Membangun Budaya Mitigasi Bencana berbasis potensi kearifan lokal Lereng Gunung Merapi

Sri Yulia Nurnengsih

Secara garis besar letak geografis Indonesia yang sedemikian rupa menyebabkan Indonesia menjadi negara yang rawan terhadap bencana alam. Salah satu provinsi di Indonesia yang rentan terhadap bencana adalah Sumatera barat, karena terdapat patahan dan pertemuan 2 lempeng benua Eurasia dan Indo-Australia. Provinsi ini memiliki topografi landai dan berbukit yang berada di ketinggian 0-3805 meter diatas permukaan laut, iklim Sumatera Barat juga termasuk tropis basah dengan curah hujan yang beragam. Karena memiliki topografi dan iklim yang bisa mengakibatkan bencana, mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat. Namun, setiap bencana pasti menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia serta memburuknya wilayah yang terkena bencana.

Defenisi bencana alam menurut UU nomor 24 tahun 2007 adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lainberupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana alam merupakan proses terjadinya pengrusak terhadap bagian kehidupan manusia, hal tersebut dipromotori oleh alam, kerusakan tersebut mendatangkan kerugian kepada manusia baik secara fisik maupun psikis. Dalam hal ini pengelolaan Sumberdaya Budaya Arkeologi juga mendapat intervensi/ tekanan dan permasalahan faktor bencana. Pada saat sekarang kerentanan cagar budaya terhadap bencana harus diperhatikan secara seksama, sehingga tidak menimbulkan kerugia bagi generasi di masa mendatang.

Kita tau Cagar budaya saat ini berguna sebagai kajian pembentukan nilai jati diri bangsa dan karakter bangsa yang belum menemukan titi tengah, dalam UU no 11 tahun 2010 tentang Cagar budaya belum seiring dengan langkah-langkah mitigasi dampak bencana yang mengancam lingkungannya. Dalam pelestarian cagar budaya ada beberapa alasan kenapa sumberdaya budaya harus dilestarikan : pertama hilang atau hancurnya sumberdaya budaya tentunya merupakan bentuk kehilangan yang bersifatteatap. Hal ini mengingat bahwa sumberdaya budaya mempunyai sifat yang langka, tidak dapat diperbaharui rapuh dan tidak tergantikan. sekali sumberdaya  tersebut rusak atau hilang tidak mungkin bisa diganti dengan benda yang sejenis. Walu sumberdaya budaya dapat diganti dengan duplikat yang serupa bentuknya, nilai yang terdapat pada sumberdaya budaya tersebut tidak dapat dihadirkan kembali. Selain hal tersebut, keberadaannya sekarang ini juga bersifat langka dan mengandung nilai-nilai, baik secara akademis maupun sosial (Pearson and Sullivan, 1995:11-12; Kusnowihardjo, 2001 : 61).

Kedua, sumberdaya budaya sangat bervariasi baik dari segi bentuk maupun bahan serta nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sumberdaya arkeologis sangat veriatif. Sumberdaya yang sangat bernilai apa-apa pada masyarakat atau tempat tertentu, bisa jadi tidak punya nilai apa-apa pada masyarakat lain di tempat lain (Pearson & Sullivan, 1995: 127).  Sumberdaya budaya, dalm setiap periode yang berbeda akan dimaknai berbeda pula. Begitupun potensi yang terdapa pada setiap sumberdaya budaya akan ikut berubah mengikuti perubahan zaman (Feilden and Jokilehto, 1993: 15).

Dalam UU No 11 tahun 2010 pasal (1) ayat 22, yang dimaksud dengan pelestarian adalah:

Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.

Upaya dalam pelestarian juga mencangkup didalamnya perlindungan, penyelamatan, serta pengamanan, pelestarian bukan berarti kita melupakan keselamatan terhadap cagar budaya tersebut. Permasalahan yang muncul dalam pelestarian cagar budaya sendiri muncul dari masyarakat sendiri, seperti cagar budaya yang berada pada proses penetapan.

Dalam Undang-Undang No. 24/2007 tentang penanggulangan bencana, pasal 1 ayat 9 disebutkan :

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunann fisik maupun penyadaran dan peingkatan kemampuan menhadapi ancaman bencana.

Lebih lanjut dijelaskan lagi dalam Pasal 47 UUPB yang menyatakan :

  1. Mitigasi dilakukan mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang ada pada kawasan rawan bencana.
  2. Kegiatan Mitigasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :
  3. Penataan ruang
  4. Penagaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan, dan
  5. Penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secra konvensional maupun modern.

