Konservasi Cagar Budaya

Oleh: Titin Novita Handa Puteri, S.Si (BPCB Sumatera Barat)

Istilah konservasi memiliki cakupan yang luas karena tidak hanya digunakan pada satu disiplin ilmu saja. Istilah konservasi digunakan dalam bidang biologi (conservation biology), kedokteran (conservation genetics and conservation sequence), hukum (conservation laws), energi (energy conservation), air (water conservation), habitat tumbuhan dan hewan (habitat conservation), tanah (soil conservation), kelautan (marine conservation), arsitektur (architectural conservation), dan kebudayaan (conservation – restoration). Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, konservasi adalah pelestarian; pemeliharaan dan perlindungan sesuatu untuk mencegah kemusnahan (kerusakan dan sebagainya) dengan cara pengawetan.

Dalam bidang cagar budaya juga digunakan istilah konservasi. Secara umum, konservasi cagar budaya sebenarnya memiliki cakupan yang luas dan bisa diartikan sebagai pelestarian atau perlindungan itu sendiri. Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya tidak disebutkan istilah konservasi, tetapi lebih menggunakan istilah pelestarian atau pelindungan. Menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Sedangkan pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran cagar budaya. Dalam undang – undang tersebut dijelaskan bahwa cagar budaya dapat berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya. Mengacu pada makna konservasi secara luas, lingkup konservasi berarti tidak hanya terbatas pada konservasi benda atau konservasi bangunan, tetapi bisa saja sampai konservasi kawasan.

Sementara itu, dalam lingkup yang lebih sempit, konservasi dapat diartikan sebagai tindakan pemeliharaan, pengawetan, atau treatment tertentu yang diaplikasikan pada material cagar budaya. Secara internal di Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, pemahaman konservasi cagar budaya lebih cenderung pada kegiatan teknis atau pemeliharaan terhadap material cagar budaya. Kegiatan ini lebih difokuskan pada upaya untuk membersihkan cagar budaya dari faktor penyebab kerusakan dan pelapukan dan upaya mengawetkan material cagar budaya agar tidak terjadi degradasi lebih parah.

Mengapa cagar budaya juga perlu dikonservasi? Pada dasarnya cagar budaya perlu dikonservasi supaya tetap “ada”, supaya pesan “nilai” dan data masa lalu dapat tersampaikan pada generasi sekarang dan generasi berikutnya walaupun tidak seutuhnya. Konservasi terhadap material cagar budaya yang selama ini dilakukan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat dimaksudkan untuk mempertahankan keberadaan dan kualitas fisik cagar budaya yang diharapkan akan membawa konsekuensi terhadap pelestarian nilai-nilai historis, arkeologis, dan nilai penting lainnya yang terkandung dalam material cagar budaya, untuk selanjutnya dapat diteruskan secara estafet pada generasi berikutnya. Nilai kesejarahan (historical), nilai otentisitas (authenticity), nilai kelangkaan (rarity), nilai pendidikan (educational), dan berbagai data yang terkandung dalam cagar budaya menjadikan cagar budaya penting untuk dilestarikan. Cagar budaya merupakan aset budaya bangsa yang dapat menjadi identitas dan karakter bangsa. Cagar budaya merupakan warisan budaya yang juga dapat menjadi kebanggaan bangsa. Mengacu pada pemahaman konservasi baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit di atas, pada dasarnya konservasi cagar budaya tetaplah bertujuan melestarikan peninggalan cagar budaya dengan melindungi materinya, menjaga kualitas dan nilainya, dan mempertahankannya untuk generasi mendatang.

