Keberadaan kota Padang di era VOC, bahkan sejak 1644, hingga 1824 tetaplah sebagai post perdagangan. Suatu tempat dimana dibangun gudang-gudang pengumpulan komoditi untuk diteruskan ke Eropa. Tempat ini hanya dilengkapi dengan benteng (semacam brikade) dan garnisun di bawah komandan militer. Area yang berada di muara sungai Batang Arau lebih mirip sebagai suatu benteng dari pada sebuah kota. Pemerintahan juga tidak eksis, bahkan pemerintahan militer sekalipun. Fungsi militer lebih pada upaya uantuk menjaga keamanan gudang dan tidak melakukan upaya memperluas teritori (pertahanan territorial).

Ciri khas perdagangan di pantai barat Sumatera sejak masa lalu adalah perdagangan laut. Pelabuhan yang tersebar di pantai barat Sumatera adalah Muara Padang, Pisang Gadang, Bandar X, Pariaman, Tiku dan Air Bangis, sedangkan untuk bagian utara seperti pelabuhan Sibolga, Singkil, dan Bandar Susoh Di wilayah selatan, Bandar X menjadi pasar yang penting dalam eksport‐import kompeni, seperti di daerah Salido. Selain itu, terdapat pelabuhan Bayang yang merupakan pelabuhan terbesar atau pintu gerbang di Bandar X.(MD. Mansoer, 1970. Hal 91).

Pada sisi lain, Kota Padang memiliki dua buah pelabuhan penting, pertama, pelabuhan Muaro yang terdapat di Muaro Batang Arau dan kedua, pelabuhan (reede) yang terdapat di Pulau Pisang Gadang. Dalam sumber‐sumber sejarah disebutkan bahwa pelabuhan Muaro hanya dapat oleh dimasuki kapal atau perahu dengan tonase kurang dari 20 ton. Hal ini menyebabkan pelabuhan Muaro menjadi pelabuhan yang paling banyak dikunjungi karena lebih aksestabel.  Reede Pulau Pisang terletak sekitar 3,5 mil atau setengah jam pelayaran ke arah selatan dari pelabuhan Muaro. Pulau seluas ± 2 km2 ini pada bagian timurnya terdapat laut sedalam 30 m sehingga cocok untuk berlabuhnya kapal‐kapal samudera (kapal besar). Akan tetapi, perlengkapan pelabuhan yang ada pada waktu itu hanya sebuah dermaga sederhana dengan panjang sekitar setengah ukuran kapal yang merapat. Kondisi yang sama juga ditemui di Pariaman. Kota ini juga mempunyai dua reede, satu reede terdapat di Muara Batang Pariaman dan satunya lagi berlokasi di Pulau Angso Duo. Sebagian besar kapal‐kapal atau perahu pelayaran antar pantai berlabuh di Muara Pariaman, sedangkan kapalkapal antar samudera berlabuh di reede Pulau Angso Duo yang mempunyai kedalaman sekitar 10– 12 m. Dari reede ini barang dan penumpang dibawa dengan perahu ke pantai. (Gusti Asnan, 2019. Hal 180).

Berdasarkan peta kuno, Reede Pulau Pisang Gadang terdiri dari tiga buah dermaga yang semuanya berada di bagian timur dari Pulau Pisang, yaitu di sebelah timur, timur laut, dan tenggara. Saat ini, peninggalan reede Pulau Pisang hanya berupa bekas sandaran kapal yang berada pada di sebelah timur, sedangkan bagian tengah sudah hancur akibat abrasi. Secara fisik reede ini terbuat dari susunan batu‐batu air berukuran 37 m x 10 m.  Bagian tengah reede terputus sepanjang 13 m. Batu‐batu penyusun reede ini berukuran antara 70 x 50 m dan 60 x 50 m. Bagian yang masih baik dari reede ini terletak di ujung yang terbuat dari susunan batu bercampur ‐kemungkinan‐ kapur. Bagian ujung reede atau tempat kapal bersandar ini juga mengunakan besi sebagai penguat, tetapi besinya sekarang sudah hilang. Bagian tengah atau jalur menuju ujung dari pangkal reede sudah mengalami abrasi. Sementara itu, bagian atas dari reede saat ini tinggal berukuran antara 1 – 2 m dan ditumbuhi oleh rerumputan.  (Buletin Amoghapasa, 2009, 33)

