaran  rombongan  yang mendarat di Tanjung Perak ini  dengan cepat menduduki tempat-tempat vital seperti lapangan terbang, kantor pos, radio Surabaya, gedung internatio, pusat kereta api, pusat oto mobil  dan lain-lain, dengan maksud untuk menduduki seluruh kota Surabaya. Tidak sampai  situ, pasukan ini diduga membawa NICA. Hal itu terbukti dengan keberadaan dua buah motor boat bermuatan Pasukan Serikat menembaki pos komando laut  RI di Modderlust. Di samping itu, Angkatan Udara  Inggris (RAF) menjatuhkan selebaran tanpa sepengetahuan Jenderal Mallaby. Isi pamflet itu secara garis besar memerintahkan rakyat Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan perang milik Jepang dalam tempo 48  jam (Imran, dkk:2012). Selanjutnya Jenderal Hawthorn  mengeluarkan ultimatum akan menghukum seberat-beratnya bagi yang tidak mematuhi perintah Inggris (Nasution : 1977).

Tindakan –tindakan sekutu menimbulkan kemarahan pemuda Surabaya. Perlakuan tersebut dianggap sebagai suatu penghinaan bagi bangsa Indonesia. Atas persetujuan pemerintah, maka di bawah pimpinan  Mayor Jenderal Yono Sewoyo (Komandan Divisi TKR) dikeluarkan perintah perang terhadap badan perjuangan, polisi dan TKR  untuk menghadapi sekutu. Dari situ, masyarakat mulai menentang  sekutu di Jawa Timur. Gubernur R.M.T.A Suryo yang mewakili pemerintah daerah saat itu enggan menerima kehadiran sekutu (Poesponegoro dan Nugroho: 1993).

Pada sore hari di tanggal 28 Oktober 1945, para pemuda dipimpin dr. Mustopo bersama  20.000 kekuatan prajurit TKR dan 120.000 kelompok pemuda bersenjata bersatu dalam melakukan penyerangan kamp Belanda dan sekutu  (Imran, dkk: 2012).  Di hari yang sama, ketika tengah malam, Radio Pemberontakan terhadap sekutu, menyebarkan semangat seluruh lapisan masyarakat untuk bersatu dan merebut kembali tempat-tempat vital yang telah dikuasai Inggris dan sekutu. Aspirasi perlawanan terhadap penjajah dikumandangkan oleh Bung Tomo (1920-1981), seorang yang berapi-api menggunakan radio untuk perjuangan. Hal tersebut menimbulkan suasana semangat revolusi yang fanatik ke seluruh kota (Ricklefs: 1998).

Sebagai respons atas keberanian Arek Surabaya dan figur  Bung Tomo, maka pada akhir bulan Oktober para pemimpin Nahdatul Ulama dan Masyumi memberi dukungan dan menyatakan bahwa perang mempertahankan tanah air Indonesia adalah Perang Sabil (Ricklefs: 1998). Bertepatan tanggal 29 Oktober para pemuda Surabaya mulai gegap gempita mempertahankan kedaulatan. Dari beberapa perlawanan yang dilancarkan, maka para pemuda ini berhasil menguasai kembali  obyek vital yang sebelumnya diduduki sekutu (Poesponegoro dan Nugroho: 1993).

Untuk menyelamatkan pasukan Inggris dan sekutu dari amuk warga Surabaya, Jenderal DC. Hawntorn meminta Presiden Soekarno untuk menyerukan penghentian  pertentangan antara pemuda dan sekutu  (Imran, dkk: 2012). Saat itu Soekarno didampingi  oleh Moh Hatta dan Amir Syarifuddin mengadakan perjanjian  dengan pihak  sekutu yang ditujukan untuk menghentikan kontak senjata (Poesponegoro dan Nugroho: 1993). Berdasarkan hasil perundingan dibentuklah Contact Committee (Kontak Penghubung) (Kartasasmita: 1995).  Ketika itu,  kedaulatan RI diakui sekutu, namun pasca perundingan penyerangan dilakukan kembali sehingga banyak kampung penduduk yang menjadi korban. Tindakan sekutu yang didominasi pasukan Inggris ini semakin menyulut pertikaian.

