Mitigasi Bencana Bangunan Cagar Budaya Berbahan Kayu dalam Konteks Pelestarian Cagar Budaya
oleh: Dodi Chandra, S.Hum

 

Potensi tinggalan arkeologi di Provinsi Sumatera Barat tersebar pada kondisi geografis dan ekologis yang beragam mulai dari dalam air, pesisir pantai, lembah, hingga daerah pegunungan, dari kota yang padat penduduk hingga pedesaan di wilayah Sumatera Barat.  Berbagai tinggalan tersebut ada yang sudah tidak dimanfaatkan, tetapi sebagian besar masih banyak yang dimanfaatkan oleh masyarakat banyak, khususnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pedidikan, keagamaan, sosial, ekonomi, pariwisata, dan lain-lain.

Disamping keberadaannya yang tersebar dengan ragam kondisi geografis dan ekologis tersebut, tinggalan arkeologi pada dasarnya juga sedang menghadapi ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Ancaman dari dalam berupa kerusakan karena faktor usia, sementara ancaman dari luar datang dari kondisi alam, binatang maupun manusia. Ancaman karena usia dapat diupayakan melalui berbagai kegiatan seperti perawatan, konservasi dan koservasi. Perlidungan dari ancaman manusia sendiri dilakukan melalui penyuluhan, pengamanan, penjagaan penyimpanan, dan dengan berbagai peraturan perundang-undangan.

Ancaman yang paling berbahaya justru datang dari faktor alam dalam artian bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kebakaran, gunung meletus, gempa bumi, tsunami dan lain-lain. Hal ini tidak dapat dipungkiri dengan kondisi wilayah Sumatera Barat yang dilingkupi oleh gunung berapi aktif, berada pada wilayah patahan lempeng tekntonik yang rawan terhadap gempa bumi.

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat memiliki tugas pokok melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya dan yang diduga Cagar Budaya. Salah satu sub-bagian dari fungsi BPCB Sumatera Barat adalah penyelamatan. Penyelamatan menurut Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2010 adalah upaya menghindarkan dan/atau menanggulangi Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan. Salah satu aspek dalam menanggulangi Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran atau bahkan kemusnahan dengan melakukan mitigasi bencana. Mitigasi bencana dalam UU No.24 tahun 2007 tantang Penanggulangan Bencana, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 9 dan PP No 21 Tahun 2008, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 6, arti mitigasi adalah upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak dari bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Dalam artian lain mitigasi bencana adalah tahap awal penanggulangan bencana alam untuk mengurangi dan memperkecil dampak bencana dan kegiatan ini dilakukan sebelum bencana terjadi.

Mitigasi bencana pada bangunan kayu memang memiliki karakter yang berbeda dibandingkan dengan bangunan yang lain. Bangunan kayu yang rentan akan kebarakan, kerapuhan harus didukung pula dengan metode mitigasi bencana yang tepat dan terukur. Sebelum melakukan mitigasi bencana terlebih dahulu harus mengidentifikasi potensi ancaman (bencana) yang ada pada Cagar Budaya seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, tanah longsor, kebakaran dan sebagainya.  Kemudian upaya selanjutnya adalah mengidentifikasi kerentanan pada Cagar Budaya. Kerentanan yang dimaksud adalah kelemahan-kelamahan yang dialami oleh Cagar Budaya dalam menghadapi datangnya bencana. Kerentanan tersebut bisa dilatarbelakangi oleh lokasi, kondisi fisik dan teknologi, sosial, manajemen dan sebagainya. Setelah proses identifikasi dilakukan, dilanjutkan dengan analisis kemungkinan dampak bencana berupa. Hasil dari analisis tersebut barulah dilakukan pencegahan dan mitigasi bencana. Adapun upaya pencegahan yang dilakukan dalam mitigasi bencana adalah: melakukan pendataan Cagar Budaya di daerah rawan bencana secara lengkap, melakukan pemetaan Cagar Budaya dan permasalahan di daerah rawan bencana serta analisis resikonya, menentukan prioritas Penyelamatan Cagar Budaya; melakukan sosialisasi dan penyebarluasan informasi tata cara penyelamatan Cagar Budaya dalam menghadapi bencana,  meningkatkan kerja salam yang solid dengan kelompok sosial di sekitar Cagar Budaya; melakukan simulasi dan pelatihan mitigasi bencana khususnya pada Cagar Budaya; membuat dan menempatkan tanda-tanda peringatan, bahaya, larang memasuki daerah rawan bencana; membuat jalur evakuasi jika terjadi bencana dan membuat bangunan atau struktur pengamanan di sekitar Cagar Budaya.