Maka mitigasi merupakan upaya atau langkah-langkah yang dilakukan baik sebelum sebuah bencana terjadi maupun setelah bencana terjadi. Jika kita kaitkan antara pengertian mitigasi dalam UU PB No.24 tahun 2007, maka mitigasi merupakan upaya pelestarian berupa perlindungan, pengamanan, dan penyelamatan yang dilakukan baik sebelum Cagar Budaya mengalami kerusakan akibat bencana maupun tindakan yang dilakukan ketika cagar budaya mengalami dampak akibat dari bencana.

Didalam tahapan mitigasi bencana, terhadap beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan aspek pengamanan dan penyelamatan cagar budaya terhadap ancaman bahaya, yaitu: lokasi cagar budaya menjadi indikator penting dalam prediksi potensi bahaya dan kerusakan, potensi bahaya yang beragam membawa pengaruh dampak yang berbeda pula. Skala besaran dan intensitas potensi bahaya menimbulkan dampak yang berbeda pula, frekuensi dan periode ulang potensi bahaya membutuhkan pendekatan penyelamatan, pengamana dan perlindungan yang khusus. Keragaman jenis benda cagar budaya mempengaruhi potensi dampak kerusakan, usia cagar budaya menjadi faktor penting dalam prediksi kerusakan. Kegiatan tanggap darurat membutuhkan suatu sistem dan prosedur yang detail (Hizbaron, 2013: 16)

Tindakan untuk mengurangi dampak dari resiko bencana terhadap cagar budaya, maka langkah-langkah teknis yang harus dilakukan adalah melakukan dokumentasi situasi dan cagar budaya itu sendiri, seprti lingkungan cagar budaya, elemen yang kemungkinan mengalami kerusakan atau bagian cagar budaya. Identifikasi jenis bencana atau bahaya yang mengancam cagar budaya, jenis bencana atau ancaman tersebut terdiri dari dua yakni, ancaman yang diakibatkan oleh aktivitas manusia  dan ancaman yang diakibatkan alam .

Bencana yang kita ketahui memiliki pencegahan dan mitigasi bencana yang dirancang sebagai perlindungan serta mengurangi resiko yang di dapati dari bencana tersebut. Pencegahan bencana menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 kegiatan pencegahan dibedakan menjadi 2 yaitu, pertama pencegahan dan mitigasi  bencana pasif, dan pencegahan dan mitigasi aktif.

Pengetahuan dan kearifan lokal di Indonesia teah banyak dimiliki masyarakat berawal dari pengalaman berinteraksi dengan ekosistem alamnya. Sebagai contoh masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Merapi, di beberapa kabupaten di daerah Sumatera Barat mempunyai kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya letusan. Kearifan lokal  dapat di artikan sebagai berikut, pengertian kearifan lokal dalam peraturan menteri LHK, Nomor P.34/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017, adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan mayarakat setempat antara lain untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam secara lestari. Sementara kearifan local, terdiri dari dua kata yaitu kearifan dan lokal. Kamus Inggris Indonesia, JHON M. Echols dan Hassan Syadily, lokal berarti setempat, sedangkan kearifan sama dengan kebijaksanaan. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan yang bernilai baik dan juga tentram yang diikuti oleh masayarakat. Kearifan lokal dalam tahun belakangan ini sangat banyak di perbincangkan , tentang kearifan lokal yang dikaitkan dengan masyarakat lokal daerah setempat.

Pengertian lain tentang kearifan lokal juga digunakan oleh Zulkarnain dan Febriamansyah (2008:72) berupa prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem nilai dan norm adat. Kearifan lokal biasanya berasal dari pengalaman suatu komunitas dan akumulasi dari pengetahuan lokal, sedangkan kearifan lokal itu ada dalam masyarakat, komunitas dan induvidu. Demikian kearifan lokal adalah pandangan dan pengetahuan tradisional yang menjadi acuan dalam berprilaku yang telah di pratikkan secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan dalam kehidupan suatu masyarakat. Sedangkan kearifan lokal itu sendiri berfungsi dan bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian sumber daya alam dan manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bemanfaat untuk kehidupan.

Menurut Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41), mengatakan bahwa unsur budaya daerah merupakan local genius yang teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.

Berbagai contoh kearifan dalam pelestarian lingkungan hidup masyarakat lokal dapat pula ditemukan misalnya pada masyarakat Kasepuhan (Jawa Barat), masyarakat Siberut (Sumatera Barat), masyarakat Kajang (Sulawesi Selatan), dan masyarakat Dani (Papua). Umumnya, masyarakat lokal beranggapan bahwa lingkungan di sekitarnya ada yang memiliki dan menghuni selain manusia. Oleh karena itu, manusia yang berdiam di sekitarnya harus menghormati dan menjaga tempat mereka itu, seperti hutan, gunung, lembah, dan sumber air. Bahkan tidak sedikit tempat-tempat tersebut dijadikan tempat yang sakral atau dikeramatkan (Darmanto, 2009: 136; Adimihardja, 2009: 81; Boedhihartono, 2009: 67; Purwanto, 2009: 230).

