Dalam rangka memperingati Hari Purbakala ke-107 dan Bulan Kelahiran Pancasila. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat melaksanakan Seminar Daring bertema “Pamalayu: Gagasan Persatuan Nusantara” pada tanggal 25 Juni 2020 pukul 09.00-11.30 WIB.

Seminar ini mencoba menyibak dan menyusur kembali tapak-tapak sejarah melalui bukti-bukti arkeologis yang menjadi saksi Kerajaan Melayu Dharmasraya di Sumatera dan Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa. Kedua kerajaan ini memiliki hubungan yang berpilin kuat. Peninggalan candi dan arca Amoghapasa menjadi magnet dan celah untuk merasakan kembali zeitgeist masa itu. Bentangan narasi dari narasumber membuka celah sempit menjadi lebar membuat para peserta seminar terhisap dalam kenangan sejarah. Meskipun dalam ruang yang terpisah dan hanya disatukan dalam aplikasi zoom, roh masa lalu seakan hadir dan menjalarkan rasa persatuan, menembus ruang dan waktu hingga abad ke-14. Hal ini membuka mata kita semua bahwasanya Indonesia dibangun di atas pondasi persaudaraan dan kemajemukan.

Seminar ini dipandu oleh Drs. Teguh Hidayat, M.Hum, Kepala sub Bagian Tata Usaha Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat. Di bagian akhir seminar, pengambilan kesimpulan dilakukan oleh Drs. Nurmatias, Kepala BPCB Sumbar. Dalam mengisi agenda esensial ini BPCB Sumatera Barat mencoba menghadirkan narasumber yang purna akan ilmu pengetahuan di bidangnya masing-masing, yaitu Prof. Dr Agus Aris Munandar (Guru Besar Arkelogi Universitas Indonesia), Prof. Dr. Rer.soz Nursyirwan Effendi (Guru Besar Antropolgi Universitas Andalas) dan Ibu Etty Kasyanti (Ketua Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Cabang Provinsi Sumatera Barat)

Narasumber dengan pisau bedahnya yang tajam, memaparkan dengan jelas sehingga dapat mencerahkan pengetahuan peserta yang selama ini kabur akan sejarah Pamalayu. Dari latar belakang keilmuan yang berbeda dan pengetahuan yang purna mengenai Pamalayu, narasumber mampu membangkitkan antusiasme peserta. Hampir semua peserta menyimak hingga akhir acara. Hal itu terlihat dari banyaknya pertanyaan, kekaguman bahkan kebanggaan yang disampaikan para peserta dengan mengangkat tangan (raise hand) maupun menulis langsung di fasilitas chat room kepada panitia agar disampaiak kepada narasumber. Keterbatasan waktu mengakibatkan tidak semua pertanyaan bisa disampaikan ke narasumber. Jumlah pendaftar yang menembus angka hampir seribu orang yang tersebar di seluruh Indoensia menjadi penanda kecintaan masyarakat akan sejarah dan budaya. Terbatasnya   daya tampung aplikasi zoom mendorong panitia untuk menyediakan fasilitas lain bagi peserta yang berminat mengikuti acara itu. Pihak panitia memberi solusi dengan memfasilitasi penayangan seminar secara langsung melalui aplikasi youtube

Seminar daring ini membuka kembali gerbang sejarah Melayu yang tertutup dan berkarat. Kabut-kabut yang menutupi jalan-jalan historis Pamalayu tersibak, menyemai rasa cinta di jantung para peserta seminar dan dibawa memahami kemajemukan Nusantara. Kemajemukan yang kadang menjadi jurang konflik, tiba-tiba menjadi perekat dan kebanggan bangsa. Mengutip dari Prof Nusyirwan “Indonesia adalah negeri majemuk, siapa yang menafikkan kenyataan itu berarti melawan takdir”. Ratusan tahun yang lalu persatuan telah dirintis dari kemajemukan, sebuah kerajaan besar di Jawa bernama Singhasari melakukan perjalanan menuju Kerajaan Melayu di Sumatera. Meneropong perjalanan itu, peserta seminar dibawa kembali menyusuri jalan purba yang dilalui Kebo Anabrang dan pasukannya, mereka berlayar membelah samudra, melintasi sungai Batang Hari membawa misi persahabatan untuk menyatukan kekuatan. Ikatan tersebut terpilin dan terus mengikat bahkan semakin lekat dalam bentuk kekerabatan, hingga menitiskannya secara genelogis hingga Kerajaan Pagaruyung.

