Merlina Agustina Orllanda

1.1 Latar Belakang

Hindia Belanda adalah label yang rekat pada Indonesia di masa lalu. Julukan Hindia Belanda merebak selepas Bangsa Portugis angkat  kaki dari bumi khatulistiwa tersebut. Nama itu mengiring memori pribumi untuk menolak lupa kehadiran bangsa kincir angin yang berhasil mencapai pelabuhan Banten tepat 23 Juni 1596 (Bangsa Belanda) (Kedutaan Besar Republik Indonesia Den Haag, 2002:3). Perihal ini yang kemudian melatarbelakangi Bangsa Eropa itu untuk menetap (Blijver) dan menanamkan pengaruhnya di Bumi Pertiwi. Lantaran  realita itu hadirlah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda) yang memiliki arti “Hindia Milik Belanda” (Saringendyanti, 2009:2).

Bertahtanya hegemoni Belanda di tanah air merupakan titik tolaksengsara yang berkepanjangan. Fakta sejarah telah meninggalkan jejak-jejak eksistensi Belanda dalam menindas rakyat Indonesia. Praktik Kolonial dengan preskripsi yang menguntungkan sepihak di Nusantara melahirkan adanya ketimpangan (inequality). Rezim Belanda adalah masa yang menyulitkan kehidupan rakyat. Hal itu menimbulkan berbagai reaksi perlawanan dengan semangat mengusir penjajah.

Sikap anti barat tidak hanya berasal  dari Indonesia, tapi juga dari bangsa Asia lain yang merasa terjajah oleh adanya imperialisme barat. Tanpa disadari fenomena ini telah memberikan peluang terhadap Negeri Sakura (Jepang) untuk mengambil kesempatan dalam memanfaatkan situasi. Adanya propaganda Jepang dalam menjanjikan kemakmuran bersama Asia Timur Raya telah berhasil untuk mempengaruhi bangsa-bangsa lain di Asia (Nasution, 1977:71). Kepercayaan Bangsa Asia semakin kukuh terhadap Jepang tatkala Pasukan Laksamana Kondo sukses menghancurkan kekuatan militer Amerika di Pulau Luzon.  Pada 8 Desember 1941 Bangsa Kulit Kuning pun terlibat dalam“Perang Pasifik” (Dai Toa no Senso) yang mengiringi penyerangan pasukan Jepang terhadap Pearl Harbour. Serangan Jepang saat itu  dianggap sebagai pukulan berat bagi Pasukan Amerika (Sagimun, 1989:206).

Selagi Jepang Bangkit sebagai cahaya Asia, Belanda  justru hampir tenggelam. Adanya konflik senjata yang terjadi di Eropa serta kelumpuhan Front ABDA yang menyingkirkan diri ke Australia semakin membuktikan Jepang sebagai pahlawan Asia (Nasution, 1977:72-73). Kemenangan yang berpihak pada Jepang juga dibuktikan oleh kehebatan pasukan “Blitzkrieg” (pasukan perang  kilat) ini dalam menenggelamkan kapal perang pasukan Inggris yaitu “Prince of Wales” dan “Repulse” di Perairan Singapura (Herlina : 2005)  (Sagimun, 1989:206).

Berbagai eksistensi Jepang pada masa kepemimpinan Kaisar Mutshuhito ini semakin  agresif dengan perluasan kekuasaannya di seluruh Asia Tenggara dan Asia Timur saat itu (Yulianti, 2007:179). Sebagai Kekuatan Asia, Jepang berhasil menaklukkanCina pada 1894 dan Rusia di Manchuria tahun 1904, serta mampu melakukan penguasaan terhadap sebagian Indo-Cina tepat 24 Juli 1941.Selain itu, adanya semangat Restoirasi Meiji dalam mengembangkan kekuatan Jepang mendorong bangsa ini untuk melirik kepulauan Selatan yang kaya hasil alam. Strategi ini dilakukan Jepang untuk menyediakan bahan makanan dan bahan bakar bagi pasukan tentaranya. Selain Malaya, maka Indonesia adalah daerah yang ingin dicapai (Nasution, 1977:72-73).

