Perbedaan antara “pencitraan” dan “publikasi” tipis sekali. Ia dapat diibaratkan bak sehelai benang. “Pencitraan” berkonotasi negatif, sementara “Publikasi” menggunakan nilai dan muatan positif. Perbedaan mendasar antara keduanya tergantung motif dari si pengirim pesan. Meskipun demikian, kedua kata itu tetap bermuatan atau bernilai informasi sebagai konsumsi publik, informasi kinerja perorangan atau lembaga.

Publikasi bagi lembaga pemerintahaan merupakan sebuah hal penting dan suatu keharusan. Melalui berbagai media, muatan publikasi inilah yang menjadi poin penilaian bagi masyarakat luas terhadap apa yang dilakukan seseorang atau sebuah lembaga.

Begitu pula halnya dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sumatera Barat. Institusi di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut memiliki wilayah kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau. Terang saja, dengan luasnya wilayah kerja, maka Publikasi yang terkait dengan tugas dan fungsinya, yakni Pelestarian Cagar Budaya, sangat-sangat diperlukan. Beragam muatan informasi yang dipublikasikan diharapkan akan berefek tidak langsung bagi aktifitas pelestarian cagar budaya. Sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di daerah, Balai Pelestarian Cagar Budaya adalah perpanjangan tangan Pemerintah di daerah. Salah satu bentuk implementasi tanggung jawab Pemerintah itu dilakukan dalam bentuk upaya mempublish ragam aktifitas dan pekerjaan yang telah dilakukan Balai Pelestarian Cagar Budaya kepada masyarakat luas sesuai kaidah pelestarian cagar budaya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Balai Pelestarian Cagar Budaya atau biasa disingkat BPCB, bertugas melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya dan yang diduga cagar budaya yang berada di wilayah kerjanya. Adapun fungsi dari BPCB adalah melaksanakan penyelamatan dan pengamanan, zonasi, pemeliharaan, pengembangan, pemanfaatan, dokumentasi dan publikasi, serta pelaksanaan kemitraan di bidang pelestarian cagar budaya dan yang diduga cagar budaya.

Sesuai dengan dengan salah satu Fungsi dari BPCB, pekerjaan Dokumentasi dan Publikasi dilakukan oleh sebuah kelompok kerja yang dibentuk untuk menjadi corong utama bagi Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat.  Kelompok kerja itu dibentuk untuk menginformasikan segala hal terkait dengan aktifitas pelestarian cagar budaya. Diantara bentuk kegiatan publikasi yang dapat dilihat secara langsung misalnya pameran terkait cagar budaya, pencetakan dan pendistribusian buku, booklet, maupun leaflet yang memuat informasi tentang pentingnya melestarikan cagar budaya. Di samping itu, publikasi terkait pelestarian cagar budaya turut diupayakan melalui media-media mainstream jagad maya seperti, facebook, instagram, youtube serta website. Jika diuarai lebih jauh mengenai aktifitas Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, tentu akan banyak istilah-istilah teknis dalam dunia pelestarian cagar budaya yang sangat asing bagi masyarakat awam. Apa sih ekskavasi? Lalu bagaimana pula itu zonasi? Dan apa yang dimaksud dengan konservasi, adaptasi, revitalisasi dan istilah-istilah teknis lain yang berasal dari bahasa asing. Masih pekerjaan pelestarian cagar budaya. Memberikan pemahaman tentang diksi-diksi serapan itu tentu saja membutuhkan proses yang tidak sebentar. Apalagi terkait dengan aspek tindak yang dicakup pertanyaan bagaimana memelihara? bagaimana menyelamatkan temuan yang diduga cagar budaya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tentu saja hanya sekelumit kecil dari rumitnya pekerjaan pelestarian cagar budaya.