Indonesia adalah negeri majemuk, siapa yang menafikkan kenyataan itu berarti melawan takdir

Dalam ruang bahasannya yang bertajuk Ekspedisi Pamalayu: Refleksi Model Integrasi Bangsa, Prof. Nusyirwan menekankan adanya politik militer dan kebudayaan dalam peristiwa Pamalayu ini. Membawa kapal besar dan pasukan dari Singhasari, Kebo Anabrang menuju Dharmasraya dapat dikategorikan sebagai sebuah politik militer yang bertujuan untuk memperluas kekuasaan, membangun kekuatan di Sumatera. Rambu takluknya Raja Suarnabhumi Tribuana Raja Mauliwarmadewa adalah Archa Amoghapasa(1286). Peluasan kekuasaan ini dimungkinkan untuk menggalang kekuatan melawan Kubilai Khan (mencegat Kubilai Khan dari Selat Malaka yang merupakan jalur strategis kala itu). Politik militer ini kemudian menjadi persahabatan yang mengikat, penting diketahui dalam peristiwa Pamalayu ini tidak ditemukan adanya catatan mengenai banyaknya pasukan dan angka kematian.

Pamalayu juga menjadi bukti tingginya peradaban dan teknologi pahatan, dilihat dari pahatan Archa Amoghapasa yang indah. Persahabatan antara Singhasari dan Kerajaan Melayu Dharmasraya diikat melalui pernikahan putri raja Suwarnabhumi Tribuanaraja Mauliwarmadewa, yaitu  Dara Petak menikah dengan Raden Wijaya (Putra Sri Kertanegara) sehingga melahirkan Jayanegara (Raja Majapahit). Selain itu putri kedua, yakni Dara Jingga juga dipersunting keturunan Raja Singhasari dan kelak memiliki keturunan bernama Adityawarman yang tersohor sebagai Raja Pagaruyung. Di samping itu, Prof. Agus Aris Munandar menguraikan bahwa Adityawarman adalah cucu Raja Wisnuwardhana – Selir.  Ayah Aditiyawarman adalah Adwayabrahma yang menikah dengan Dara Jingga salah seorang  putri raja Dharmasraya. Risalah historis ini bisa memberi jawaban tentang kedudukan seorang raja Sumatera yang namanya tak asing di tanah Jawa sehingga figurnya dapat mempersatukan kedua kerajaan di pulau yang berbeda tersebut.

Berdarah Melayu dan Jawa memungkinkan Adityawarman berkiprah di Majapahit. Salah satu penanda jejak itu adalah keberadaan Candi Jago yang bernuansa Budhis di Malang. Candi itu merupakan bhakti seorang Adityawarman kepada leluhurnya, untuk memudahkan pemindahan arwah leluhurnya itu menuju nirwana. Dalam perjalanan kehidupannya, Adityawarman kembali ke Bumi Melayu untuk menata suatu wilayah kerajaan  (kenagarian). Pamalayu menjadi bukti dari kemajemukan religi, geografis dan politik, dan meninggalkan jejak yang bisa dikatakan politik benda (Arca Amoghapasa) dan politik tidak benda (dengan adanya pernikahan). Selain itu Pamalayu juga menjadi bukti majunya peradaban Melayu dan Jawa kala itu dalam bidang transportasi, komunikasi dan persatuan.

Penjelasan Prof. Dr. Agus Aris Munandar yang mendetail selaku Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia dengan tema “Pamalayu (1268) dan Dwipantara Mandala”, semakin memperterang historisitas Pamalayu dan hubungan Kerajaan Melayu Dharmasraya dengan Singhasari. Bersandar pada isi Pararaton, Prof. Agus mengungkapkan bahwa Pamalayu adalah kegiatan dari Jawa ke tanah Melayu sehingga menimbulkan keramaian yang egaliter. Beliau mendefinisikan bahwa Pamalayu adalah kegiatan menuju Melayu dari Jawa, setali mata uang dengan penjelasan Prof Nursyirwan, salah satu latar belakangnya adalah menyatukan kekuatan dari ancaman dari negeri asing di bawah kekuasaan Kubilai Khan yang masih melakukan perluasan kekuasaan dan memaksa Kerajaan Singhasari untuk tunduk dan mengirimkan upeti. Raja Krtanegara (1268-1292 M)  dikenal sebagai pemimpin yang percaya diri (menganut paham ahangkara) sehingga wujudnya dilukiskan dalam Arca Joko Dolog di Taman Simpang Surabaya, menentang intervensi Kubilai Khan, Krtanegara merintis persahabatan ke Kerajaan Melayu di Sumatera, benih persatuan disemai dengan pengiriman arca Amogapahasa dan semakin kuat dengan landasan kepercayaan yang sama (agama Budha)

Bersumber dari data ilmiah yang diperolehnya, Prof. Agus menyampaikan bahwa setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh akibat serangan dari Kerajaan Cholamandala, di Jawa tumbuh kerajaan-kerajaan besar salah satunya Kerajaan Singhasari yang kebesarannya diakui dalam Kitab Negarakertagama pupuh 41-42. Sedangkan di Sumatera sendiri, Melayu Dharmasraya mulai mengokohkan perannya, bahkan dalam Pararaton mencatat Pamalayu sejak tahun 1197 Saka (1275 M). Malayu dikenal secara otentik pada abad 13 berkat prasasti Amoghapasa A dan B, Prof Agus juga menegaskan bahwasanya Amoghapasa itu ada 2, A pada masa Kertanegara dan B pada masa Adityawarman.

