MEMAKNAI HAKIKAT PELESTARIAN CAGAR BUDAYA

Oleh : Harry Iskandar Wijaya
Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat
Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau

Pelestarian dalam konteks Cagar Budaya, dapat dimaknai sebagai upaya pengelolaan sumber daya budaya yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Dalam kata lain, berkesinambungan (sustainable activity) yang dilakukan secara terus menerus dengan perencanaan yang matang dan sistematis, sehingga kebermanfaatannya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat yang merupakan pemilik sah Cagar Budaya.

Hal lain yang perlu dipahami adalah, bahwa pelestarian Cagar Budaya tidak hanya terkait dengan objek dari Cagar Budayanya saja, tetapi juga meliputi aspek-aspek lain baik yang terkait langsung maupun tidak langsung. Hal ini berdasarkan pada kenyataan Cagar Budaya itu tidaklah berdiri sendiri. Secara arkeologis, jelas terlihat bahwa setiap Cagar Budaya terikat dengan konteksnya baik, lingkungan maupun budaya secara umum. Oleh karena itu, pelestarian Cagar Budaya harus mencangkup pelestarian konteks Cagar Budaya itu sendiri termasuk lingkungan. Secara global, gagasan ini pun telah diterapkan oleh sebagian besar negara, bahkan UNESCO dalam hal ini merumuskannya dalam konsep Natural Heritage Landscape, dimana Cagar Budaya merupakan satu kesatuan dengan bentang alam dan bentang budaya. Hal ini berarti, pelestarian Cagar Budaya tidak dapat lagi dilepaskan dari pelestarian lingkungan atau alam.

Selain itu, pelestarian merupakan upaya agar suatu karya budaya baik yang berupa gagasan, tindakan atau perilaku, maupun budaya bendawi tetap berada dalam sistem budaya yang masih berlaku. Seringkali, karya budaya yang hendak dilestarikan pernah terbuang atau ditinggalkan, tetapi kemudian ditemukan kembali. Selanjutnya, karena nilai-nilai karya budaya itu dianggap penting maka karya budaya itu dimasukkan kembali dalam sistem budaya yang berlaku saat ini dengan tujuan untuk membangkitkan semangat dan kebanggaan masyarakat masa kini, atau juga sebagai tujuan wisata. Dengan demikian, pelestarian pada dasarnya tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Implikasi dari kegiatan pelestarian yang sifatnya dinamis ini adalah adanya peluang perubahan, dan hal inilah yang harus terkendali. Pelestarian yang terkendali menjadi syarat mutlak agar nilai-nilai yang terkandung di dalam Cagar Budaya itu tetap lestari dan kegiatan pelestarian Cagar Budaya dapat berjalan searah dan bahkan dapat saling mendukung dengan kegiatan pembangunan. Situasi sinergis ini akan terjadi apabila perencanaan pelestarian dan pengembangan di area yang mengandung Cagar Budaya dapat dilakukan secara terpadu dan terkoordinasikan. Bahkan, pembangunan dan pengembangan area dapat menjadi faktor pendukung penyajian dan pelestarian nilai-nilai penting dari Cagar Budaya yang ada di sekitarnya. Sehubungan dengan hal itu, maka kajian nilai penting merupakan keharusan bagi setiap upaya pelestarian. Kajian ini harus menemukan dan menentukan nilai penting apa saja yang dikandung oleh Cagar Budaya yang hendak dilestarikan.

Hasil kajian nilai penting akan menentukan apakah suatu karya budaya harus dilestarikan dan bagaimana cara-cara pelestariannya. Dengan mengetahui nilai penting yang ada, dapat ditentukan kebijakan pelestarian yang dapat diterapkan terhadap karya budaya yang dimaksud.Perlu dipahami pula bahwa pelestarian tidak hanya berorientasi masa lampau. Sebaliknya, pelestarian harus berwawasan ke masa kini dan masa depan, karena nilai-nilai penting itu sendiri diperuntukkan bagi kepentingan masa kini dan masa depan. Mengacu pada aspek pemanfaatan Cagar Budaya, tujuan pelestarian dapat diarahkan untuk mencapai nilai manfaat (use value), nilai pilihan (optional value), dan nilai keberadaan (existence value). Dalam hal ini, nilai manfaat lebih ditujukan untuk pemanfaatan Cagar Budaya pada saat ini, baik untuk ilmu pengetahuan, sejarah, agama, jatidiri, kebudayaan, maupun ekonomi melalui pariwisata yang keuntungannya (benefit) dapat dirasakan oleh generasi saat ini. Hal yang perlu dipahami dengan baik adalah, bahwa manfaat ekonomi ini bukanlah menjadi tujuan utama dalam pemanfaatan Cagar Budaya sebagai objek wisata, tetapi merupakan dampak positif dari keberhasilan pemanfaatan Cagar Budaya dalam pariwisata.

Kelemahan umum yang dijumpai pada pada manajemen pengelolaan situs dan Cagar Budaya adalah kecenderungan pihak pengelola untuk memperlakukan situs dan Cagar Budaya sebagaimana layaknya sumberdaya yang terbaharui, bahkan tidak jarang dijumpai dilakukan modernisasi situs maupun temuannya. Jika disadari, peristiwa ini justru telah menghilangkan nilai budaya dan historis yang dikandungnya. Terlebih lagi dalam perspektif pendidikan dan ilmu pengetahuan, situs hanya bermanfaat jika masih berada pada kondisi yang sebenarnya.

Upaya pelestarian dapat dilaksanakan dalam tiga kegiatan utama yaitu pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Pelindungan dimaksudkan untuk mencegah agar Cagar Budaya tidak mengalami kerusakan dan kehancuran, sehingga kita akan kehilangan selamanya. Pengembangan dapat diartikan sebagai upaya untuk menjaga kualitas penampilan Cagar Budaya agar dapat difungsikan terus seperti fungsi semula atau untuk fungsi lain yang sesuai dengan ketentuan undang-undang. Pemanfaatan,memberikan kegunaan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, baik untuk pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, ekonomi, maupun kebudayaan di masa kini dan mendatang. Dalam setiap kegiatan pelestarian tersebut, peran masyarakat dapat dijewantahkan dalam berbagai bentuk, termasuk dalam upaya pemanfaatan Cagar Budaya

Di dalam Undang-undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, khususnya Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 (33) dinyatakan bahwa : “Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap memertahankan kelestariannya” . Artinya, cagar budaya dapat didayagunakan atau dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, namun dengan tetap mempertahankan kelestariannya. Jangan sampai suatu cagar budaya diesploitasi secara maksimal, tanpa memperhatikan kelestariannya, sehingga yang terjadi adalah kerusakan. Kerusakan itu bukan disebabkan oleh kesengajaan, melainkan oleh ketidakpedulian dan ketidaktahuan masyarakat umum tentang prinsip-prinsip pemanfaatan cagar budaya. Prinsip pokok itu adalah pemanfaatan dengan mempertahankan kelestarian cagar budaya. Dengan kata lain, pelestarian dan pemanfaatan tidak dalam posisi berhadap-hadapan, tidak berlawanan, melainkan “bergandengan tangan” untuk kesejahteraan rakyat.