Kita hidup dalam era dimana perkembangan teknologi informasi berkembang amat pesat. Semua orang dengan bebas akan menyebarkan informasi kepada publik luas melalui media sosial sesuai dengan persepsi dan pengetahuan serta kepentingan masing-masing. Dalam pada itu, tidak jarang terjadi distorsi informasi terkait cagar budaya. Satu kesalahan informasi

dengan cepat berkembang dan diterima oleh masyarakat luas. Akan tetapi, kondisi ini pada sisi lain justru menguntungkan berbagai pihak sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Jika sebuah objek cagar budaya atau diduga cagar budaya viral di masyarakat luas sekalipun dengan informasi yang keliru, pada tahap inilah BPCB tinggal memberi informasi   penyeimbang terhadap objek yang sudah ngetop itu. Demikian pula halnya dengan lembaga pemerintah yang lain sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.

Bagi BPCB, menyampaikan kepada masyarakat luas tentang pentingnya melestarian cagar budaya adalah sesuatu yang penting. Pekerjaan khas Pelestarian Cagar Budaya seperti “ekskavasi” tentu saja berbeda dengan penggalian tanah seperti yang jamak dilakukan oleh masayarakat dalam kesehariannya. Begitu pula halnya bentuk perlakuan ketika seorang penduduk atau masyarakat menemukan benda yang di duga cagar budaya, bagaimana cara menyelamatkannya, kepada siapa akan dilaporkan, lalu apa bentuk kompensasi yang mereka terima dengan penemuan dan pelaporan tersebut. Selanjutnya, bagaimana sebuah bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya diperlakukan, misal cara mengganti komponen-komponen bangunan, tiang, atap, lantai dan komponen lainnya. Jika sebuah bangunan memiliki banyak binatang pengerat, bagaimana sebaiknya perlakuan agar binatang itu dapat diatasi dan komponen bangunan tidak cepat rusak akibat penggunaan konservan. Dalam dunia pelestarian cagar budaya, semuanya memiliki cara kerja dan cara-cara kerja itu perlu dipublikasikan kepada masyarakat luas. 

Bagaimana menginformasikan itu kepada masyarakat?

Pada tahapan ini, kolaborasi dan sinergi atau dalam bahasa yang lebih humanioriknya ~ “gotong royong” penting untuk diaplikasikan. Gotong royong itu dilakukan antar unsur yang terlibat sebagai bagian dari Pelestarian Cagar Budaya. Salah satu cara yang sering dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya adalah berupa kegiatan; pameran cagar budaya, sosialisasi cagar budaya, serta pemutaran film dokumenter terkait apa saja yang pernah dilakukan dan cara kerja untuk pelestarian cagar budaya. Sekalipun kegiatan-kegiatan itu tidak menyentuh langsung si objek cagar budaya, akan tetapi kegiatan yang dilakukan diharapkan akan memberi semacam coattail effect atau “dampak ekor jas” dimana peserta yang menjadi sasaran publikasi dapat menjadi agen untuk melanjutkan informasi tentang pentingnya melestarikan penginggalan budaya kepada orang-orang di sekitar lingkungannya.        Setiap organisasi baik formal maupun non formal seperti kelompok/komunitas menjadikan “publikasi” sebagai pendekatan strategis agar organisasi atau kelompoknya dikenal. Tanpa “publikasi”, tentu saja berbagai kegiatan internal yang telah direncakanan dan dilaksanakan dengan baik, tidak berdampak secara signifikan.

            Sebagai penutup untuk menekankan pentingya publikasi, ada baiknya kita kutip pendapat seorang Hitler, ”Kebenaran adalah Kebohongan yang Diulang Seribu Kali”. Bagi kalangan humanis, mengutip pendapat ini tentu berlebihan sekali, apalagi dari seorang Nazi. Akan tetapi, sebagai orang yang senantiasa belajar dari masa lalu, kita dapat melihat betapa luar biasanya daya dobrak “publikasi” yang dilakukan secara terukur.

(Pen.Marjohan Syarif/Ed.Ahmad Kusasi)