Penamaan nama Masjid 60 Kurang Aso ini berasal tatkala dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut pekerja masjid yang jumlahya sekitar 60 orang, salah satunya meninggal. Dalam toponim masyarakat setempat berarti “Anam Puluah Kurang Aso”, Anam Puluah mengacu pada jumlah tukang (pekerja), Kurang sama artinya dengan ejaan Bahasa Indonesia (EYD) yang arti kurang , Aso berati satu, yang berasal dari kata Esa. Selain itu, jumlah tiang secara keseluruhan pada bangunan masjid juga berjumlah 59 buah tiang.

Hal ini mengacu pada toponim penamaan masjid, yakni 60 Kurang Aso yang dengan kata lain berarti 59. Berdasarkan informasi dari masyarakat, masjid ini diperkirakan sudah berumur lebih dari 300 tahun. Secara keseluruhan Masjid 60 Kurang Aso bangunannya terbuat dari kayu, baik lantai, tiang, dinding, maupun rangka atap, sedangkan atapnya terbuat dari seng. Bangunan masjid mempunyai denah bujur sangkar. Di kanan depan bangunan masjid yang menghadap ke timur terdapat bangunan kecil tempat digantung-kannya bedug berukuran persegi panjang 2 m x 3 m. Situs Masjid 60 Kurang Aso  yang berda di Kenagarian Pasir Talang, Kecamatan Sungai Pagu, Kabupaten Solok Selatan.

Tiang pada bangunan masjid ini berjumlah 9 buah, dengan tiang utama (soko guru) terletak di tengah-tengah bangunan. Semua tiang berbentuk polos tanpa hiasan. Pintu masuk ke masjid bagian depan berjumlah dua buah dengan posisi berdampingan, cuma tidak terletak di tengah-tengah bangunan, tetapi bergeser ke kiri.

Dalam kancah kebudayaan di jagat raya ini, budaya Minangkabau kebetulan tergolong ke dalam kelompok budaya majemuk yang lebih banyak menerima dari pada memberi. Berbeda dengan kelompok budaya tunggal, seperti yang dianut di Cina, India dan Arab, yang sebaliknya, yakni lebih banyak memberi dari pada menerima, atau sekurang-kurangnya memberi dan menerima. Perilaku budaya majemuk ini telah kita warisi dari nenek moyang kita sejak dahulu, tak terkecuali penduduk Alam Surambi Sungai Pagu. Hal ini dapat kita buktikan melalui bangunan Masjid 60 Kurang Aso yang memiliki model campuran Arsitektur Hindu-Jawa (atap Joglo), Klenteng Cina (lengkung jurai atap) dan dipadu dengan Arsitektur tradisional Minangkabau (Atap, Miqrob dan susunan tonggak).

Masjid 60 Kurang Aso adalah masjid tertua di Alam Surambi Sungai Pagu, dibangun secara gotong royong oleh masyarakat adat. Menurut tutur orang-orang tua , tonggak Machu (mercu) masjid ini berasal dari sebatang pohon Juagh (Johar) yang ditebang di puncak bukit seberang Batang Suliti dan ditarik ke lokasi secara gotong royong berikut dahan dan daunnya. Masjid yang terletak di Pasir Talang ini letaknya berdekatan dengan bangunan Balai Adat. Dalam adat Minangkabau syarat-syarat sahnya sebuah Nagari harus memiliki Balai Adat, masjid, Labuah / jalan, Tapian / tempat MCK.

Masjid yang terdapat di Pasir Talang ini diberi nama Masjid 60 Kurang Aso, sesuai dengan jumlah bilangan tonggak / tiangnya, merupakan perwujudan dari jumlah Penghulu Induk / Nyinyiak urang Sungai Pagu. Mereka inilah yang berperan aktip secara gotong royong membangun masjid ini.

Masjid 60 Kurang Aso adalah model masjid tradisional Minangkabau dengan corak Arsitektur Hindu-Jawa Abad ke 15 M, belum ada data pasti tentang tahun pembuatannya. Tapi berdasarkan informasi dari Ibu Nuraini (±76 tahun), suku Jambak-Koto Anyir, masjid ini telah ada sebelum tahun 1733 M, karena rumah gadang beliau (kaum Inyiak Talanai) dibuat pada tahun 1733 M, sedangkan masjid tersebut pada waktu itu telah ada menurut tutur Nenek beliau. Begitu juga kalau kita lihat keberadaan makam Syech Maulana Sofi, seorang ulama besar di Sungai Pagu yang hidup antara tahun 1730 s.d tahun 1818 M, posisi makam beliau terletak di Miqrob masjid, berarti masjid ini telah ada sebelum keberadaan beliau.

Bangunan masjid konstruksi kayu dengan ukuran panjang 17m, lebar 17m dan tinggi 17m, atap berbentuk limas bersusun tiga, mirip dengan atap bangunan Klenteng Cina, bahan atap pada awalnya terbuat dari ijuk dan telah beberapa kali diganti dengan seng. Tonggak / tiang kayu berjumlah 59 buah, pada bagian tengah terdapat tonggak paling besar ukurannya disebut tonggak Machu (mercu).

Masjid 60 Kurang Aso disamping sebagai tempat ibadah juga dipergunakan sebagai tempat upacara adat, seperti upacara makan-makan Turun Ke Sawah-Mambantai Kabau Nan Gadang. Masjid ini adalah perwujudan Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah. Bangunan masjid ini sarat dengan makna, pada setiap bagian bangunan tersirat lambang-lambang (falsafah) yang mengandung arti dan masih dapat ditafsirkan sampai saat ini. Ukuran masjid 17 m x 17 m adalah melambangkan jumlah rakaat sholat wajib dalam sehari-semalam.