Indonesia yang eksotis dengan minyak bumi dan bahan mentah yang melimpah ruah membuat negara ini  dikuasai Pasukan Jepang. Awal perjumpaan Jepang dengan Indonesia dimulai dengan kedatangan bangsa ini ke Tarakan (Kalimantan) sejak tanggal 12 Januari 1942. Pasukan Jepang yang mendarat di Tarakan saat itu berasal dari Davao (Filipina) dengan misi merebut sumber minyak dan karet.Antara periode Januari sampai Februari 1942 Tentara Jepang berhasil menguasai Balikpapan, Banjarmasin, Kendari, Ujung Pandang dan lainnya,  sedangkan pasukan ke-25 berhasil merebut Sumatra. Dari perebutan itu akan melahirkan kisah lanjutan yang  menggores tinta derita di kehidupan  pribumi  dibawah Pendudukan Pemimpin Asia tersebut (Herlina : 2005)  (Sagimun, 1989:207).

Ketertarikan terhadap Bumi Indonesia membuat Jepang melancarkan penyerangan terhadap Belanda yang saat itu menguasai ”negara laut utama’yang ditaburi dengan pulau-pulau’ ini (Lapian, 2009:2).  Pada bulan Januari 1942  terjadi pertempuran seru di Laut Jawa yang menandai keunggulan Armada Jepang. Semangat Jepang saat itu mampu menundukkan Pasukan Militer Belanda dengan jumlah serdadu 2400 orang dan Pasukan Australia sejumlah 1000 personil. Kepiawaian Jepang dalam bertempur membawa bangsa ini untuk menguasai Ambon dan seluruh wilayah Maluku. Di waktu yang bersamaan Jepang sukses menduduki Manado dan Kendari (Suhartono, 1994:118).

Sengitnya serbuan Jepang membuatBelanda tidak berdaya sehinggamenyerahkan Indonesia kepada negara fasis tersebut(Ambarman, 1980:59). Eksistensi aksi Jepang didukung pula oleh  pendaratan RombonganJepang di Rembang, Indramayu dan Banten Pada 1 Maret 1942 (Nasution, 1977:84). Di waktu yang bersamaan Letjen Hitoshi Imamura memerintahkan Kolonel Tosyinari Shoji untuk menuntut penyerahan total. Kedahsyatan Jepang menyebabkan Belanda tunduk terhadap Pemimpin Asia tersebut. Apalagi Imamura melakukan pengancaman akan melakukan serangan udara ke kota Bandung apabila ketentuan tersebut tidak dipatuhi.  Situasi terkepung  juga dialami Jakarta sehingga Gubernur Hindia Belanda Tjarda vanSterkenborgh Stachouwer dan Legercommandantter Poorten akhirnya menandatangani sebuah penyerahan kedaulatan terhadap Jepang (Nasution, 1977:87). Peristiwa  yang  dikenal “Kapitulasi Kalijati” itu berlangsung  pada  tanggal  8  Maret 1942 pukul 10.00 WIB(Herlina: 2005). Realita yang terjadi  merupakan gambaran bahwa Belanda menyerah tanpa syarat terhadap Jepang.

Sejak saat itu Indonesia resmi menjadi wilayah dari SupremasiJepang. Pada umumnya  penjajahan bersifat  sama, meski awalnya bangsa ini dianggap sebagai Pelindung Asia. Dalam hal ini Jepang justru mampu untuk bertindak lebih kejam dari imperialisme yang dilakukan oleh bangsa Eropa (Belanda). Di bawah pendudukan Jepang, rakyat Indonesia  tergencet karena peraturan pemerintahan Jepang yang sifatnya sangat menindas. Di Era Jepang, dominasi kekejaman terlihat dari adanya perampasan kekayaan, perampasan hak milik, harta benda, penyamunan wanita serta tindakan lain yang menjadi gambaran  sikap  mengekang dan merajalela  Jepang di Bumi Pertiwi (Ambarman, 1980:59).

