Merry Kurnia

Rumah gadang adalah rumah adat Minangkabau yang dibangun diatas tiang-tiang tinggi yang bersendikan batu(Hassanudin), rumah gadang Minangkabau didirikan di atas tanah yang sudah diperhitungkan kekuatannya dan tidak didirikan diatas kebun dan persawahan, tanah tempat berdirinya rumah diharuskan tanah yang keras yang bisa menahan berat dari rumah gadang tersebut, sebab pondasi dari rumah gadang tidak akan ditancapakan kedalam tanah namun akan diletakkan diatas batu yang pipih. Rumah gadang berarti rumah besar, secara fisik rumah gadang tersebut memang besar dengan jumlah kamar mencapai sembilan, sebelas bahkan lebih tergantung berapa orang jumlah perempuan di rumah tersebut namun makin gadang atau besar lebih mengacu ke fungsinya. Atapnya lancip seperti tanduk kerbau, atap rumah gadang ini disebut gonjong jumlah gonjong tergantung pada besarnya rumah gadang, ada rumah gadang yang bergonjong dua ada yang bergonjong empat ada yang enam bahkan bisa saja lebih sedangkan bagian dalam rumah terdiri dari  lanjar, anjuang dan kolong. Lanjar merupakan tempat khusus bagi perempuan untuk menerima tamu (melayani suaminya) baik makan dan minum dan urusan lainnya, sedangkan anjuang kanan merupakan kamar para gadis di rumah gadang dan anjuang kiri merupakan tempat kehormatan penghulu pada saat melakukan upacara adat, kolong merupakan tempat penyiapan alat pertanian atau tempat perempuan bertenun.(Hassanudin)

Atap rumah gadang berbentuk tanduk kerbau mempunyai makna yang besar,  kemungkinan juga mewakili kemenangan orang Minangkabau dalam menghadapi serangan Majapahit, dalam foklornya diceritakan kecerdikan orang Minang dalam menghindari perang fisik dengan diadakannya upacara adu kabau. Hal ini berhubungan dengan ekspansi Majapahit ke Minangkabau saat Adityawarman berusaha melepaskan Kerajaan Pagaruyung dari pengaruh Majapahit, hal ini tentunya  membuat Kerajaan Majapahit merasa tidak senang atas tindakan Adityawarman, mendapat ancaman serangan dari Kerajaan Majapahit tidak membuat para punggawa kerajaan Pagaruyung gentar. Ketika pihak Majapahit mendirikan tenda di kiliran jao dan mengatur stategi untuk menyerang Pagaruyung, para pemimpin Pagaruyung segera mengadakan musyawarah, melihat jumlah pasukan Majapahit yang tidak seimbang dengan jumlah pasukan Pagaruyung , Pagaruyung melakukan diplomasi dengan pihak Majapahit untuk menghindari perang fisik dengan mengusulkan adu kerbau dan hal itu disetujui oleh pihak Majapahit. Orang Majapahit memilih kerbau jantan yang kuat dan besar sedangkan orang Minang memilih kerbau kecil yang sedang erat menyusu dengan induknya, sebelum diadu kerbau kecil ini sengaja dipisahkan menyusu dari induknya, saat hendak dilepaskan dikejarnya kerbau besar punya Majapahit hingga membuat kerbau jantan keluar dari gelanggang dan pasukan Majapahit dianggap kalah. Kekalahan Majapahit membuat pihak Majapahit bersedia meninggalkan kerajaan Pagaruyung (Charles Robenta, Tontowi Amsia Dan Yustina Ekwandari).

Rumah gadang merupakan rumah gadang kebesaran Minangkabau dengan segala filosofi yang terkandung didalamnya,  hampir dari setiap sudut bangunan mempunyai arti dan makna yang mulia, mulai dari anjung, lanjar, atap, gonjong dll. rumah gadang dapat dianggap sebagai cagar budaya karena merupakan kekayaan warisan budaya yang mempresentasikan fikiran nenek moyang berlandaskan adat yang kental dan memiliki nilai kreativitas yang tinggi yang diwariskannya (wiwin Djuwita Sudjana Ramlelan, Yoka Febriola). Salah satu peninggalan nenek moyang yang masih terjaga dan lestari dari gempuran zit geist yang berubah-rubah adalah Rumah Tuo Kampai Nan Panjang. Rumah gadang ini masih kokoh berdiri sampai saat ini dan menjadi salah satu bangunan  cagar budaya kekayaan bangsa.

Rumah Tuo Kampai Nan Panjang terdapat di Kabupaten Tanah Datar, kira-kira  berada sekitar 13 kilometer dari Batusangkar atau lebih tepatnya berada di Nagari Belimbing, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Rumah gadang ini mempunyai ciri khas yang sangat unik salah satunya adalah pintu kamar yang berbentuk oval dengan jumlah kamar sebanyak tujuh, hal ini menandakan jumlah  perempuan yag menghuni rumah gadang sebanyak tujuh orang, selain bentuk jendela kamar yang oval  pintu rumah gadang juga tidak kalah uni karena tidak memakai engsel pintu yang terbuat dari besi, agar pintu bisa menutup dan membuka yang digunakan adalah poros dengan cara melubangi kayu. Keunikannya tidak terhenti sampai disitu orang-orang akan tercengang dengan kemampuan para ahli pendiri rumah gadang dimana rumah gadang ini dikonstruksi tidak menggunakan paku namun menggunakan pasak-pasak yang kuat.dibalik semua keunikan yang dipunyainya hall yang paling menonjol adalah Rumah gadang ini mampu mempertahankan eksistensinya selama ratusan tahun.

