Kabar mengejutkan itu akhirnya datang juga. Ketika rapat evaluasi keikutsertaan BPCB Sumatera Barat dalam Festival Pulau Penyengat baru saja ditutup oleh Kepala, seorang staf memasuki ruang rapat dan berbisik, “Datuak Malano telah meninggalkan kita semua”. Sontak, bisikan Afrizal tersebut membuat suasana hening, memupus keterkejutan akibat berita duka yang disampaikan. “Besok, seluruh pegawai ke Dharmasraya!”, tutur Nurmatias memecahkan suasana.

Atuak, begitu Abdul Wahab sering dipanggil oleh rekan-rekan BPCB Sumatera Barat. Bukan tidak beralasan panggilan itu lekat ke almarhum. Abdul Wahab adalah salah satu pemuncak suku Caniago di negeri kelahirannya. Oleh sukunya, dia diberi gelar Datuak Malano.

Abdul Wahab bergabung ke BPCB Sumatera Barat sejak kantor tersebut masih bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Pada tahun 1992, Abdul Wahab Datuk Malano ditunjuk sebagai Juru Pelihara Situs Candi Awang Maombiak, Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung. Dengan demikian, penunjukan yang bersangkutan sebagai Juru Pelihara jauh sebelum Kabupaten Dharmasraya terbentuk. Status sebagai pegawai lapangan diemban hingga almarhum mendapatkan surat keputusan (SK) menjadi PNS pada tahun 2008. Dengan demikian, almarhum mengabdi selama lebih kurang 13 tahun sebagai Pegawai Negeri Sipil di BPCB Sumatera Barat.

Kepergian almarhum menyisakan banyak kenangan. Dalam ingatan rekan kerja, Abdul Wahab adalah orang yang supel dan kocak. Dia sangat pandai menempatkan diri dalam berbagai kondisi. Jika di dalam kaumnya, dia memposisikan diri sebagai kepala suku yang  berwibawa, tetapi sikap itu tidak diterapkan pada waktu yang bersangkutan menjalani urusan kedinasan, “dia sangat cair, bisa bercanda dan diajak bercanda” tutur Khairul Hidayat, salah satu rekan kerja almarhum.

“Dalam bagarah, kalau ada  candaan yang salah, dia akan menimpal dengan kata eee…jumbalang. Ada satu lagi istilah khas ala Datuk Malano, yakni penyebutan kawasan Siluluak/Padang Roco dengan Brunai,” terang Marjohan Syarif. Menurutnya, beberapa istilah atau perkataan khas dari almarhum telah ada sejak mereka melakukan ekskavasi bersama di Situs Candi Pulau Sawah pada tahun 1995.

Hal yang paling dikenang dari almarhum tentu saja kekocakannya. Selalu ada bahan ketawaaan jika ada moment bersama. Diksi-diksi seperti patepiu, cobuik bulu adalah diksi yang akan mengingatkan kepada almarhum. Cobuik bulu adalah ungkapan almarhum yang sebenarnya mengacu ke pengertian “dicambuk atau dipecut pakai buluh/bambu”. Akan tetapi, oleh interpretator, siapa lagi kalau bukan kolega almarhum, sengaja diplesetkan sebagai “cabut bulu”.

Abdul Wahab dilahirkan di Nagari Siguntur, Kabupaten Dharmasraya pada tanggal 2 April tahun 1968 dan berpulang ke haribaan-Nya pada sore hari Kamis, tanggal 12 Maret tahun 2020 di Rumah Sakit Yos Sudarso, Kota Padang. Oleh keluarga, almarhum dimakamkan di Nagari Siguntur pada hari Jum’at, 13 Maret 2020. “Keluarga besar BPCB Sumatera Barat menyampaikan duka cita sedalam-dalamnya atas kepergian almarhum. Kita semua kehilangan, tidak hanya keluarga, melainkan juga BPCB Sumatera Barat. Kami kehilangan salah satu pegawai lapangan terbaik kami. Sekiranya ada tutur kata dan sikap kami yang salah selama bergaul dengan almarhum, kami memohonkan maaf sebesar-besarnya” tutur Nurmatias di hadapan ahli waris sewaktu mengantar almarhum ke tempat peristirahatan terakhir.

Selamat jalan Atuak, semoga tenang di surga. (ed AK)