Pada dasarnya semua benda yang ada di dunia ini termasuk cagar budaya akan mengalami degradasi dan bahkan pada akhirnya mengalami proses pelapukan menjadi tanah (soiling process). Seiring dengan perjalanan panjang waktu, interaksi benda dengan lingkungan akan mengakibatkan penuaan alami (natural ageing). Apalagi cagar budaya bersifat finite (terbatas) baik bentuk, jumlah, maupun jenisnya dan bersifat non renewable (tidak terbaharui). Dan tidak jarang, material cagar budaya yang sampai ke tangan kita tidak dalam keadaan utuh dan dalam kondisi yang fragile (rapuh). Alur panjang waktu dari masa lalu mengakibatkan cagar budaya mudah mengalami kerusakan dan pelapukan (degradable). Mengingat hal tersebut lah, perlu dilakukan tindakan konservasi secara tepat terhadap cagar budaya.

Ada prosedur konservasi cagar budaya yang harus diikuti sebelum melakukan tindakan penanganan konservasi secara langsung terhadap material cagar budaya. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir kesalahan penanganan yang dapat mengancam atau memberikan dampak negatif terhadap material cagar budaya dan nilai penting yang dikandung oleh cagar budaya tersebut. Permasalahan pada material cagar budaya dapat berupa kerusakan atau pelapukan. Kerusakan adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada bahan tanpa diikuti oleh perubahan unsur-unsur penyusunnya, seperti : pecah dan retak. Sementara kehancuran menunjukkan kondisi yang lebih parah dari rusak, kondisi ambruk, bentuk asli tidak tampak lagi, tapi unsurnya tidak hilang. Pada saat dipugar, wujud dan bentuk aslinya ada lagi. Pelapukan adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada suatu benda yang diikuti oleh perubahan unsur – unsur penyusunnya baik sifat fisik (desintegrasi) maupun kimiawinya (dekomposisi), seperti : korosi. Dan cagar budaya dikatakan musnah apabila bentuk asli cagar budaya tidak ditemukan lagi, contoh : terbakar habis.

Permasalahan pada cagar budaya tersebut, sesuai dengan prosedur konservasi akan ditindaklanjuti dengan melakukan observasi lapangan (studi konservasi). Observasi lapangan merupakan pengamatan awal untuk mengetahui permasalahan pada cagar budaya dengan melakukan perekaman data dan dokumentasi objek dan lingkungannya. Selanjutnya dilakukan identifikasi dan analisis untuk mengetahui jenis dan kualitas bahan, faktor penyebab, proses, gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi, dan analisis komprehensif terhadap objek dan lingkungannya. Faktor penyebab kerusakan dan pelapukan cagar budaya bisa berupa faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik berasal dari material cagar budaya sendiri yang meliputi jenis bahan, sifat-sifat fisik maupun kimiawinya, dan teknologi pembuatan benda. Sedangkan faktor ekstrinsik berasal dari lingkungan di sekitar material cagar budaya baik berupa faktor biotik (seperti : flora, fauna, dan vandalisme) maupun faktor abiotik (seperti : iklim, gempa bumi, dan lain-lain). Proses kerusakan dan pelapukan pada cagar budaya dapat terjadi melalui proses kerusakan mekanis, proses pelapukan fisik, proses pelapukan kimiawi, dan proses pelapukan biologi. Analisis komprehensif terhadap cagar budaya tersebut dilakukan untuk meminimalisir intervensi secara langsung terhadap material cagar budaya.

Sebelum tindakan langsung pada material cagar budaya, terlebih dahulu juga dilakukan pengujian konservasi dalam rangka menentukan metode, teknik, dan bahan konservasi yang tepat. Kemudian baru dilakukan penanganan konservasi baik berupa pembersihan, perbaikan, kamuflase (penyelarasan), konsolidasi (perkuatan), pengawetan, dll. Prosedur konservasi merupakan upaya mempertahankan keaslian bahan (authenticity). Karena pada dasarnya cagar budaya akan bernilai tinggi jika masih dalam kondisi otentik atau asli. Dan penanganan konservasi tidak menghentikan secara total proses degradasi cagar budaya, konservasi hanya berusaha menghambat proses kerusakan atau pelapukan yang terjadi.