Setelah Indonesia Merdeka, Sistem Transportasi menjadi bagian penting dalam melanjutkan perjuangan. Hal ini disadari oleh pemerintah yang baru bersisi. Pada tanggal 28 September 1945 Djawatan Kereta Api (DKA) didirikan dari nasionalisasi perusahan milik dari Belanda.[1] Staatsspoor- en Tramwegen in Nederlandsch Indië terletak di Jawa dibangun pada tahun 1878-1928 dengan panjang 2761 km, terletak di Aceh dibangun pada tahun 1876-1917 dengan panjang 512 km, Sumbar dibangun pada tahun 1891-1921 dengan panjang 263 km, terletak di Sumsel dibangun pada tahun 1914-1932 dengan panjang 661 km. Pada November 1873 menteri Mr. P.P. van Bosse mengajukan rencana undang-undang yang bertujuan untuk membangun empat lintas jalan rel, tiga lintas diantaranya akan saling bersambung dan menyambung dengan lintas NISM (Nederlands-Indie Spoorweg Maatschappij) SemarangSurakarta-Yogyakarta. Lintas yang lain menghubungkan Pasuruan di Jawa Timur dengan Cilacap melalui daerah-daerah penghasil gula dari kelapa (minyak) yang subur di Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian selatan. Lintas keempat dibangun dari Depok, suatu stasiun pada lintas Batavia-Buitenzorg milik NISM, ke arah timur yang menghubungkan daerah-daerah subur di Jawa Barat bagian utara.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, beberapa hari kemudian dilakukan pengambilalihan stasiun dan kantor pusat kereta api yang dikuasai Jepang. Puncaknya adalah pengambil alihan Kantor Pusat Kereta Api Bandung tanggal 28 September 1945 (kini diperingati sebagai Hari Kereta Api Indonesia). Hal ini sekaligus menandai berdirinya Djawatan Kereta Api Indonesia Republik Indonesia (DKARI). Ketika Belanda kembali ke Indonesia tahun 1946, Belanda membentuk kembali perkeretaapian di Indonesia bernama Staatssporwegen/Verenigde Spoorwegbedrif (SS/VS), gabungan SS dan seluruh perusahaan kereta api swasta (kecuali DSM).Berdasarkan perjanjian damai Konfrensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949, dilaksanakan pengambilalihan aset-aset milik pemerintah Hindia Belanda. Pengalihan dalam bentuk penggabungan antara DKARI dan SS/VS menjadi Djawatan Kereta Api (DKA) tahun 1950.

Pasca Proklamasi Kemerdekaan yaitu setelah terbentuknya Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) pada tanggal 28 September 1945 masih terdapat beberapa perusahaan kereta api swasta yang tergabung dalam SS/VS (Staatsspoorwagen/ Vereningde Spoorwagenbedrijf) atau gabungan perusahaan kereta api pemerintah dan swasta Belanda) yang ada di Pulau Jawa dan DSM (Deli Spoorweg Maatschappij) yang ada di Sumatera Utara, masih menghendaki untuk beroperasi di Indonesia.[2] Pada saat kembali ingin menguasai Indonesia, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali perusahaan ini yang mengurus perkeretaapian di Jawa, Sumbar dan Sumatera Selatan.

Pada awal era kemerdekaan peranan kereta api  tetap menjalankan fungsinya sebagai sarana transportasi walau tersendat-sendat jalannya, karena sepanjang tahun 1945-1950 bangsa Indonesia disibukkan oleh perang mempertahankan kemerdekaan.[3] Kendala utama tersendatnya peranan perusahaan kereta api adalah banyaknya fasilitas-fasilitas kereta api yang rusak akibat perang dunia II, ditambah lagi banyak pembongkaran rel kereta api oleh Jepang dipergunakan untuk membangun rel kereta api di Burma.[4] (Aulia Rahman, 2018:153)

Dimulai tahun 1950 menjadi titik tolak kebangkitan perkeretaapian di Indonesia karena bangsa ini mendapat pengakuan kedaulatan dari kerajaan Belanda sehingga memberi efek keamanan di dalam negeri. Di daerah Sumbar transportasi kereta api menjadi normal kembali pasca kemerdekaan setelah mencapi kejayaan dari perkembangan kereta api di masa kolonial Belanda. Pada tahun 1950 ini kereta api di Sumbar memulai babak baru. Pada tahun ini, kereta api kembali menjalankan fungsinya sebagai sarana transportasi massal dan barang.

Titik kebangkitan perusahaan dimulai dengan mendatangkan lokomotif diesel. Tercatat 1957-1967 sekitar 250 lokomotif diesel beroperasi menggantikan berbagai lokomotif uap yang banyak beroperasi di lintasan utama antara lain Padang, Pariaman, Padang Panjang, Solok dan Sawalunto. Pengadaan lokomotif ini dilaksanakan dalam rentang  pergantian nama dari DKA-RI (Djawatan Kereta Api Republik Indonesia) berubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) pada tahun 1963.

[1] GEDENKBOEK der Staatsspoor en Tramwegen in Nederlandsch Indie (1875-1925), Buku Kenang-kenangan kereta api dan trem di Hindia Belanda untuk masa laporan tahun 1875-1925, oleh S.A. Reitsma (Redaktur), Dinas Informasi Topografi Hindia Belanda – Jatinegara 1925

[2]Rencana Induk Perkeretaapian Nasional, Laporan (Jakarta : Direktorat Jendral Perkeretaapian – Kementrian Perhubungan, 2011) hlm. 6

[3]Ibid, hlm 16

[4] Aulia Rahman, Menikam Jejak Kereta Api di Sumatera Barat (Batusangkar : BPCB Sumatera Barat, 2018) hlm 153