Di rumah inilah Saleha dan suaminya Mohammad Djamil mempertautkan bayi itu dengan tanah minang, darah saudagar dan pemuka agama deras mengalir ditubuhnya, seratus tahun lebih raga Hatta terkubur namun karya serta jasanya masih hidup dalam ingatan dan hati masayarkat. Meskipun tidak pernah bertemu, berbincang menatap wajah sederhananya yang cerdas, Rumah kelahirannya menjadi pengobat rindu, pelipur lara. Banyak orang-orang datang menengok rumah kayu tersebut untuk sekedar berkunjung ataupun ingin meresapi satu jalan sejarah (Tempo)

Rumah kayu berlantai dua ini terletak di Nagari Aua Tajungkang berjejer dengan rumah-rumah modern dalam kota yang padat, berada dijalur pelintasan Bukitttingi-Payakumbuh membuat kendaraan ramai berlalu lalang. Meskipun hampir tenggelam dalam hiruk pikuk kota, rumah ini tetap lestari dan kokoh. Untuk menyigi dan menapak kembali kenangan akan sosok sang  proklamator negarawan sederhana yang genius dan religius kita akan menyibak ruang-ruang kenangan dalam rumah ini.

Dalam memoar yang ditulisnya Hatta menarasikan kenangan mengenai rumah ini,  dalam penjelasan Hatta dia bersama keluarganya di Bukittinggi tinggal dalam satu rumah, terdiri dari buyutnya yang biasa dipanggil Nenek, Pak Gaek dan Nenek, Ibu Hatta sedangkan Ayah Hatta hanya datang pada akhir minggu karena pusat kerjanya berada di Padang. Mak Saleh, Paman Hatta yang biasa dipanggil Mak Alieh juga tinggal disitu bersama istrinya, selanjutnya Paman Hatta yang paling muda Mak Idris yang pada masa itu masih bujangan dan satu kakak perempuan Hatta yang bernama Rafi’ah. Rumah kayu bertingkat dua tersebut cukup luas untuk menampung semua penghuni bahkan masih ada tempat bagi pelayan, namun setelah adik-adik Hatta lahir dan pamannya juga mempunyai anak, Pak Gaek Hatta kemudian mendirikan tiga rumah baru sederet letaknya dengan rumah utama. (Mohammad Hatta :18)

Lalu lintas padat meningkahi perjalanan ketika hendak berkunjung ke rumah Sang Proklamator ini, tepat di jalan lintas di kawasan Pasar Banto berdirilah rumah kayu ini dengan penanda papan bertuliskan Rumah Kelahiran Bung Hatta. Rumah dengan halaman yang tidak begitu luas hanya bisa menampung satu atau dua buah mobil. Untuk menjaga kelestariannya pengunjung tidak diperbolehkan parkir di halaman rumah, pengunjung biasanya memarkirkan mobil di bahu jalan. Melangkahkan kaki di halaman rumah, rindu merebak memenuhi jantung pada sosok pemimpin yang dirindukan serta pada kenangan tempo dulu yang datang dengan tiba-tiba. Memoar yang ditulis Hatta dalam buku “Untuk Negeriku” seakan terbentang jelas di depan mata dan kita terhisap dalam kenangan yang tak bertepi.

Hatta dan tulisan siam tak terpisah, tulisan adalah amunisi terkuat Hatta. Tulisan pertamanya menceritakan kisah khayali antara Hindania dan Wolandia mengenai kisah cinta yang perih “Namaku Hindania!” tulis Hatta. “Aku dilahirkan di matahari, hidup waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang amat merdu bunyinya.” Kisah sederhana itu akan terjatuh menjadi roman picisan seandainya Hatta bercerita tentang cinta belaka. Hindania adalah personifikasi “Indonesia”. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, dia bertemu seorang musafir dari Barat, Wolandia, yang kemudian mengawininya. Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga “lebih mencintai hartaku daripada diriku” dan “menyia-nyiakan anak-anaku”. Dalam kepedihan, Hindania bersyukur terjadi perubahan besar di Barat. Yakni ketika Maharaja Mars yang bengis naik takhta di “negeri maghrib”,  yang kebengisannya menyadarkan Wolandia untuk lebih bermuka manis. Pada 1920, ketika Hatta menulis itu, pemerintah Belanda sedang gencar menerapkan kebijakan “politik etis”, bersikap lebih manis kepada rakyat pribumi, setelah mereka mengalami sendiri pahitnya dijajah Jerman selama Perang Dunia I-perang dahsyat yang dipersonifikasikan Hatta sebagai Maharaja Mars.(Tempo).

Di depan halaman yang ditumbuhi rumput, tumbuh beberapa pohon yang menambah kesejukan Kota Bukittinggi. Menapaki beberapa buah anak tangga kita sudah sampai di beranda rumah yang sederhana namun sangat rapi dan epik, semuanya berbahan dasar kayu. Di Beranda rumah terdapat meja dan beberapa kursi untuk menerima tamu ataupun sekedar tempat duduk pengunjung, Di lantai satu banyak terdapat koleksi foto-foto, diantaranya foto Mak Saleh Mak Idris dan koleksi foto-foto hatta lainnya, selain itu juga terdapat mesin jahit lama. Dalam setiap barang koleksi sudah tertulis aturan yang harus di patuhi pengunjung, seperti tidak boleh duduk diatas tempat tidur maupun kursinya. Hal ini bertujuan untuk menjaga barang koleksi agar tetap awet dan lestari

    Barang-barang koleksi yang terdapat di dalam rumah Bung Hatta, adalah barang-barang yang digunakan pada masa itu dan itu didapatkan dari sanak kerabat Bung Hatta. Di lantai satu terdapat tiga pintu, dua pintu sejajar yang terdapat diujung kiri dan kanan berfungsi sebagai pintu masuk, sedangkan pintu ketiga terdapat di  ujung ruangan sebelah kanan yang berfungsi sebagai pintu keluar untuk menuju ruang belakang.

    Menyusur ruang makan disebelah kanan, kita akan menemukan tangga untuk menyigi lantai dua. Disini terdapat dua kamar besar, diantaranya kamar kakek Hatta dan kamar Ibu Hatta. Di rumah inilah serpihan kenangan akan Sang proklamator tertinggal, jika rindu mengait jantungmu akan pemimpin yang jujur, singgahilah rumah ini. Kenangan akan menyusup memenuhi ruang ruang jantung, sosok sang proklamator seakan membawa pesan “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki. Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta. (Bung Hatta)”