Narasi pada latar belakang di atas merupakan ulasan yang  menjelaskan tentang asal usul kedatangan Bangsa Jepang hingga menguasai  Indonesia. Keberadaan deskripsi itu akan berkelanjutan terhadap lahirnya berbagai kebijakan Jepang di Indonesia termasuk imbasnya dengan mendirikan Markas PertahananDi Sumatera (tepatnya di  Kota Bukittinggi). Peristiwa-peristiwa sejarah yang berlangsung sebelumnya menjadi lantaran hadirnya Warisan Masa Pendudukan Jepang, yaitu dibangunnya sebuah Gua Jepang di antara panorama indah di Kota Bukittinggi. Hal ini menarik karena situs tersebut tidak hanya bagian dari sebuah saksi sejarah, tapi juga berperan sebagai suatu cagar budaya yang menarik wisatawan untuk melakukan rekreasi keindahan dan pengetahuan. Untuk memahami  Gua Jepang Panorama sebagai aset sejarah-arkeologis perlu ditinjau uraian di bawah ini.

1.2  Gua Jepang Panorama Di Bukittinggi Sebagai Warisan Dari Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)

Pada kehidupan ketatanegaraan kapasitas Bukittinggi sebagai pusat Pemerintahan Sumatera bagian Tengah maupun Sumatera secara keseluruhan sudah berlaku sejak masa pemerintahan Belanda. Secara administrasi pernah dibentuk Gementely Resort berdasarkan Stbl tahun 1828. Kondisi itu merupakan salah satu penyebab Kota Bukittinggi sempat menjadi Pusat Pemerintahan Republik Indonesia ketika Belanda menduduki Yogyakarta (Desember 1948- Juni 1949) (Pemerintah Kota Bukittinggi Sumatera Barat).

Terkait dengan kolonialisme barat, maka Belanda terlebih dulu mendirikan kubu pertahanan di Kota Bukittinggi. Benteng tersebut adalah ” Fort De Kock ” yang didirikan tahun 1825 (Pemerintah Kota Bukittinggi Sumatera Barat). Benteng ini diciptakan untuk menghadapi serangan dari Pasukan Imam Bonjol (Deskripsi Cagar Budaya BPCB Sumbar, 2017 :8).  Kehadiran benteng tersebut menjadi salah satu petanda penamaan Kota Bukittinggi yang  sempat dikenal “Geemente Fort De Kock” dan kemudian menjadi “Staadgemente Fort De Kock”. Hal itu tercantumdalam Staadblad No. 358 tahun 1938 yang menjelaskan pula bahwa  luas wilayah Kota Bukittinggi sama dengan ukurannyasekarang. Dulunya  Benteng Kota ini pernah dijadikan sebagai tempat peristirahatan opsir-opsir yang menjajah di wilayah timur (Pemerintah Kota Bukittinggi Sumatera Barat).

Keadaan alam Sumatera termasuk Kota Bukittinggi melahirkan kesepakatan Jepang di Tokyo pada tahun 1941 untuk menjadikan medan ini sebagai pusat proteksi.  Oleh sebab itu, ketika Jepang berhasil memegang tampuk di Pulau Sumatera dijadikannya kesempatan untuk langsung melirik  Kota Bukittinggi sebagai markas pertahanan. Dari pada itu, di awal Masa Pendudukan Jepang, Sumatera bersatu dengan Malaya yang secara administrasi berada  dengan di bawah inspeksi Tentara Angkatan Darat ke-25. Potensi Sumatera yang menunjang perekonomian dan militer Jepang dalam menghadapi pasukan sekutu memicu dipisahkannya Sumatera dan Malaya sejak 1 Mei 1943.  Kebijakan ini merupakan bagian dari  strategi Jepang untuk memberikan perhatian khusus terhadap Pulau Andalas.