Kajian tentang kearifan lokal dan mitigasi bencana pada masyarakat tradisional di Indonesia sejatinya terlihat dalam kaitannya dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Pada masyarakat tradisional (lokal) manusia dan alam adalah satu kesatuan karena keduanya sama-sama ciptaan Yang Maha Kuasa. Alam dan manusia diyakini sama-sama memiliki roh. Alam

bisa menjadi ramah jika manusia memperlakukan secara arif dan sebaliknya akan bisa marah jika kita merusaknya. Dalam kawasan permukiman rumah tradisional di nagari Padang Laweh, Pasia Laweh, Rao-rao, Koto Tuo dan Pariangan.

Suatu keunikan pada bangunan tradisional pembuatan kanal untuk meminalisir kerusakan pada bagian bawah rumah, serta bangunan vernakular telah membuktikan bahwa banguanan tersebut dapat merespon gempa yang telah terjadi di daerah tersebut. Banguan rumah tinggal banyak yang rusak terutama bangunan rumah dengan sistem struktur dan konstruksi modern- konvensional, sedangkan bangunan venakular setempat bisa tetap berdiri. Terbitnya peraturan Menteri lingkungan hidup dan kehutanan Republik Indonesia Nomor p.34/menlhk/setjen/kum.1/5/2017 tentang pengakuan dan perlindungan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan ligkungan hidup, maka perlu mengkaji kembali kearifan ekologis pada bangunan arsitektur venakuler di berbagai wilayah Nusantara termasuk lokasi, bentuk, makna dan fungsi teknis/mitigsi bencananya. Sementara terjadi peningkatan jumlah wilayah yang kritis terhadap bencana (Yuliati,2010).

Permasalahan yang didapat: 1. Peningkatan proses pemanfaatan lahan dalam membangun rumah tanpa mempertimbangkan kearifan lokal. 2. Karakter alam setempat belum ditampilkan dalam implementasi wujud bangunan, sebagai ciri khas lingkungan. Perlu dokumentasi mendalam tentang kearifan ekologis sebagai faktor penentu dalam proses perencanaan dan perancangan kembali wujud bangunan di wilayah rawan bencana. Seperti difahami karakter alam dapat mempengaruhi wujud banguanan sementara di balik wujud tersirat makna yang dalam tetang alam sekitarnya. Filosofi lingkungan, kerusakan yang terjadi selama ini penyebabnya adalah antroposentrisme manusia terhadap alam, bahwa seharusnya  ada pemisahan antara alam dengan manusia, tubuh dengan pikiran. Dampaknya manusia melakukan perubahan terhadap alam tanpa melakukan aspek pemulihan dan pelestarian (keraf, 2002). Para ahli mengatakan bangunan terikat pada ketentuan adat, sehingga mereka tidak sekedar membanguan rumah tetapi juga membangun komunitas budaya. Arsitektur venakular yang merupakan karya empirik masyarakat dalam mengatasi bencana alam yang timbul disekitarnya, serta memiliki fungsi memelihara alam.

 

Kesimpulan

Setiap masyarakat memiliki kearifan lokal dalam ancaman bencana, sehingga dengan cara mendigitalisasikan suatu cara sangat tepat agar dimasa mendatang nilai penting yang terdapat di dalam cagr budaya masih bisa di akses oleh masyarakat. Konsep-konsep mitigasi, yang paling penting dalam setiap strategi mitigasi adalah memahami sifat bahaya-bahaya yang mungkin akan dihadapi. Memahami setiap bahaya memerlukan pemahaman tentang , penyebab-penyebabnya, dari geografis, dan mekanisme kerusakan fisik. Strategi suatu masyarakat itu tidak terlepas dari kepercayaan dan adat istiadat yang diajarkan dan dipratikkan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Salah satu kearifan lokal masyarakat yang berkaitan dengan pencegahan mitigasi bencana, melalui masyarakat baik dalam tradisi perladangan, bangunan-banguan tradisional maupun dalam kaitannya dengan hutan dan air.

 

Daftar Pustaka

Anonim. Undang-undang No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Hutahaean.Marlan. 2009. Analisis Kebijakan Penanggulangan Bencana. Jurnal Penanggulangan Bencana dan Pegembangan Masyarakat. Volume 1: 1-5.

Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat. Jurnal Filsafat, 37, 111-120.

Triutomo, Sugeng. (2008). Perencanaan Kontinesi Menghadapi Bencana. Badan Penanggulangan Bencana.

UU RI No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

Purwanto, 2009. Tempat Keramat Masyarakat Dani di Lembah Baliem” dalam Herwasono Soedjito dkk. (E) Situs Keramat Alami. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Komite Nasional MAB Indonesia, LIPI dan Conservation International Indonesia, 215-239.: 230