Pariwisata Budaya untuk Pelestarian Cagar Budaya

Retka Syamyanti

Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya Bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 1 ayat 22 yang berbunyi: “Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya”. Kemudian di ayat 33 yang berbunyi: “Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya”.

Pariwisata dapat dijadikan salah satu ujung tombak pemberantasan kemiskinan di Sumatera Barat, khususnya Pariaman. Cita-cita untuk menjadikan ranah minang sebagai kawasan yang menarik bagi wisatawan mampu diwujudkan oleh pemerintah daerah, pelaku wisata, dan pihak-pihak terkait dengan modal budaya minang yang sudah dimiliki. Daerah Sumatra Barat dengan penduduk terbanyak berasal dari etnik Minangkabau, memiliki filosofi adat yang dikenal dengan nama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), sehingga seluruh kehidupan masyarakat di Minangkabau harus sesuai dengan hukum agama islam. Oleh karena itu konsep-konsep pengelolalaan pariwisata yang digunakan seharusnya juga tidak bertentangan dengan filosofi ABS-SBK.

Dari sejumlah definisi “Cultural Tourism” atau Pariwisata Budaya atau “Wisata Budaya” yang ada, tidaklah terlalu mudah untuk menentukan definisi mana yang paling tepat untuk digunakan terutama bila dikaitkan dengan kepariwisataan Indonesia. Pariwisata adalah bidang yang saat ini banyak  dibicarakan oleh banyak pihak. Undang-undang tentang kepariwisataan mendefinisikan pariwisata sebagai berbagai macam hal yang berhubungan dengan kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan/jasa yang disediakan oleh pihak-pihak terkait seperti masyarakat, pengusaha, pemerintah maupun pemerintah daerah. Sedangkan Sunaryo (2013: 26) menjelaskan bahwa pariwisata budaya adalah jenis obyek daya tarik wisata (ODTW) yang berbasis pada hasil karya cipta manusia baik yang berupa peninggalan budaya maupun nilai budaya yang masih hidup sampai sekarang. Pariwisata budaya ini perlu dikembangkan dengan tujuan untuk melestarikan kebudayaan itu sendiri agar tidak hilang seiring dengan perkembangan jaman (Wilopo dan Hakim, 2017:57).

Pariwisata budaya merupakan salah satu bentuk industri budaya, karena pariwisata budaya memanfaatkan berbagai aspek kebudayaan secara massal dalam suatu sistem produksi. Sebagai modal budaya (sumber daya), kebudayaan disejajarkan dengan sumber daya yang lain seperti sumber daya alam dan ekonomi (finansial). Salah satu kecenderungan global adalah tumbuhnya kesadaran wisatawan untuk memahami warisan budaya masa lalu. Hal itu untuk mencari ontensitas dan identitas budaya oleh wisatawan bersangkutan. Upaya untuk memahami warisan budaya masa lalu (cultural heritage) tidak hanya dilakukan dalam wilayah negara sendiri, akan tetapi juga lintas negara. Warisan budaya masa lalu dianggap sebagai modal (cultural capital) dalam pengembangan pariwisata budaya (Richards, 1999 dalam Ardika, 2008:209).

Pariwisata budaya ibarat pisau bermata dua dalam pemanfaatan warisan budaya sebagai objek daya tarik wisata. Di satu sisi pariwisata dapat melestarikan warisan budaya tersebut, sedangkan di sisi lain kegiatan pariwisata akan merusak atau berdampak negatif terhadap warisan budaya itu karena objek tersebut akan dikonsumsi oleh wisatawan (Burn dan Holden, 1995). Hal senada juga disampaikan pula oleh Eugenio Yunis (2006:1-5) bahwa pariwisata budaya dapat memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat lokal, menghasilkan dana dan pendidikan untuk pemugaran atau konsevasi warisan budaya baik yang tangible maupun intangible, dan sekaligus menjadi ancaman yang sangat membahayakan apabila terjadi kesalahan pengelolaan pariwisata budaya tersebut. Lebih lanjut dikatakannya bahwa masyarakat lokal harus dilibatkan dalam perencanaan, implementasi/pelaksanaan, dan monitoring dari kegiatan pariwisata budaya.

Menurut UU nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, daerah tujuan wisata yang selanjutnya disebut destinasi pariwisata adalah kawasan geografis yang spesifik berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang didalamnya terdapat kegiatan kepariwisataan dan dilengkapi dengan ketersediaan daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait.

Menurut Cooper dkk dalam Sunaryo (2013: 159) menjelaskan bahwa kerangka pengembangan destinasi pariwisata terdiri dari komponen komponen utama yaitu

  1. Obyek daya’ tarik wisata (Attraction) mencakup keunikan dan daya tarik berbasis alam, budaya, maupun buatan/
  2. Aksesibilitas (Accessibility) mencakup kemudahan sarana dan sistem transportasi.
  3. Amenitas (Amenities) yang mencakup fasilitas penunjang dan pendukung wisata.
  4. Fasilitas umum (Ancillary Service) yang mendukung kegiatan pariwisata.
  5. Kelembagaan (Institutions) yang memiliki kewenangan, tanggung jawab dan peran dalam mendukung terlaksananya kegiatan pariwisata.

