oleh: Ludhyana Martasari, S.Hum

Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman warisan budaya dengan jumlah yang tak terhingga. Keberagaman warisan budaya tersebut berupa budaya materiil (tangible) maupun budaya non-materiil (intangible). Berbagai macam warisan budaya hingga kini masih dapat dijumpai pada saat ini. Ragam warisan budaya tersebut dapat digunakan sebagai objek wisata unik dan mudah rapuh. Disebut unik karena tidak ada persamaannya baik bentuk maupun jenisnya. Selain itu disebut rapuh karena peninggalan budaya akan mengalami degradasi dalam mutu karena aus akibat waktu. Salah satu jenis hasil kebudayaan materiil masa lampau yang masih dapat dijumpai saat ini berupa monumen.

Akan tetapi hingga akhir ini masalah yang belum terselesaikan ialah masih kurangnya pengertian dan penghargaan dari masyarakat terhadap nilai-nilai warisan budaya sebagai sesuatu yang perlu dilestarikan. Masalah tersebut muncul akibat adanya alasan yang membuat kondisi warisan budaya makin buruk. Alasan yang umumnya sering digunakan ialah masalah ekonomi baik itu bersifat makro maupun mikro. Masyarakat menganggap keberadaan warisan budaya tidak memberikan dampak yang berarti terutama dalam mencukupi kebutuhan hidup mereka sehingga mereka tidak begitu peduli dengan keberadaan warisan budaya. Selain alasan ekonomi, alasan lainnya ialah generasi masa depan yang terkesan acuh terhadap keberadaan warisan budaya sehingga dianggap sebagai jurang pemisah. Dikatakan sebagai jurang pemisah karena hubungan antara bangunan atau kawasan warisan budaya dan masyarakat terutama kaum muda terputus terutama dalam pemaknaannya (Sektiadi, 2011: 1-2).

Hal ini dapat dilihat pada realita kaum muda yang cenderung menganggap warisan budaya hanya sebagai sesuatu ataupun benda yang berbau kekuno-kunoan sehingga makna yang tersirat tidak tertangkap oleh kaum muda. Contohnya saja pada salah satu objek Cagar Budaya seperti Jam Gadang yang berada di Kota Bukittinggi dimana selalu ramai pada saat liburan. Dari aspek kepariwisataan, Jam Gadang dianggap berhasil menarik pengunjung untuk mengunjungi Jam Gadang serta tempat lainnya di Kota Bukittingi, tetapi dari aspek arkeologisnya, pemaknaan atau nilai-nilai penting akan adanya Jam Gadang tidak tersampaikan sehingga terkesan masyarakat khususnya kaum muda hanya mengetahui Jam Gadang secara sekilas. Kaum muda menganggap Jam Gadang merupakan salah satu peninggalan kolonial Belanda tetapi tidak mengerti makna dibalik pendirian Jam Gadang di Kota Bukittinggi sehingga kaum muda hanya sekadar berfoto di depan Jam Gadang. Hal ini menggambarkan putusnya hubungan emosional antara masyarakat terutama kaum muda dengan warisan budaya.

Kecenderungan paradigma masyarakat termasuk kaum muda di dalamnya menganggap warisan budaya sebagai tempat umum sepertinya sulit untuk diubah. Mereka pergi ke tempat-tempat warisan budaya hanya sekadar untuk berekreasi baik itu untuk foto, mengekspresikan gaya, dan menikmati panorama. Salah satu cara agar paradigma tersebut dapat berubah, yaitu dengan cara mengkomuniasikan arkeologi terhadap masyarakat awam dengan cara publikasi yang tidak hanya dalam bentuk material bendanya melainkan nilai yang dikandung dalam suatu benda. Tujuan dari komunikasi ini ialah agar masyarakat dapat mengikuti anjuran pesan atau tindakan komunikasi itu (Suko Widodo, 2012: 36).

Cara pengkomunikasian tersebut tentunya diperlukan peran serta masyarakat di dalamnya agar makna ataupun nilai-nilai penting dapat tersampaikan dengan baik. Terlebih pada kaum muda untuk diikutsertakan dalam melestarikan warisan budaya yang ada sehingga bukan hanya pemerintah, kaum akademisi, dan komunitas saja dalam melestarikan warisan budaya, tetapi kaum muda juga ikut dilibatkan dalam pelestarian. Keterlibatan kaum muda tersebut tentunya akan mempermudah dalam upaya meneruskan pelestarian warisan budaya di masa depan dengan cara memberikan pendidikan mengenai pentingnya pelestarian warisan budaya.

Dengan demikian seiring dengan banyaknya kaum muda yang berkunjung ke tempat warisan budaya maka diperlukan sebuah pendidikan yang mengajarkan untuk mengelola dan melestarikan warisan budaya agar makna atau nilai penting yang terkandung dalam warisan budaya dapat tersampaikan sehingga kaum muda maupun masyarakat dapat memahami masa lalu tidak hanya melakukan kegiatan yang bersifat senang-senang melainkan kegiatan yang lebih bersifat edutaiment. Kegiatan yang bersifat edutaiment ini akan membuat terciptanya hubungan emosional antara masyarakat termasuk kaum muda dengan warisan budaya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Widodo, Suko. 2012. IAAI: Mengkomunikasikan Makna Arkeologi Publik dalam Konteks Kekinian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Sektiadi. 2011. The Old For The Youth, Rejuvenation of Historic Distric. Naskah untuk Buku Urban Heritage, Jurusan Arkeologi FIB UGM.