Fenomena di jagat Bukittinggi  menyulut  Jepang untuk  membangun sarana  pertahanan. Waktu itu Bukittinggi menjadi  pusat operasi militer Jepang di  kawasan Sumatera hingga ke Singapura dan Thailand.  Pada masa Pendudukan Jepang, Bukittinggi berubah nama manjadi “Si Yaku Sho” dan daerah diperluas dengan memasukan nagari-nagari seperti Sianok, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu taba dan Bukit  Batabuah. Kemudian pada masa kini daerah-daerah tersebut berada dalam lingkup Kabupaten Agam. Di sana pernah berdiri pemancar Radio terbesar di  Pulau Sumatera dalam rangka mengibarkan semangat rakyat untuk menunjang kepentingan Perang Asia Timur Raya versi Jepang. Dalam hal ini Kota Bukittinggi dianggap strategis karena topografi yang berbukit dan berlembah. Adapun bukit yang berada di dalam Perkotaan Bukittinggi diantaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit Paninjauan dan sebagainya. Di kota ini juga terdapat lembah yang dikenal“Ngarai Sianok”. Lembah tersebut memiliki kedalaman bervariasi antara 75–110 meter yang pada dasar lembah mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang (Yurita, dkk: 3).

Sebagai titik Pertahanan Jepang Di Pulau Sumatera, maka Jepang mendirikan benteng, gua-gua di bawah Kota Bukittinggi dan sebagainya sehingga segala aspek kehidupan yang mencakup bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat di Kota Bukittinggimenyesuaikan dengan keadaan Jepang dalam peperangan.Dampak dari Kebijakan Perang Jepang di Bukittinggi membuat masyarakat setempat menghadapi kehidupan yang  serba sulit  dan menderita karena kemiskinan. Suasana histeria di bumi tersebut hadir karena kota yang semula menjadi induk kehidupan justru menjadi sentral pelarian Jepang dari serangan udara sekutu.

Pada  17  Maret 1942 merupakan pangkal Pendudukan Jepang di Bukittinggi dan Padang.  Informasi itu dibenarkan terkait keberadaan  objek wisata bernilai  budaya pada tengah taman Panorama Ngarai Sianok di bawah Kota Bukittinggi. Tempat rekreasi itu merupakan terowongan bawah tanah yang amat panjang  dan berkelok. Gua Jepang Panorama ini dibangun berdasarkan instruksi Jenderal Watanabe Komandan Pertahanan Angkatan Darat Jepang di  Sumatera yang berpusat di Kota Bukittinggi, maka didirikanlah sebuah lokasi untuk bersembunyi di dalam tanah (Deskripsi Cagar Budaya BPCB Sumbar, 2017:8).

Fenomena GuaJepang Panorama ini memberikan deskripsi sejarah tentang peranannya sebagai ruang persembunyian untuk berlindung Tentara Jepang yang tengah menghadapi konfrontasi internasional. Di masanya, objek cagar budaya  dengan nomor inventaris 02/BCB-TB/A/02/2007ini berkontribusi dalam mendukung kepentingan pertahanan tentara Jepang yang bertikai dalam Perang Dunia II dan Perang Asia Timur Raya (Dai ToraSensos) (Yurita, dkk: 5).

Demi terciptanya benteng pertahanan bawah tanah, Jepang mendatangkan pekerja dari Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Kekejaman Jepang terwujud karena para pekerja merupakan korban penculikan Jepang. Tersiar pula kabar yang menyebutkan  bahwa para kuli romusha ini tidak memahami bahasa yang digunakan di Bukittinggi. Hal itu adalah bagian dari trik Jepang agar para buruh tidak berkomunikasi dengan pribumi sehingga mereka tak sadar dijadikan sebagai pekerja paksa untuk membangun sebuah terowongan  sepanjang 1.470 meter ini (Deskripsi Cagar Budaya BPCB Sumbar, 2017:8).