Daerah Bali sebagai daerah wisata yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik lokal maupun internasional telah menerapkan konsep pariwisata budaya dengan berpegang pada komponen-komponen di atas. Melalui Perda No.3/1991 sebagai penyempurnaan Perda No. 1/1974 sebagai bingkai visi pembangunan Bali, yakni Bali Dwipa Jaya berlandaskan Tri Hita Karana. Intinya bahwa pembangunan Bali selalu mengedepankan keseimbangan antara manusia, lingkungan alam semesta, dan Sang Pencipta. Pembangunan tidak hanya menitikberatkan pada kepentingan ekonomi, apalagi kepentingan sesaat. Melalui konsepsi pariwisata budaya diharapkan adanya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara penyelenggaraan pariwisata dan kebudayaan Bali (Sumardi,2010).

Makam Syech Burhanuddin yang terletak di Korong Manggopoh Dalam, Kenagarian Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman. Kawasan situs terletak di   dekat Jalan Raya Pariaman-Bandara Internasional Minangkabau. Hanya berjarak 38,4 kilometer atau sekitar 1,5 jam dari kota Padang. Makam Syech Burhanuddin  sebagai Cagar Budaya memiliki daya tarik budaya yang kuat yakni sebagai daerah tujuan wisata religi. Pada bulan Syafar ribuan umat muslim, terutama pengamal Tarekat Shatariyah, berbondong-bondong, silih berganti berdatangan ke tempat ini. Mereka berasal dari dalam maupun  luar Sumatera Barat, bahkan ada yang datang dari Luar Negeri seperti Malaysia. Tujuan mereka tak lain yakni mengikuti dan melaksanak an tradisi Basafa. Tradisi Basafa merupakan salah satu aktivitas ritual keagamaan yang dilakukan oleh muslim tarekat Syatariyah. Ritual ini selalu diadakan setiap tahunnya, setiap tanggal 10 bulan syafar di Makam Syekh Burhanuddin di Ulakan.

Di sekitar makam terdapat surau-surau kecil yang dibangun oleh pengunjung-pengunjung dari berbagai daerah, pengunjung akan tinggal di surau-surau tersebut berdasarkan asal mereka. Sehigga tidak diperlukan lagi hotel atau penginapan selama melakukan ibadah. Pada hari-hari biasa juga terdapat pengunjung yang menginap, sehingga kondisi surau tidak pernah kosong. Dengan pengelolaan lebih baik surau-surau ini dapat dijadikan pusat pendidikan agama dan adat. Surau dapat difungsikan kembali sebagaimana fungsi awalnya.

Dalam konteks dan dimensi budaya, keterbukaan wilayah, semakin berkembangnya media informasi dan komunikasi mengakibatkan semakin terbukanya peluang  pembauran dan komunikasi serta informasi yang lintas wilayah budaya. Oleh karena itu membangun ketahanan budaya dan nilai-nilai inti lokal sangat diperlukan sehingga arus informasi dan komunikasi yang lintas budaya tidak menimbulkan dampak negatif terhadap keutuhan nilai- nilai budaya lokal. Dalam konteks inilah peran kelembagaan adat pada tingkat nagari memiliki peran dan posisi yang sangat penting dalam membangun keutuhan  nilai-nilai budaya lokal.

Kelembagaan adat pada tingkat nagari  berperan untuk menjaga keutuhan dan implementasi orientasi nilai budaya lokal dalam lingkup kesatuan hukum adat dengan falsafah adat salingka nagari dan korong salingka buek. Kaum adat  yang disebut urang tigo jinih yakni niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai dengan lembaganya yang disebut tungku tigo sajarangan serta aturan yang mengatur kewenangan masing-masing disebut  tali tigo sapilin yaitu adat kewenangan niniak mamak, syara’ kewenangan alim ulama dan undang-undang kewenangan kaum cadiak pandai dan didalam pemerintahan nagari terhimpun dalam satu wadah yang disebut Kerapatan Adat Nagari (KAN). Pada sisi lain struktur pemerintahan nagari juga dikembangkan beberapa sub institusi seperti BPAN dan sekarang berubah menjadi Badan Musyawarah Nagari (Bamus).

Dalam pengelolaan pariwisata Situs Makam Syech Burhanuddin, kelembagaan adat juga harus berperan sebagaimana yang dijelaskan dalam UU tentang Kepariwisataan nomor 10 tahun 2009 bahwa kelembagaan pariwisata adalah “keseluruhan institusi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, swasta dan masyarakat, sumberdaya manusia, mekanisme operasional serta regulasi yang terkait dengan kepariwisataan”. Oleh karena itu perlu kesiapan dan kerjasama antar lembaga dari unsur pemerintah, swasta, serta masyarakat setempat. Peran serta Tungku Tigo Sajarangan yaitu niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai dalam kelembagaan KAN dapat menggerakkan seluruh lapisan masyarakat setempat sehingga tujuan pariwisata dapat tercapai.