Secara tradisional, setiap keluarga inti dapat memiliki sebuah perapian dan tempat masak sendiri di dalam rumah itu sendiri. ini memungkinkan lebih banyak kedaulatan di antara para perempuan dan mencegah perselisihan, yang sering terjadi di antara saudara-saudara perempuan dan sepupu-sepupu, menjadi terlalu memecah-belah. Tapi pada 1847, dalam upaya mencegah kebakaran, belanda melarang perapian di dalam rumah. Ruang masak menjadi dapur terpisah, ditempatkan di bawah bagian belakang rumah. Campur tangan kolonial ini menimbulkan pemecahan beberapa rumah gadang serta pembangunan berbagai rumah rumah kecil, biasanya untuk keluarga-keluarga inti di sekitar tanah milik. Rumah-rumah ini menjiplak garis atap yang stereotipikal rumah gadang itu dan memelihara keturunan matrilineal, tapi bukan lagi rumah-rumah komunal untuk sekelompok keluarga luas matrilineal.(Jefrey Hadler)

Dari hasil penelitian Jefrey Hadler diketahui pihak kolonial  berusaha mengoyak orisinilitas rumah gadang dengan aturan yang dibuatnya, namun ternyata tidak semua rumah gadang mengikuti aturan yang dbuat oleh kolonial, salah satu rumah gadang yang tetap bertahan adalah Rumah Tuo Kampai Nan Panjang,  Pihak kolonial mengemukakan alasan dalam satu persepektif saja melalui kacamatanya saja agar dapur dan rumah terpisah dan dibangun  rumah-rumah kecil di samping rumah gadang untuk keluarga inti jadi tidak semua keluarga inti tinggal di rumah gadang, perubahan yang dilakukan oleh pihak kolonial berlangsung  sampai saat ini

Kebanyakan peninggalan rumah gadang di Minangkabau ataupun rumah gadang yang baru dibangun pada abad ke 20 mempunyai  dapur yang   terpisah dari rumah. Nenek moyang orang Minangkabau membuat perapian atau dapur di dalam rumah bukan tanpa alasan, semua arsitektur dan interior mempunyai makna yang dalam, kemungkinan besar dapur di dalam rumah bertujuan untuk menunjukkan transparansi di dalam Rumah Gadang. Perubahan itu tidak berlaku terhadap Rumah Tuo Kampai Nan Panjang, rumah gadang ini tetap kuat mempertahankan eksistensi dirinya ditengah penetrasi kolonial, salah satunya dilihat dari dapur yang masih terdapat di dalam rumah,  pada mulanya rumah gadang ini mempunyai dua tungku di dalam rumah namun sekarang hanya tinggal satu tungku ( wawancara dengan jupel Rumah Tuo Kampai Nan Panjang), selain dapur Rumah Tuo Kampai Nan Panjang masih mempunyai aluang yang terletak pada sisi kiri dan kanan pintu, aluang merupakan sebuah kotak yang terbuat dari  kayu yang digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda milik kaum seperti pakain adat dan benda-benda berharga lainnya (aluang yang dipunyai Rumah Tuo Kampai Nan Panjang terbuat dari satu badan kayu utuh).

Sekarang ini Rumah Tuo Kampai Nan Panjang merupakan salah satu destinasi wisata budaya, rumah gadang ini tercatat sebagai salah satu rumah tertua di Minangkabau yang dibangun sekitar abad ke 16, rumah ini merupakan rumah adat traditional yang telah di wariskan secara turun temurun pada lima generasi suku kampai (Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan Dan Yoka Febriola). Rumah gadang ini telah berdiri selama ratusan tahun dan tetap bertahan menunjukkan eksistensi dirinya, keunikan dan keistimewaan Rumah gadang ini harus terus dilestarikan sebagai bukti warisan budaya nenek moyang.

Daftar Pustaka

Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan Dan Yoka Febriola. (2013), Rumah Tuo Kampai Nan Panjang; Kajian Nilai-Nilai Budaya Dan Pemanfaatannya. FIB UI

Hassanudin, Nilai Sosial Budaya Rumah Gadang Minangkabau

Charles Robenta, Tontowi Amsia, Yustina Sri Ekwandari. Perjuangan Adityawarman Di Kerajaan Dharmasraya Nusantara Tahun 1339-1376. FKIP Unila

Jefrey Hadler. (2010), Sengketa Tia Putus; Matriakat, Reformisme Agama Dan Kolonialisme Di Minangkabau. Jakarta;Fredom Institute