Mengungkap Rahasia Kearifan Lokal Rumah Gadang

(Titin Nofita Handa Puteri, S.Si)

Pelestarian cagar budaya berbasis kearifan lokal merupakan pelestarian dengan menggunakan metode, teknologi, maupun bahan tradisional. Saat ini semakin disadari kearifan budaya nenek moyang terbukti efektif dan memberikan hasil yang baik dalam pelestarian cagar budaya. Nenek moyang pendahulu kita dengan berbekal pengalaman dan bahan yang tersedia di alam ternyata memiliki kearifan tersendiri yang sudah seharusnya menjadi bekal pengetahuan juga bagi kita dalam melestarikan cagar budaya.

Penggunaan metode dan bahan modern, seperti penggunaan bahan kimia tertentu dalam pelestarian cagar budaya, dikhawatirkan berpotensi menimbulkan efek negatif terhadap benda, pengguna, dan lingkungan. Sementara pelestarian cagar budaya secara tradisional biasanya hanya menggunakan bahan alami yang tersedia di daerah setempat dengan alat dan metode yang sederhana. Penggunaan bahan alam relatif lebih aman dan ramah lingkungan. Selain itu, penggunaan bahan alami setempat juga memberi kemudahan dalam hal ketersediaan bahan, kita tidak harus bersusah payah mendatangkan bahan dari luar kota atau harus mengimport dari luar negeri. Hal ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan penggunaan bahan kimia yang sulit dalam pengadaannya dan bahkan harus import. Dan hal tersebut juga menjadi salah satu dasar pemikiran untuk menggunakan metode tradisional dalam pelestarian cagar budaya.

Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tertentu terbukti mampu bertahan dalam waktu yang relatif panjang. Tidak hanya itu, pengetahuan dan keterampilan tradisional seharusnya menjadi aset intangible yang penting untuk dilestarikan. Disadari atau tidak penggunaan metode tradisional juga akan meningkatkan nilai penting dari cagar budaya. Dan yang menjadi tugas kita saat ini adalah menggali kearifan lokal tersebut untuk kemudian melakukan pembuktian ilmiah terhadap kebenaran dan keefektifannya. Kearifan lokal yang didukung oleh pembuktian ilmiah tentu saja akan memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam pelestarian cagar budaya. Contohnya saja : penggunaan air rendaman tembakau dan cengkeh (tradisi masyarakat Kudus Jawa Tengah merawat bangunan kayu) yang terbukti efektif untuk pembersihan dan pengawetan kayu.

Menyadari hal tersebut, kami BPCB Batusangkar yang secara administratif berada di Provinsi Sumatera Barat tepatnya di Batusangkar dengan etnis masyarakat Suku Minangkabau meyakini bahwa Suku Minangkabau juga menyimpan banyak kearifan lokal. Melihat bangunan tradisional Suku Minangkabau yang unik berupa ‘rumah gadang’ tentu ada kearifan lokal yang perlu digali, dipelajari, dan didokumentasikan dari rangkaian proses pendiriannya, sehingga pelestarian berbasis kearifan lokal terhadap bangunan tradisional tersebut dapat diwujudkan.

Rumah gadang merupakan rumah adat Minangkabau. Bangunan ini disebut rumah gadang tidak hanya karena ukurannya yang gadang (besar), tetapi juga karena fungsinya yang besar. Rumah gadang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal bersama, tapi juga sebagai tempat bermusyawarah, sebagai tempat merawat keluarga, sebagai tempat melaksanakan upacara adat, dan sebagai simbol eksistensi suatu kaum dalam nagari. Rumah adat ini juga disebut rumah bagonjong karena bentuk atapnya yang melengkung runcing yang disebut gonjong mirip lengkung tanduk kerbau. Rumah gadang memiliki keunikan tersendiri baik dari segi arsitektur maupun nilai filosofi yang memaknainya, yang menunjukkan kearifan lokal nenek moyang Suku Minangkabau dalam membangun tempat tinggal mereka. Rumah gadang bisa menjadi salah satu bukti fisik keberadaan Suku Minangkabau sekaligus menjadi identitas karakteristik bagi Suku Minangkabau sendiri yang bahkan bentuk atap gonjong ini diterapkan pada bangunan modern.
Salah satu gonjong rumah gadang di Nagari Sumpur Kab. Tanah Datar Sumbar