Pada tanggal 31 Oktober 1945,  Brigadir Mallaby yang dikawal oleh Kapten Smith, Kapten Shaw dan Letnan Laughland tiba-tiba ditahan oleh sekelompok pemuda. Hal itu membuat  Mayor Venugopall melemparkan granat ke arah pemuda.  Saat itu terjadi letusan yang hebat dari kedua belah pihak. Jenderal  Brigadir Mallaby yang ada di lokasi justru terbunuh dan hangus bersama mobil  (Nasution: 1977). Versi lain mengungkapkan bahwa Mallaby tewas karena menjadi sasaran pemuda, ia ditusuk dengan bayonet dan bambu runcing (Poesponegoro  dan Nugroho: 1993).

Kejadian itu memicu anggapan pihak Inggris, bahwa tewasnya Brigjen Mallaby karena lemparan granat dari pihak Indonesia sehingga Jenderal Christison  selaku Komandan Angkatan Perang Inggris di Indonesia mengecam keras peristiwa itu. Di samping itu, Kapten Shaw mengancam untuk membalas dengan seluruh kekuatan Kerajaan Inggris, baik laut, darat, dan udara.  Sebagai Panglima AFNEI, Christison memperingatkan agar rakyat Surabaya menyerah, apabila tidak mereka akan dihancur leburkan (Poesponegoro dan Nugroho: 1993). Hal ini mendapat reaksi dari Kontak Biro Indonesia yang mengumumkan, bahwa kematian Mallaby adalah akibat kecelakaan, tidak dapat dipastikan apakah akibat tembakan rakyat atau tembakan tentaranya sendiri (Poesponegoro dan Nugroho: 1993).

Untuk mengantisipasi balasan Inggris, maka rakyat Surabaya dilatih mempergunakan senjata dan granat tangan. Apalagi rakyat mengetahui bahwa Tentara Inggris membawa pasukan Belanda ke dalam kota secara diam-diam. Dengan demikian rakyat menganggap Inggris melindungi dan membantu Belanda untuk menjajah kembali. Hal ini menyebabkan semakin berkobarnya semangat rakyat. Di seluruh kota pemuda dan TKR mempersiapkan diri untuk pertempuran (Nasution: 1977).

Sesudah kematian Mallaby pihak Inggris mendatangkan pasukan baru di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C Mansergh. Pada tanggal 7 November, Mansergh mengirim surat yang isinya menyatakan Gubernur Soeryo tidak mampu menguasai keadaan, seluruh kota telah dikuasai para perampok  (Nasution: 1977). Kemudian tanggal 8 November surat kembali dikirim, adapun isi surat berupa ancaman serius dari pihak sekutu yang berniat menggempur seluruh Surabaya. Surat-surat  tersebut kemudian dibalas Soeryo pada tanggal 9 November, akan tetapi tidak sampai kepada sekutu.  Hal itu mendorong sekutu untuk mengeluarkan ultimatum yang isinya memerintahkan orang-orang Indonesia untuk meletakkan bendera merah putih di atas tanah dan para pemuda harus menghadap dengan “angkat tangan” dan dituntut untuk bersedia menandatangani surat menyerah tanpa syarat. Mansergh saat itu menginstruksikan agar wanita dan anak-anak patut meninggalkan kota sebelum pukul 19.00 WIB malam itu. Pribumi diberi ancaman hukuman mati apabila masih membawa senjata sudah pukul 06.00 pada tanggal 10 November 1945 (Imran, dkk:2012).

Ultimatum tersebut dianggap menusuk  perasaan rakyat Indonesia  (Kartasasmita: 1995). Hal ini karena maknanya merupakan penghinaan terhadap martabat dan harga diri bangsa Indonesia (Poesponegoro dan Nugroho: 1993). Keadaan itu menciptakan situasi antara pemimpin Indonesia dan pemuda Surabaya terjadi perdebatan dalam menanggapi ultimatum sekutu. Hasilnya bahwa para pemuda memutuskan menolak ultimatum. Reaksi Arek-arek Surabaya itu diumumkan oleh Gubernur Soerjo melalui radio pada pukul 23.00 malam. Ultimatum itu sama sekali tidak dihiraukan rakyat Surabaya sehingga pecahlah Pertempuran Surabaya (Imran, dkk:2012) (Kartasasmita, 1995).

