Manusia adalah binatang yang berpikir. Ungkapan itu menegaskan bawah manusia dalam hal-hal tertentu memiliki kesamaan dengan binatang, misalnya dalam upaya memenuhi kebutuhan untuk hidup. Tetapi penegasan tentang kebinatangan demikian justru dikembalikan lagi ke hakikat tentang aspek pikir yang dimiliki manusia. “berpikir” inilah yang menjadi ciri dari kemanusiaan.

Kombinasi antara sumber daya yang disediakan oleh alam dan pikiran manusia telah mendorong inovasi dalam rangka memenuhi kebutuhan. Alat-alat produksi bermunculan, bahan makanan semakin banyak didapat, sehingga memungkinkan bagi manusia untuk hidup berkelompok dan tinggal pada sebuah tempat dalam waktu yang lama. Pada tahap ini manusia berkembang menjadi makhluk kreatif yang terus berinovasi, dan pada tahapan ini pula kelas sosial mulai terbentuk. Demikian terus berlangsung hingga hari ini.

Akan tetapi, bentang alam tidak diciptakan sama oleh sang pencipta. Faktor itulah yang membuat tingkat inovasi dan kreatifitas manusia pada masing-masing tempat berbeda. Hal itu ditandai oleh ragam benda-benda material peninggalan kehidupan masa lalu yang hingga hari ini masih bisa ditemukan.

Benda-benda material peninggalan masa lalu sebagaimana ditinjau di atas sering diasosiasikan sebagai ‘benda budaya. Dalam taraf ini benda-benda peninggalan kehidupan masa lalu dikaithubungkan dengan kata ‘budaya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara terbatas berbudaya atau tidak berbudayanya sekelompok manusia pada masa lalu dapat diukur dari sebentuk materi yang ditinggalkan pendukungnya. Makna lain yang dapat ditangkap adalah bahwa ‘budaya adalah hasil laku komunal. Tidak ada produk atau karya yang betul-betul murni dihasilkan oleh seseorang semata. Seagung dan seindah apa pun peninggalan budaya dari masa lalu yang diciptakan oleh seorang seniman besar –misalnya, produk itu tetap saja berproses dari interaksi antara seniman dengan lingkungan sekitarnya, sehingga lingkungan mengintervensi hasil ciptaannya.

Benda-benda peninggalan material tersebut ketika dikaitkan dengan aspek waktu, disebut pula sebagai benda bersejarah.

**

Banyak nilai penting yang dikandung oleh benda-benda hasil budaya masa lalu. Akan tetapi, laju penurunan kondisi fisik benda-benda yang cenderung ringkih itu tidak terbendung. Secara alamiah, material pembentuk benda budaya akan lapuk, aus, bocor dan sebagainya, sehingga informasi penting turut musnah seiring kehancurannya.

Bagaimana menyelematkannya, apa yang kita selamatkan, seberapa besar peluang penyelamatannya, merupakan beberapa pertanyaan yang perlu diajukan dan penting untuk segera dijawab dengan sebuah tindak lanjut.

Secara institusional, negara telah berupaya untuk memberi perhatian terhadap benda-benda peninggalan budaya. Keberadaan Undang-undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya menjadi bukti atas kehadiran negara dalam upaya memberikan perlindungan. Benda-benda hasil kebudayaan dengan kriteria tertentu ditetapkan sebagai cagar budaya. Pada fase ini, benda hasil budaya telah menjadi benda hukum. Perusakan atasnya tergolong perbuatan pidana. Akan tetapi kehadiran undang-undang tidak menakutkan bagi serangga, rayap, hujan, kelembapan, dan waktu.

***

Kesinambungan pelestarian cagar budaya dapat ditunjang oleh sebuah Sistem Informasi Cagar Budaya. Setiap informasi tentang keberadaan objek, aktifitas pelestarian, dan setiap kegiatan merekam, mencatat, memfoto, meneliti dan segala bentuk kegiatan lainnya perlu dikelola dengan serius. Sekecil apa pun nilai dari sebuah informasi, ketika fragmen itu dikumpulkan bersama lalu digabung menjadi satu, maka akan membentuk sebuah rantai informasi yang senantiasa terhubung.

Teknologi Digital telah menghindarkan manusia hari ini dari ‘’penggunungan” dokumen fisik. Pemeliharaan dokumen fisik membutuhkan ruang yang besar, perawatan yang mahal dan sumber daya manusia yang tidak sedikit.

****

Karakter manusia sebagai makhluk kreatif menghasilkan banyak teknologi untuk mempermudah pelaksanaan pekerjaannya. Pada saat kemudahan itu didapat, terjadi perubahan karakter. Manusia cenderung santai, mengulur waktu, tidak konsisten dan mempercayakan segala sesuatunya pada teknologi yang mereka buat. Ada ketidaksadaran bahwa teknologi yang dibuat, katakanlah sebuah jenis mesin, butuh manusia-manusia tekun untuk menjadi operator pengelola, misalnya untuk mewujudkan Sistem Informasi Cagar Budaya.

Informasi Cagar Budaya, dalam bentuk sederhana sekalipun perlu disimpan dengan baik agar pekerjaan pelestarian tidak selalu berangkat dari nol, agar pekerjaan pelestarian betul-betul berdampak kesejahteraan bagi masyarakat luas, dan kesejahteraan cagar budaya itu sendiri.

Terakhir, katakanlah ketika segala upaya pelestarian fisik telah dilakukan, dan akhirnya karena seleksi alam, material sebuah objek cagar budaya hancur sama sekali, lalu apa saksi yang berkata bahwa sebuah benda itu ada? Data!