Sebagai wilayah yang kental dengan adat, Sumatera Barat khususnya Kabupaten Tanah Datar memiliki potensi bangunan tradisional yang masih terjaga hingga sekarang baik berupa rumah gadang dan bangunan peribadatan (masjid, surau). Kelompok kerja Penyelamatan Pengamanan dan Zonasi pada tahun 2016 yang lalu melakukan kegiatan Studi Mitigasi Bencana Bangunan Kayu (Living Monument) di Provinsi Sumatera Barat dan Riau. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa masih banyak ancaman yang cukup tinggi terhadap bangunan kayu. Ancaman bangunan kayu tersebut tidak hanya datang dari aspek internal juga eksternal. Ancaman yang berpotensi besar justru datang dari faktor eksternal khususnya bencana alam dan listrik.

Pemasangan penangkal petir misalnya wajib diterapkan pada bangunan kayu. Hal ini dikarenakan sifat kayu yang mudah terbakar. Petir yang tidak dapat diprediksi datangnya, sangat berpotensi terhadap kebakaran bangunan kayu terlebih yang masih memakai atap ijuk. Jariangan listrik di dalam bangunan pun harus menjadi perhatian, sebab kesalahan dalam menata jariangan listrik akan dapat berdampak pada korsleting listrik. Kebakaran di Istano Basa Pagaruyung tahun 2007 silam setidaknya dapat menjadi pelajaran bagi kita dalam melakukan penataan jaringan listrik pada bangunan kayu.

Dalam upaya mitigasi bencana local wisdom atau kearifan lokal masyarakat tidak dapat dipisahkan. Kearifan lokal masyarakat memberikan informasi bahwa pada prinsipnya dalam pendirian bangunan rumah gadang dahulunya sudah menerapkan kontruksi yang meminimalisir dampak bencana alam khususnya gempa. Salah satu aspek yang dapat kita lihat adalah penggunaan batu sandi atau umpak serta sistem pasak yang diterapkan pada bangunan. Kontruksi ini pada dasarnya mengikuti dari kondisi geografis dimana bangunan itu ada.  Alam Takambang Jadi Guru begitulah konsep orang Minangkabau dahulunya,  yang memberikan pehamanan pada kita, bahwa masyarakat dahulunya telah mempelajari alam dan kondisi geografis wilayahnya sebelum mendirikan bangunan. Kondisi geografis Tanah Datar yang rawan akan gempa baik tektonik dan vulkanik menginspirasi masyarakat Minangkabau dahulunya dalam mendirikan bangunan.

Pada akhirnya dalam mengupayakan dan memaksimalkan mitigasi bencana pada Cagar Budaya diperlukan koordinasi lintas sektor seperti Sektor Pemerintahan, Sektor Pekerjaan Umum, Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, Sektor Kehutanan, Sektor Lingkungan Hidup, TNI/POLRI dan sektor lainnya. Peran masyarakat pemilik dan pengelola Cagar Budaya sangat berperan dalam upaya mitigasi bencana, karena masyarakat sebagai pelaku awal penganggulangan bencana sekaligus korban bencana yang harus mampu dala batasan tertentu menangani bencana. Selain itu juga peran swasta, lembaga non pemerintah, perguruan tinggi, dan media juga diharapkan akan dapat berperan aktif dalam melakukan mitigasi bencana. Dengan adanya kolaborasi dan sinergi antar stakeholder tersebut diharapkan nantinya akan ada perlidungan terhadap bangunan-bangunan tradisional berbahan kayu di Provinsi Sumatera Barat pada umumnya dan Kabupaten Tanah Datar pada umumnya.