Rumah gadang berbentuk segi empat yang mengembang ke atas. Lengkung badan rumah landai seperti badan kapal. Rumah Gadang berupa rumah panggung dengan lantai papan sekitar satu atau dua meter diatas permukaan tanah, dan terdapat tangga di bagian depan untuk masuk rumah gadang. Bagian dalam rumah gadang terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Lanjar adalah bagian antara deretan tiang depan dan belakang, sedangkan ruang adalah bagian antara tiang kiri dan kanan. Lanjar belakang berfungsi sebagai kamar tidur, lanjar tengah berfungsi sebagai ruang makan atau ruang keluarga, dan lanjar depan berfungsi sebagai ruang tamu.titin novita

Pada dasarnya denah rumah gadang sederhana yaitu persegi panjang dengan pembagian ruang yang sederhana, namun menyiratkan banyak makna. Berlakunya sistem matrilineal (garis keturunan menurut garis keturunan ibu) juga dapat dilihat dari cara hidup di rumah gadang. Kentalnya Agama Islam juga tergambar dari pola hidup dan kepercayaan dalam rumah gadang sesuai dengan falsafah Suku Minangkabau ‘adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah‘. Bangunan rumah gadang menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis yang juga sesuai dengan falsafah Suku Minangkabau “alam takambang jadi guru”. Aktifitas di rumah gadang seperti : cara duduk, cara berbicara, dan cara bersikap baik laki-laki dan perempuan memiliki norma tertentu sesuai dengan aturan adat.

 Namun pada kenyataannya sekarang, keberadaan rumah gadang semakin berkurang baik kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini terjadi karena bangunan rumah gadang yang ada sekarang sudah mengalami kerusakan dan pelapukan atau mungkin hancur karena berbagai faktor, sementara kita lebih cenderung membuat bangunan baru dengan bahan dan gaya yang lebih modern mengikuti perkembangan zaman. Hal ini juga menunjukkan terjadi perubahan cara hidup dan mulai berkurangnya rasa hormat terhadap adat. Selain itu, besarnya biaya pembangunan rumah gadang dan kesulitan untuk mendapatkan bahan dan tukang tradisional juga menjadi faktor berkurangnya keberadaan rumah gadang. Ini berarti laju kemunduran kualitas dan kuantitas bangunan rumah gadang tidak sebanding dengan usaha kita untuk mempertahankan dan melestarikannya.

titinnn

Dari segi bahan, hampir seluruh komponen bangunan rumah gadang dibuat dari kayu kecuali atap (biasanya dibuat dari ijuk atau seng) dan sandi (dari batu kali berbentuk pipih yang berfungsi sebagai pondasi bangunan). Oleh karena itu, salah satu upaya pelestarian yang dilakukan adalah melestarikan bahan kayu sebagai komponen utama bangunan rumah gadang. Pelestarian terhadap fisik bangunan, diharapkan akan membawa konsekuensi terhadap pelestarian nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Bekerja di Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar memberikan saya kesempatan untuk mengunjungi beberapa rumah gadang di berbagai daerah di Provinsi Sumatera Barat, diantaranya Rumah Gadang Engku Lareh Paninjauan di Kabupaten Agam, Rumah Gadang 20 Ruang di Kabupaten Solok, Rumah Tuo Kampai Nan Panjang di Kabupaten Tanah Datar, Rumah Gadang Dt. Bandaro Nan Kuniang di Kabupaten Tanah Datar, Rumah Gadang 13 Ruang Suku Dalimo di Kabupaten Sijunjung, Rumah Gadang Gajah Maharam di Kota Solok, Istano Rajo Adat Alam Surambi Sungai Pagu di Kabupaten Solok Selatan, Rumah Gadang Dt. Parpatih di Kabupaten Lima Puluh Kota, 44 (empat puluh empat) Rumah Gadang di Nagari Sumpur Kabupaten Tanah Datar, Rumah Gadang di Kawasan Padang Ranah Kabupaten Sijunjung. Dalam rangka menggali kearifan lokal Suku Minangkabau dalam merawat rumah gadang, ketika bertemu dengan orang – orang yang secara emosional memiliki ikatan dengan rumah gadang, seperti pemilik, penghuni, tokoh adat, tukang tuo, saya sering mengajukan pertanyaan yang sama : Bahan alami apa yang biasa digunakan untuk merawat kayu rumah gadang?

Namun sayang, saya belum mendapatkan informasi mengenai bahan alam (seperti tembakau dan cengkeh) yang biasa digunakan masyarakat dalam merawat kayu rumah gadang. Informasi yang sering diceritakan justru proses mempersiapkan kayu untuk bangunan rumah gadang seperti….  selengkapnya >>>>>Mengungkap Rahasia Kearifan Lokal Rumah Gadang.pdf