Keesokan harinya, 10 November 1945 sejak pukul 06.00 WIB, Inggris melakukan serangan atas  kota Surabaya. Menghadapi keadaan genting itu,  para pemuda Surabaya sama sekali tidak gentar. Di balik jiwa-jiwa berani Arek Surabaya ada pidato pidato Bung Tomo yang menyemangati rakyat  untuk melawan penyerbuan sekutu (Imran, dkk:2012). Pada hari itu,  Pemuda Indonesia yang membawa bendera merah putih dalam berperang tetap semangat di bawah pimpinan  Soengkono yang saat itu menjadi Komandan Pertahanan (Poesponegoro dan Nugroho: 1993).

Para pemuda saat itu menghadapi sekutu dengan menggunakan senjata bambu runcing dan belati dalam bergerak menyerang tank-tank Sherman milik sekutu. Sedikitnya, terdapat 6000 orang rakyat Surabaya yang gugur dan sisanya mengungsi (Imran, dkk:2012). Tanggal 10 November 1945 merupakan puncak perjuangan arek-arek Surabaya. Surabaya habis-habisan digempur oleh Inggris, namun para pemuda berhasil mempertahankan Surabaya selama tiga minggu. Kontak senjata yang pertama terjadi di Tanjung Perak dan kemudian berakhir di Gunung Sari pada tanggal 28 November 1945 (Poesponegoro dan Nugroho: 1993).

Semangat para pemuda Surabaya menunjukkan kepada kita, betapa para pejuang ini sangat menghargai kemerdekaan. Mereka merasakan bahwa “semut dan cacing pun akan mengamuk apabila diinjak”. Para pemuda ini dengan segenap jiwa raganya berupaya untuk mempertahankan bangsa Indonesia. Bahkan gegap gempita perjuangan arek-arek Surabaya ini seakan menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia sudah benar-benar merdeka. Berdasarkan keberanian rakyat Surabaya, maka  peristiwa ini berhasil menyita perhatian dunia internasional. Dalam hal ini Pertempuran Surabaya telah mewakili semangat daerah-daerah lain untuk mempertahankan Indonesia. Pihak Republik telah kehilangan banyak  jiwa manusia dan senjata dalam pertempuran Surabaya, tetapi perlawanan mereka yang bersifat pengorbanan tersebut menciptakan suatu lambang dan pekik persatuan demi Revolusi (Ricklefs: 1998). 10 November yang diperingati sebagai Hari Pahlawan merupakan hari pembersihan berdarah sebagai hukuman dari pasukan inggris terhadap perlawanan Indonesia yang fanatik (Ricklefs: 1998). Untuk memperingati kepahlawanan rakyat Surabaya yang mencerminkan tekad perjuangan seluruh bangsa Indonesia, pemerintah kemudian menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan (Kartasasmita:1995).  Pertempuran Surabaya merupakan titik balik bagi Belanda dalam menghadapi kenyataan bahwa Indonesia telah merdeka (Ricklefs: 1998). Surabaya mewakili seluruh bangsa Indonesia untuk mengusir panjajahan dari tanah air.

1.3 Simpulan

74 Tahun yang lalu seluruh pemuda dari berbagai latar belakang RAS mampu bersatu dalam menjaga kedaulatan  RI  melalui Peristiwa 10 November Surabaya, maka mulai hari ini kita tidak hanya memperingati hari bersejarah itu, tapi juga turut melanjutkan perjuangan Bung Tomo dan para pemuda dalam mempertahankan kemerdekaan dari ancaman dalam dan luar negeri. Jika Pertempuran Surabaya dapat menjadi lambang perlawanan nasional karena berhasil mempersatukan seluruh masa dalam mengusir penjajah, maka hari ini peristiwa itu akan menginspirasi seluruh anak bangsa untuk selalu bersatu dan tidak mudah terpecah belah.

                                                   DAFTAR PUSTAKA

Frederick, William H. 1989.  Pandangan Dan Gejolak; Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). (Terjemahan Oleh Hermawan). Jakarta : Gramedia.

Herlina, Nina, dkk. 2005. Peta Cikal Bakal TNI. Bandung : Pusat  Penelitian dan pemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran.

Imran, Amrin, dkk. 2012.“Perang dan Revolusi”, Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid 6. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve dan Kemdikbud.

Kartasasmita, Ginandjar, dkk. 1995. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1960. Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Nasution, 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia (Jilid 2).    Bandung : Angkasa.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka.

Ricklefs. 1998. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.