Prof. Agus menyatakan Pamalayu bukan sebuah ekpansi militer, hal ini merujuk terjemahan parasasti Amoghapasa bahwasanya pengiriman arca ini merupakan sebuah hadiah yang mengikat persahabatan. Dalam politik Pamalayu, tidak ditemukan berita mengenai aktifitas militer. Kegiatan ini berorientasi untuk menggalang persatuan antara kerajaan sezaman, didukung oleh latar agama yang sama dan menyatukan kekuatan melawan ancaman Dinasti Yuan di Cina yang dipimpin Kubilai Khan. Prof Agus juga menekankan bahwasanya jauh sebelum Gajah Mada memproklamirkan Sumpah Palapa, Krtanegara telah lebih dulu melahirkan embrio persatuan nusantara dalam Prasasti Camundi disebutkan bahwasanya Maharaja sang penakluk seluruh dunia, berjaya terhadap seluruh pulau namun sayangnya prasasti tersebut telah hacur berkeping-keping

Menariknya eksplanasi Sejarah Arkeologi dan Sejarah Antropologi dari dua narasumber sangat terasa dalam Seminar berdurasi tiga jam ini. Pada kesempatan ini, Dra. Etty Kasyanti selaku Ketua AGSI cabang Provinsi Sumatera Barat menginformasikan bahwa tidaklah mudah untuk menjadi seorang guru sejarah karena tenaga didik harus memiliki totalitas dalam mempersiapkan materi serta mampu mempersiapkan strategi, model, metode dan alat yang digunakan. Beliau  mengutarakan hambatan yang dihadapi terkait penjabaran sejarah adalah sejarah lokal karena kurangnya sumber. Hal ini berbanding terbalik dengan sejarah nasional yang sudah difalisitasi dengan berbagai buku sumber. Menghadapi permasalahan ini guru-guru harus kreatif dan inovatif dalam meramu sumber-sumber yang ada, ia juga meminta bantuan bagi lembaga-lembaga terkait untuk bisa membantu dalam pemenuhan sumber sebagai bahan ajar sejarah lokal.

Jika sejarah lokal dilupakan, generasi bangsa akan lupa identitasnya.  Miris sekali jika masyarakat Sumatera Barat buta akan Ruhanna Kuddus, Siti Manggopoh, Kerajaan Melayu Dharmasraya, Kerajaan Minangkabau, hingga sejarah tambang Sawahlunto. Lebih miris lagi, sejarah dalam dunia pendidikan merasa dianaktirikan dengan tidak adanya olimpiade, namun secara mandiri, olimpiade sejarah tetap mereka dilaksanakan. Permasalahan ini harus ditanggapi serius, sebab sejarah bukan hanya sekedar masa lalu namun sejarah adalah sebuah identitas bangsa dan pondasi kuat persatuan bangsa. 

Akan tetapi, sebagai Ketua AGSI, Dra. Etty tidak putus harapan karena ia memiliki program lawatan bagi para guru ke situs-situs sejarah untuk meningkatkan antusiasme peserta didik.Oleh sebab itu, dalam kegiatan ini, ia menaruh harapan agar universitas yang memiliki program studi sejarah, Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan termasuk BPCB Sumatera Barat memperkaya literasi terkait sejarah lokal. Disamping itu besar harapan diadakan pelatihan bagi para guru sejarah untuk dilatih begaimana menarik minat belajar anak didik terhadap mata pelajaran tersebut.

Setelah dua guru besar dan ketua AGSI menyampaikan materinya, Drs. Nurmatias selaku Kepala BPCB Sumatera Barat menangkap kearifan sebagai inti penyelenggaraan seminar bertema “Pamalayu: Gagasan Persatuan Nusantara”. Hikmah dari belajar sejarah, khalayak ramai dapat mengetahui tokoh kesejarahan di Indonesia contohnya Adityawarman, menambahkan kecintaan untuk mengangkat sejarah lokal pada daerahnya (contoh  Dharmasraya dengan tinggalan  budayanya memiliki Wasiat Bernilai untuk generasi penerus bagaimana untuk bijak menyikapi kehidupan, khususnya  nilai luhur nenek moyang seperti pesan Pamalayu yang mengandung misi damai, mengakui kemajemukan sebagai hasil  akulturasi dan peleburan untuk meminimalisir perpecahan sehingga Indonesia tidak lagi Jawa dan Sumatera belaka, tapi utuh dalam wujud Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI seperti terwujud dalam peristiwa sakral pada tanggal 17 Agustus tahun 1945.