Orang Berpepatah-petitih di Rumah Tuo Kampai Nan Panjang; Sebuah Upaya Pemanfaatan Bangunan Cagar Budaya

 

Paradigma lama kerap mengidentikkan Bangunan Cagar Budaya dipandang sebagai sebentuk ruang berusia tua yang lama-kelamaan rapuh dikikis waktu. Dalam asumsi banyak orang Bangunan Cagar Budaya akan lekat dengan kesan kuno, diselimuti debu atau pada setiap sudutnya akan ditemukan jeratan sarang laba-laba. Tak dinafikan jika persepsi demikian akan serta-merta melekat di benak khalayak, lantaran tak sedikit Bangunan Cagar Budaya yang secara fisik seolah menjadi bangunan yang terasing di tengah perkembangan zaman.

Namun, di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya pada bagian Pemanfaatan, Pasal 85, termaktub “Pemerintah, Pemeritah Daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan pariwisata.” Bangunan Cagar Budaya sebagai sebuah gatra yang dilingkupi pelbagai nilai dan cerita yang melatarbelakanginya sejatinya dapat menjadi kelebihan tersendiri yang dapat didayagunakan dalam pelbagai aktivitas.

Sebagaimana yang terdapat di kenagarian Balimbing, kecamatan Rambatan, kabupaten Tanah Datar. Kelompok Alua Pidato Pasambahan Nagari Balimbing Kampai Nan Panjang memanfaatkan keberadaan Bangunan Cagar Budaya Rumah Tuo Kampai Nan Panjang, sebagai tempat dilangsungkannya kegiatan pengajaran alua pidato pasambahan.

Pada Jumat (11/9), kegiatan yang pada mulanya menjadi ide yang berkembang di kedai-kedai tersebut disosialisasikan. Acara yang berlangsung pukul 20.00 WIB tersebut dihadiri langsung oleh Kepala Budparpora Kabupaten Tanah Datar, Kapolsek Rambatan dan perwakilan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batusangkar, wilayah kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau.

Dalam sambutannya, M Datuk Rajo Endah selaku Ketua Kelompok Alua Pidato Pasambahan Nagari Balimbing Kampai Nan Panjang, menceritakan secara ringkas asal mula berdirinya perkumpulan pidato alua pasambahan adat. Adanya perkumpulan ini berangkat dari banyaknya pihak penyandang jabatan adat yang terdiri dari golongan muda. Sedangkan bagaimana kiat memangku jabatan sebagai seorang niniak mamak dan pula bagaimana menelusuri adat salingka nagari dan pemakaiannya belumlah begitu mendalam dipahami. Maka, medio Agustus 2015 silam dibentuklah perkumpulan ini.

“Anggota awal terdiri dari 16 orang, kini 30 orang dan konon anggota ini akan bertambah lagi. Keenambelas tersebut diberi gelar. Ketek banamo, gadang bagala,” ujar lelaki bersuara berat ini dan lalu memperkenalkan satu per satu anggota disertai nama asli dan sebutan gelar.

Menurutnya, ditunjuknya rumah berusia lebih 350 tahun itu sebagai tempat dilangsungkan latihan, lantaran fasilitas pada bangunan tersebut dirasa cukup. Adanya penerangan dan tikar yang menghampar luas di dalam rumah, akan menjadi tempat yang nyaman ketika berlatih. Maka, melalui sambutannya pula, Datuk Rajo Endah atas nama pengurus memohon izin kepada BPCB Batusangkar atas pemakaian situs bersejarah dengan No. Inventaris 17/BCB-TB/A/12/2007 tersebut dalam menunjang kegiatan.

  1. Datuak Kayo yang menjabat Penasehat Pidato Alua Pasambahan pun mengapresiasi kegiatan tersebut terutama kepada tetua niniak mamak yang memberi dukungan moral kepada generasi muda dalam mempelajari kiat-kiat dalam berpetatah-petitih yang pada intinya mempelajari kearifan. Disebutkannya, alua pidato pasambahan merupakan sebuah ekspresi seni budaya bagi orang Minang. Kegiatan latihan ini akan menjadi semacam pendidikan nonformal yang bagi orang Minang sejak dulu sudah diterapkan.

Menurutnya, ada empat pendidikan yang mesti dikuasai seseorang laki-laki Minang. Pertama, pandai basilek (bersilat): seni beladiri. Kedua, pandai bakolak: mengasah sikap kearifan. Ketiga, pandai bakitab muluik: mengerti pemimpin yang baik dan bersuritauladan. Keempat, pandai basilek makah: kemafhuman diri sebagai hamba Tuhan dan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya.

Hal senada juga disampaikan Datuak Mangkuto Sinaro sebagai pemangku adat. Menurutnya, kegiatan tersebut merupakan langkah awal. Diharapkannya ke depan tetap terlaksana adat istiadat dalam nagari. Selain itu, kepada generasi muda ia berharap untuk turut mempelajari pidato alua pasambahan yang pada dasarnya mempelajari etika.

Dalam penyampaiannya, perwakilan Kepala BPCB Batusangkar, Azwar Sutihat, mengapresiasi kegiatan yang merupakan bagian dari pelestarian budaya tersebut. Dipaparkannya, sebagai bentuk respon masyarakat, pada tahun 2015 ini BPCB Batusangkar akan merealisasikan program pemugaran Rumah Tuo Kampai Nan Panjang. Utamanya penggantian pada atap ijuk yang telah tiris. Di samping itu juga diminta masukan dan saran dari masyarakat, karena sejatinya kegiatan tidak dapat berjalan secara sepihak.

Meskipun dalam ruang lingkup tugasnya BPCB Batusangkar lebih berfokus pada tinggalan budaya yang bersifat benda (tangible), Azwar Sutihat melanjutkan, BPCB Batusangkar akan mencoba melakukan koordinasi langsung kepada Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) yang mengelola kegiatan bersifat kebudayaan tak benda (intangible) terkait kegiatan tersebut.

Acara kemudian diselingi dengan makan bersama yang didahului dan disudahi dengan alua pasambahan makan. Masyarakat terlihat antusias mengikuti acara meski hingga larut malam. (Dafriansyah Putra, Staf Pokja Pemugaran)