Menurut Imran, dkk : 2012  pada  Indonesia Dalam Arus Sejarah Perang dan Revolusi jilid 6, Awalnya tenaga kerja penggalian terowongan Gua Jepang Panorama bersifat sukarela. Jenderal Moichiro Yamamoto menjelaskan bahwa mereka digaji. Praktiknya tidak sejalan dengan ketentuan karena Jepang melimpahkan kerja berat tanpa memenuhi kebutuhan makan dan pakaian buruh. Sikap itu membuat pekerja tak sanggup dan ingin melarikan diri.  Dari situ Jepang akhirnya melakukan pemaksaan. Terdapat informasi bahwa para kepala desa di beberapa wilayah diperintahkan memobilisasi penduduk yang umumnya petani untuk diangkut paksa ke dalam truk dan pelabuhan. Dalam proses tersebut cukup banyak merenggut korban jiwa (Yurita, dkk: 7).  Jadi untuk menghasilkan gundukan tanah sedalam 40 meter dari permukaan bumi ini, Serdadu Jepang kerap melakukan penyiksaan terhadap pekerja. Oleh sebab itu pada pintu masuk  Gua Jepang Panorama ini dibuatlah relief yang melukiskan kondisi saat proses pembuatan terowongan tersebut (Deskripsi Cagar Budaya BPCB Sumbar, 2017 :8).

Objek yang dikenal Gua Japang/ Lubang Japang (penyebutan Minang) ini terletak di Jalan Panorama  Kelurahan Bukit Canggang Kecamatan Guguk Panjang. Gua  Jepang Panorama  ini berjarak 1400 meter dengan kedalaman 2 meter di bawah permukaan tanah Kota Bukittinggi.Di dalamnya terdapat garis tengah dan tingginya 2 meter. Kemudian kedalamannya di bawah tanah  40-50 meter dengan struktur  tanah bercadas yang cukup keras (198 dpl). Hasil galian pada gua ini dibuang ke Ngarai dengan kedalaman dasar yang sangat dalam. Pada gua terdapat 21 terowongan yang digunakan sebagai tempat tinggal, ruang pertemuan, gudang amunisi, dapur, ruang makan, celah pengintai, bilik pendengaran, barak pekerja Romusa, liang penyiksaan dan penyenderaan, tempat penyergapan dan gerbang melarikan diri. Secara terencana ruangan di dalam gua  dibuat berliku-liku dengan sejumlah ruangan jebakan. Pada gua terdapat dua mulut terowongan yang sampai saat ini dapat dilihat, satu mengarah ke Ngarai Sianok dan yang lainnya merupakan pintu masuk menghadap ke pusat kota. Fungsi dari mulut terowongan selain sebagai pintu masuk juga sebagai ventilasi untuk mengawasi dunia luar (Deskripsi Cagar Budaya BPCB Sumbar, 2017 :8).

Terdapat keterangan  yang menyebutkan bahwa terowongan bawah tanah  pada gua ini akan dijadikan sebagai tempat berlindung Serdadu Jepang dari Serangan Sekutu (1942-1945). Sesuai hasil pendataan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, menyebutkan Tinggalan masa lalu yang dimiliki Pemkot Bukittinggi ini didirikan pada tahun 1943. Akan tetapi, dijumpairagam versi baik dari Pihak Jepang maupun pelaku sejarah sehingga diperoleh keterangan bahwa pembangunan Lubang Japang dibuat pada tahun 1942, namun konstruksinya mulai dikerjakan pada Maret 1944 dan selesai di awal Juni 1944. Sarana pertahanan  yang kini dikelola oleh  Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bukittinggi ini dulunya berperan untuk melindungi Tentara Jepang yang terlibat Perang Dunia  II dan Perang Asia Timur Raya, akan tetapi menjadi sia-sia karena Jepang terlanjur menyerah terhadap sekutu pada 14 Agustus 1945. Hal itu karena Pasukan Kamikaze ini kalah telak atas Amerika, Inggris dan Belanda yang bersekutu memerangi Jepang (Imran, dkk: 2012).

Di kala itu masyarakat tak tinggal diam terlelap dalam situasi yang sukar karena kekalahan Jepang atas sekutu membawa angin segar pribumi untuk melakukan penentangan terhadap  bala tentaranya. Atmosfer ingin  terbebas dari belenggu penjajahan semakin menggebu tatkala Kota Hirosima dan Nagasaki hancur lebur oleh sekutu pada tanggal  6 dan 9 Agustus 1945.  Pada  waktu itu perlawanan dilakukan  para pemuda dan golongan nasionalis di Bukittinggi secara terselubung maupun transparan.  Keadaan ini mendatangkan kebahagiaan tersendiri bagi bangsa Indonesia karena menjadi titik tolak  Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 (Herlina: 2005).

