Pengembangan dan Pemanfaatan sebagai Urat Nadi Cagar Budaya

Oleh: Dafriansyah Putra
Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat wilayah kerja
Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau

Cagar Budaya sebagai sebentuk tinggalan dari tapak aktivitas kebudayaan maupun jejak atas tiap-tiap langkahan sejarah sejatinya tidak sekadar hadir dalam keeksotisan secara kasat mata belaka, pun dapat menjadi ruang yang membawa kita hanyut dalam naungan kontemplatif. Dari karya adiluhung tersebut, betapa kedalaman nilai-nilai filosofis, sejarah maupun arkeologisnya dapat kita resapi dan mafhumi untuk kehidupan kini dan masa akan datang. Pada dasarnya, semakin bertambahnya masa, maka nilai-nilai tersebut bertendensi untuk semakin tinggi pula.

Atas dasar tersebut, budaya luhur bangsa mesti dipertahankan keberadaannya, untuk memperkukuh jati diri Tanah Air sebagai bangsa yang lahir dan hadir dengan rentetan perjalanan panjang yang menyisakan sejumlah tinggalan budaya benda. Maka keberadaan Cagar Budaya semestinya senantiasa dilestarikan dan dikelola secara tepat. Adapun hakikat pelestarian terdiri dari tiga unsur: pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Muara dari kegiatan pelestarian akan menuju pada kemajuan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat Undang-undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang mendefinisikan pelestarian sebagai: upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya.

Jika paradigma lama terkesan bahwa Cagar Budaya semata berafiliasi kepada kepentingan akademis semata, kini sejalan dengan perkembangan zaman, tuntutan serta kebutuhannya, dan pula seiring lahirnya Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, ditekankan bahwa, pemerintah, pemerintah daerah dan setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan hingga pariwisata.

Di dalam Undang-undang No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pengembangan didefinisikan sebagai peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta peanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian. Konsep pengembangan pada objek Cagar Budaya tidak dapat disamakan dengan  perlakuan pengembangan pada objek-objek umum lainnya. Terdapat beberapa hal yang mesti menjadi perhatian tersendiri. Pengembangan Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang melekat padanya. Adapun bentuk-bentuk pengembangan terbagi kepada tiga kegiatan: penelitian, revitalisasi dan adaptasi.

Pelestarian objek Cagar Budaya yang semata menyeriusi upaya pelindungan kebendaan hanya akan berkutat pada bagaimana langkah-langkah ortodoks dengan pendekatan yang cenderung lebih bersifat defensif. Penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan ataupun pemugaran menjadi langkah-langkah yang mesti dilakukan untuk mengantisipasi Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran atau bahkan kemusnahan sebagai kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Upaya pada salah satu lingkup pelestarian itu memang sejatinya menjadi rujukan yang termatub di dalam Undang-undang Cagar Budaya. Namun, jika tidak dibarengi dengan implementasi pengembangan dan pemanfaatan, objek Cagar Budaya hanya akan menjadi monumen mati yang terabaikan. Akibatnya, bukan tidak mungkin tinggalan tersebut lambat-laun bakal mengalami degradasi pada fisik dan dekadensi terhadap nilai-nilai yang melingkupinya.

Kecemasan bersama, dengan tidak langsung adanya upaya protektif yang berlebihan dalam mengantisipasi kehancuran fisik dari objek, tanpa dibarengi penguatan nilai, kelak secara perlahan akan menghancurkan sisi non-fisik—nilai-nilai, sejarah, dan segala cerita—yang menaungi suatu objek Cagar Budaya. Esensi Cagar Budaya sebagai wujud dari pemikiran dan perilaku manusia yang erat kaitan waktu lampau praktis pun serta-merta akan menjadi seberkas jejak yang hanya mampu diamati tanpa dapat dimakai dengan kedalaman nilai-nilai yang melatarbelakanginya. Bukan tidak mungkin jika eksistensi Cagar Budaya yang berorentasi masa lalu, akan kian terkikis lantaran digerus kemutahiran zaman dengan orientasi masa depan yang lebih menggiurkan dan menarik ditelusuri.

Eksistensi tinggalan Cagar Budaya semestinya bisa diekplorasi lebih jauh secara maksimal. Sebab objek Cagar Budaya bukanlah semata benda mati yang tergelatak begitu saja. Namun, pada setiap Cagar Budaya terdapat ruh yang semestinya membuat objek tersebut akan hidup, bahkan selamanya hidup! Tak dapat dimungkiri, nadi kehidupan suatu objek Cagar Budaya berada pada seberapa gigihnya upaya pengembangan dan pemanfaatan akan objek Cagar Budaya tersebut.

Pengembangan dan Pemanfaatan objek Cagar Budaya berbasis pelestarian mustahil akan dapat bergulir tanpa adanya dukungan penuh dari pelbagai pihak. Perlu kiranya dilakukan pendekatan dan penekanan fungsi sekaligus peran dari masing-masing lintas sektoral dalam bentuk sinergisme pemikiran, kesamaan konsep dan visi yang akan dicapai.

Bahkan peran utama ada pada masyarakat, khususnya yang berada di sekitar keletakan objek. Sebab pada dasarnya, tinggalan Cagar Budaya adalah milik masyarakat. Nilai-nilai dari tinggalan tersebut, tak dapat disangkal, adalah bukti nyata atas serangkaian perjalanan panjang dengan pelbagai pola dan proses pembentuk hari ini yang dilahirkan oleh masyarakat pada masa tersebut. Sehingga, menjadi sebuah kemutlakan bahwa Cagar Budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat pada khususnya, maupun wilayah sekitar pada umumnya.

Pelestarian terhadap objek Cagar Budaya bukan hanya menjadi sebuah keniscayaan yang dikekang oleh aturan-aturan semata, namun upaya pelestarian terhadap tinggalan masa silam tersebut pada hakikatnya terlahir dalam diri siapa saja. Melestarikan fisik Cagar Budaya dan nilai-nilainya hendaknya menjadi kesadaran manusia yang sejatinya hidup dari dan di atas landasan kebudayaan.

Jam Gadang di Bukittinggi, Salah Satu Objek Cagar Budaya yang Banyak Dikunjungi