Selain terdapat reede, di Pulau Pisang Gadang juga terdapat dua makam dan satu buah tugu peringatan. Makam tersebut merupakan makam Tentara Belanda yang berperang di Aceh, sedangkan tugunya merupakan bangunan peringatan terhadap korban perang Aceh. Secara astronomis, makam berada pada posisi 00 59.702 LS dan 1000 20.381 BT.  Kuburan Belanda ini sudah digali oleh orang dan diambil porselinnya. Pada kompleks makam ini terdapat tiga buah nisan, satu buah nisan sudah rebah dengan bentuk balok berukuran tinggi 130 cm, lebar 90 cm, dan tebal 30 cm. Bahannya terbuat dari batu andesit, bagian kepalanya berbentuk setengah lingkaran dengan motif bunga menghiasi permukaannya. Nisan ini memiliki sayap dan memiliki profil pada bagian bingkai tubuhnya. (Buletin Amoghapasa, 2009, 35). Pada tubuh nisan terdapat inskripsi berbahasa Belanda yang berbunyi:

IN MEMORIAM JHR WF VAN SPENCLERLUITENANT TER ZEE 2E KLASSE GEBOREN 5 NOVEMBER 1862 OVERLEDEN 4 APRIL 1890 TENGEVOLGE VAN ZINE DEN 21 DECEMBER 1889 BIJ POLOE WEH BEKOMEN WONDEN

Nisan yang kedua dan ketiga merupakan satu kesatuan makam, yang satu di sisi utara dan yang lainnya di sisi selatan. Nisan di utara berukuran tinggi 145 cm, lebar 140 cm, dan tebal 36 cm. Bentuk nisannya menyerupai perisai yang pada bagian atasnya terdapat motif hias sulur dan ceplok bunga. Pada nisan ini terdapat inskripsi berbahasa Belanda yang berbunyi:

 ZIJNE VELE VRIENDEN EN KAMERADEN

DOBBE van PELT’s BOSCH

Nisan ketiga yang di sisi selatan memiliki bentuk dasar persegi dengan profil pada bagian kepalanya dan berukuran tinggi 64 cm, lebar 70 cm, dan panjang 70 cm. Pada nisan ini juga terdapat inskripsi yang berbunyi :  GESTOEVEN OP REIS NAAR HOLLAND 5 APRIL 1890

Adapun tugu peringgatan memiliki ukuran tinggi dari pemukaan tanah sekitar 250 cm, sedangkan tinggi batunya 200 cm dengan lebar 80 cm dan tebal 20 cm. Pada tugu peringgatan ini terdapat inskripsi yang berbunyi :

HIER RUST HET STOF FELYK OVERSCHOT VAN J.P. UYTTENHOOVEN IN LEVEN LUITTENANT TER ZEE 2KLA*** AAN BOORD ZM SCHROEFSTOOMSHIP MONTRADO IN DEN OUDERBOOM VAN 24 JAPEN OP DEN 13 APRIL 1859 BY HET OPNEMENDER BAAI VAN SARIBANOA ZYN EYK IS UIT HUNNE HANDEN CERED BOOR DE TROUW DER JAVA A SCHE MATROZEN ZYN BOOD WERD GEWROKON DIT GEDENKTENKEN IS OPGERIGT DOOR ZYNE WA PENBROEDERS TALRYKE VRIENDEN PADANG.

Pelabuhan atau Reede Pulau Pisang ada sebelum Pemerintah Hindia Belanda Di Pantai Barat Sumatera membangun Pelabuhan Emmahaven.

(Aulia Rahman, S.Hum)