Kecintaan Hatta terhadap buku begitu purna. Bahkan, ia dikenal sebagai Bapak Bangsa yang menulis. Salah satu jasanya yang luar biasa, adalah reporter yang mencatat, melaporkan, serta memberikan komentar terhadap peristiwa-peristiwa yang dilalui bangsa. Pertama kali Hatta menulis sekitar umur 18 tahun. Tulisan pertamanya dimuat dalam majalah Jong Sumatera. Tulisan itu berkhayal tentang kisah cinta antara Hindania dan Wolandia yang perih, namun mempunyai makna yang dalam mengenai Indonesia.

Memasuki Rumah Kelahiran Bung Hatta, disebelah kiri beranda terdapat sebuah kamar yang bertuliskan Kamar Bujang/Pustaka. Di dalam kamar ini terdapat satu tempat tidur bujang, satu meja dan kursi serta satu lemari yang menyimpan karya Hatta, ataupun tulisan lain tentang Hatta. Ruang baca sangat mewakili sosok Hatta itu sendiri, bisa dibilang Hatta merupakan seorang kutu buku yang mempunyai hobi membaca, ia mampu melahap banyak buku bacaan dari berbagai jenis buku dan karangan berbagai ilmuwan dari  segala penjuru dunia.

Kecintaanya akan buku, tidak lepas dari peran Mak Etek Ayub. Saudara laki-laki ibunya itu merupakan salaah satu orang yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup Hatta. Hatta bertemu dengan Mak Eteknya ini ketika menuntut ilmu di Jakarta. Selama di Jakarta, Ayublah yang melayani segala keperluan Hatta dan Ayub pulalah yang mengenalkannya pada buku. Suatu sore di akhir Agustus, Ayub membawa Hatta kekawasan Harmoni. Di sana ia membeli tiga buku yang membahas tentang persoalan sosial dan ekonomi. Buku yang dibeli berjudul Staathuishoudkunde karangan N.G. Pierson, De Socialisten yang disusun H.P Quack, dan Het Jarr 2000 yang ditulis Belamy. Di kemudian hari, Hatta menuliskan bahwa “Inilah buku-buku yang bermula kumiliki dan menjadi dasar perpustakaanku” (2015:94).

Malam itu Hatta langsung membaca buku yang dibelikan oleh Mak Ayub. Ia mengawali pembacaannya ke karya Bellamy. Mulanya, Hatta hanya membalik-balik saja. Namun setelah kembali membaca, Hatta semakin tertarik untuk meneruskan bacaannya, bahkan sampai-sampai Hatta tidur larut malam karena keasyikan membaca. Hatta meyatakan dalam memoarnya, “malam itu sudah lebih seperempat isi buku itu ku baca, barangkali akan terus ku baca sampai tamat, apabila esok harinya ku teruskan, sampai tamat buku itu ku baca”. Kesukaan Hatta akan membaca sudah terlihat, bahkan sudah menjadi rutinitas yang selalu dikerjakan setiap hari. Hatta memilih waktu-waktu dalam  membaca. Buku mengenai mata pelajaran dipelajarinya pada malam hari, sedangkan buku-buku lainnya seperti roman dan buku tambahan untuk meluaskan pengetahuan, dibaca Hatta sesudah pukul 16.00-19.30 (Hatta :94)

Kecintaan terhadap buku membuat Hatta tidak pernah bosan membaca buku yang pernah ditamatkannya. Bahkan untuk sebuah buku, Hatta bisa membacanya berkali kali. Dari bacaannya inilah Hatta kemudian mengenal berbagai paham yang berkembang di belahan dunia. Lewat buku juga Hatta membuka pintu demi pintu menuju belahan dunia lainnya, melihat kedalam negeri negeri yang belum dikunjunginya, dan pengetahuan Hatta akan politik juga semakin terpupuk dari buku yang dibacanya.

Meskipun lahir dari keluarga yang berada dan mendapatkan pendidikan modern, Hatta bukanlah seorang tipikal cendekiawan di menara gading. Dalam perantauannya di Belanda, Hatta melepaskan tembakan salvo menghantam jantung kota penjajah hingga membuat jantung kota itu berdarah-darah dengan tulisannya yang tajam dan kuat. Kepiawaiaanya itu membuat Hatta ditahan pada tahun 1927. Di depan persidangan ia menyampaikan pembelaannya selama 3,5 jam dengan judul Indonesia Merdeka. Pledooi itu ditikamkan tepat di ulu hati Kolonial. Laki-laki Lelaki kecil berkaca mata dan cenderung pendiam itu ternyata bisa mempengaruhi dan mengubah sikap Indische Veereniging, sebuah perhimpunan mahasiswa Hindia di Belanda yang mulanya lebih bersifat sosial menjadi gerakan politik perlawanan.

Pulang ke tanah air, Hatta kemudian ditangkap lagi. Tulisannya yang tajam membuat pihak Kolonial meradang. Hatta kemudian dibuang ke Bovendigul. Namun kecintaan Hatta terhadap buku sepertinya sudah sangat purna. Baginya buku adalah amunisi. Di tengah rumitnya proses keberangkatan menuju pengasingan, ia masih menyempatkan diri untuk membawa 16 peti buku. 

“Tanggal 27 Desember 1921, kami mengunjungi sebuah toko buku, namanya Ono Meisner. Sebuah buku harganya puluhan dan ratusan Mark, kelihatannya mahal tetapi karena aku mempunyai Gulden dan berbelanja dengan Gulden, harga harga itu, jika dihitung dengan Gulden, murah sekali. Buku Gustav Schmollera, Grundrisz der Algemeinen Volkwswirtsschaftlehre, dua jilid, tebalnya kira-kira 1.400 halaman, harganya 300 Mark, itu sama dengan 3 Gulden. Buku Bohm Bawerk, Kapital Und Kapitalzin, tiga bagian, tebalnya kira kira 1.400 halaman, harganya 172, atau hanya sekitar 1, 72 Gulden dan masih banyak lainnya dan ku beli semuanya. Toko buku itu kemudian mengirimkan buku buku tersebut ke alamatku di Roterdam.  Kamar bujang yang  berada di beranda depan, merepresentasikan  kecintaan Hatta akan buku. Kecintaannya akan buku sangat lekat dihatinya. Di hari spesial ketika menunaikan sumpahnya yang hanya akan menikah setelah Indonesia Merdeka, ia mempersunting gadis cantik berparas ayu bernama Rachmi, dengan mahar sebuah buku karyanya sendiri yang berjudul “Alam Pikiran Yunani”. Buku yang kelak menjadi buku wajib dalam mata kuliah Pengantar Filsafat di perguruan tinggi.

Oleh Merry Kurnia