Penjajahan Jepang di  tanah air khususnya di Kota Bukittinggi meninggalkan traumatis bagi rakyat, namun tidak dipungkiri pendudukannya mewariskan aset budaya yang saat ini berperan dalam menunjang pariwisata di kota tersebut. Sebagai tempat rekreasi, Gua Jepang Panorama  berada pada posisi strategis karena berada di lingkungan yang indah dan sejuk. Objek budaya ini dikelilingi pegunungan dan perbukitan yang  menjadi daya tarik wisatawan lokal, nasional dan  internasional. Hal itu menyokong sumber pemasukan pendapatan daerah bagi Kota Bukittinggi.

Kekayaan nilai yang terkandung dalam Gua Jepang Panorama menjadi alasan untuk mendukung kegiatan pelestarian cagar budaya. Hakikatnya Masa Pendudukan Jepang memberikan pelajaran bahwa dulu Indonesia adalah negara terjajah yang bersusah payah meraih kemerdekaan. Dari kisah itu, sudah seharusnya di era milenial yang penuh tantangan dewasa ini seluruh rakyat Indonesia  semakin menambah kecintaannya terhadap tanah air. Gua  Jepang Panorama  adalah saksi sejarah yang menjadi tolak ukur bangsa ini agar dapat lebih baik menghargai dan mempertahankan kemerdekaannya.

1.3  Simpulan

Bersumber pada riwayat sejarah yang diuraikan tadi, maka menjadi suatu keharusan Gua Jepang Panorama ini untuk dilestarikan. Nilai substantif dan sejarah yang bermukim dalam objek cagar budaya tersebut adalah alasan untuk terus mempertahankan tinggalan Pendudukan Jepang ini. Selain itu wawasan dan arsitektural dalam proses membangun sebuah terowongan bawah tanah telah memberikan pengetahuan secara teknis yang hendaknya dikembangkan oleh generasi penerus bangsa. Dengan memperpanjang usia Gua Panorama Jepang, maka telah mengembalikan fungsi lama cagar budaya ini dan turut serta menambah fungsi masa depan tanpa meninggalkan masa lalu. Apabila visi tersebut terwujud bearti telah berperan dalam mengembangkan pengetahuan dan mengokohkan identitas bangsa.

                                                           REFERENSI                                                      

Ambarman. 1978. Politik Dunia Dan Perang Kemerdekaan. Bandung : Aulmni.

Herlina, Nina, dkk. 2005. Peta Cikal Bakal TNI. Bandung : Pusat  Penelitian dan Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran.

Imran, Amrin, dkk. 2012.“Perang dan Revolusi”,Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid 6.

Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve dan Kemendikbud.

Lapian, Andrian B. 2009.Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut : Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta : Komunitas Bambu

Suhartono. 1994. Sejarah pergerakan Nasional : dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908 – 1945. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.                                                  

Nasution. 1977. Perang Kemerdekaan Indonesia .(Jilid 1, Proklamasi). Bandung : Angkasa.

Puar,Etty Saringendyanti dan Wan Irama Puar. 2009. Sejarah   Kebudayaan  Indonesia.

Jakarta : Visi Media.

Sagimun.1989.Peranan Pemuda Dari Sumpah Pemuda Sampai Proklamasi.Bina Aksara : Jakarta.                      

Tim Pelestari BPCB Sumatera Barat. 2017. Daftar Cagar Budaya Kota Bukittinggi. Batusangkar. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat.

VOC di Kepulauan Indonesia (berdagang dan menjajah). 2000. Jakarta ; Balai Pustaka. Oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag.

Yulianti. 2007. Sejarah Indonesia dan Dunia  (cetakan 1).    Bandung: Yrama Widya.

Yurita, Fetra, dkk. History “Lubang Japang” As The Protection Of Allied 1942-1945 In Bukittinggi. Riau : Fakultas Pendidikan Ilmu Sejarah.

Pemerintah Kota Bukittinggi Provinsi Sumatera Barat. Sejarah Kota Bukittinggi.http://www.bukittinggikota.go.id/profil/sejarah 9(Diakses 20 April 2020).