Mande Siti yang dikenal dengan sebutan singa betina dari Manggopoh, mampu membuat kocar kacir Kolonial Belanda atas aksinya yang heroik bersama suaminya serta masyarakat Manggopoh yang menewaskan puluhan tentara Belanda. Peristiwa ini dikenal dengan Perang Manggopoh yang bermula dari penerapan belasting (pajak) yang mencekik oleh Kolonial Belanda yang terdiri pajak rodi, pajak tanah, pajak rumah adat, pajak kepala, pajak keuntungan, pajak penyembelihan, pajak tembakau, pajak barang hingga pajak rumah tangga.

Masyarakat Manggopoh merasa terhina dengan diterapkannya belasting atas tanah yang telah dimiliki mereka secara turun temurun dan hal ini bertentangan dengan adat Minangkabau, Mande Siti merupakan tokoh sentral dalam perjuangan ini, bersama suaminya Rasyid dan masyarakat  Manggopoh melakukan penyerangan ke markas tentara Belanda. Mande Siti mengumpankan dirinya demi negeri yang dicintainya, meninggalkan buah hati yang sedang erat menyusu. Perjuangan memanggil hati nuraninya, memberikan jiwa dan raganya tanpa memikirkan apa yang diberikan negeri ini untuk dirinya. Kisah patriotnya dan masyarakat Kamang menjadi goresan abadi yang akan selalu dikenang.

16 Juni 1908 ketika malam  merangkak, gelap semakin purna, desau angin menyiratkan lara akan adanya darah-darah pejuang yang tertumpah. Siti Manggopoh menyusup menjadi umpan ke markas belanda yang sedang berpesta. Menyelipkan ruduih dipingganngnya yang siap merobek perut musuh, ruangan yang terang benderang berubah gelap gulita ketika Mande Siti berhasil mematikan lampu, saat itulah masyarakat memburu masuk ke dalam. Mande Siti merobek daging musuh memaksa jiwa terpisah dari raga, lolongan kesakitan dan keterkejutan dari pihak musuh bersatu padu dengan teriakan takbir dari pejuang.  Puluhan tentara Belanda mati, hanya dua orang yang lolos.

Mande Siti dan suaminya kemudian ditangkap, dua sejoli yang mempertaruhkan kebahagiaan untuk negerinya kemudian dipisahkan. Mande Siti dijebloskan ke panjara Lubuak Basung, Pariaman kemudian Padang. Rasyid dibuang ke Manado, sampai akhir hayatnya pasangan ini tak dapat bertemu. Rasyid sang suami tercinta yang menemaninya dalam perjuangan yang penuh luka wafat di negeri jauh.  Singa betina dari Manggopoh ini dapat menikmati kemerdekaan indonesia namun sayangnya dia terlupakan dalam eforia kebahagiaan. Belasan tahun kemudian orang baru tersentak dengan perjuangan Siti Manggopoh dan orang-orang kembali mengingat macan betina tersebut.

Meskipun para pejuang tak dapat lagi kita jumpai, masjid Siti Manggopoh masih lestari sampai saat  ini yang dulunya juga berfungsi sebagai tempat latihan beladiri dan persiapan strategi perang. Pada mulanya dinding masjid terbuat dari bambu dan beratap ijuk dan sekarang seluruh komponen yang semula dari bambu dan atap ijuk diganti dengan dinding beton dan atap seng. Masjid ini beratap tumpang tiga dari seng dengan denah bujur sangkar. Ruang utama masjid ini ditopang oleh 9 buah tiang dengan tiang utama berdiameter 64 cm, sedangkan tiang lainnya berdiameter 30 cm. Lantai masjid terbuat papan yang sudah diganti dengan bahan baru yaitu semen. Langit-langit terbuat dari bahan triplek sisi dalam dan sisi luar/teras terbuat dari seng. Pintu terletak di sisi timur 1 buah dan sisi utara 1 buah, terbuat dari kayu. Mihrab terbuat dari kayu dan mempunyai ukiran bermotif sulur-suluran terletak di sisi barat. Selain itu juga sebagai tempat penyusunan( BPCB Sumbar)(Penulis Merry Kurnia)

Sumber Gambar : http://rizkaank.blogspot.com/ dan Koleksi BPCB Sumbar