Merlina Agustina Orllanda,

Latar Belakang                                                                                                           

Berdasarkan Keppres Nomor 78 Tahun 1994 dan juga UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, maka setiap tanggal 25 November diperingati Sebagai Hari Guru Nasionaldan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Penetapkan tanggal tersebut dilatarbelakangi dengan kongres guru yang diadakan pada 24-25 November 1945 di Surakarta.  Dari pertemuan itu para guru bertekad untuk menyumbang pemikiran mereka dalam kemerdekaan RI.

Pada awalnya persatuan guru Indonesia dikenal dengan Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB).  Organisasi itu didirikan pada tahun 1912.  Di awal dunia pendidikan Indonesia, kelompok persatuan guru ini beranggotakan guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan perangkat sekolah lainnya.

Guru merupakan tugas mulia, namun memiliki tantangan yang rumit.  Untuk menjadikan anak bangsa ini mencapai cita-cita dan membawa kemajuan bagi tanah air adalah proses yang panjang.  Guru tidak hanya mengajari siswa untuk pandai membaca, berhitung dan pengetahuan, tapi mengantarkan setiap peserta didiknya untuk berahlak mulia dan beriman.  Oleh sebab itu setiap guru hendaknya pandai memahami karakter murid dan memiliki jiwa sabar menghadapi berbagai tingkah anak-anak.  Keberhasilan seorang guru ditentukan oleh seberapa berkesan sosoknya dalam pandangan setiap murid.

Guru ada karena adanya sistem pendidikan.  Sistem pendidikan di Indonesia lahir berkat adanya Politik Etis yang diperkenalkan barat.  Tanpa pendidikan, maka tidak ada wadah untuk menampung peran guru.  Dalam pendidikan guru dapat membangun eksistensinya dalam memajukan bangsa lewat generasi-generasi yang cerdas dan bermoral. Oleh sebab itu untuk memahami eksistensi guru serta peran dunia pendidikan terhadap kehidupan bangsa indonesia dewasa ini perlu ditelusuri jejak perjumpaan Indonesia dengan dunia pendidikan.  Tak dapat dipungkiri perkembangan pendidikan di tanah air tidak lepas dari campur tangan kolonial.  Untuk melihat hubungan antara pendidikan barat, peran guru hingga kemerdekaan Indonesia perlu ditelusuri uraian berikut.

Eksistensi Guru Dan Politik Etis

Politik Etis telah berhasil memperkenalkan sistem sekolah kepada pribumi.  Masyarakat yang sebelumnya tidak mengenal pendidikan akhirnya memperoleh pengajaran.  Perkembangan pendidikan Hindia Belanda di awal abad XX tidak terlepas dari peran Theodorad Conrad Van Deventer sebagai Bapak Pencetus Ide Etis. Berdasarkan sejarah, andilDeventer terlihat pada artikelnya yang dimuat “De Gids” pada tahun 1899 ‘, saat itu Deventer berargumen bahwa ”Belanda telah memperoleh berjuta-juta dari Indonesia dengan cara tanam paksa tanaman-tanaman berharga dan, karena itu, pada masa ketika koloni itu sangat membutuhkan dana untuk menyediakan pendidikan bagi penduduk asli, Belanda terikat “demi kehormatan” untuk membayar budi atas dana berjuta-juta itu”.  Van Deventer memperkirakan jumlah yang akhirnya wajib dikembalikan pemerintah Hindia Belanda sebesar 187 juta gulden (Vlekke: 1961 :372).

Berdasarkan pemikiran Van Deventer akhirnya Pemerintah Hindia Belanda mengadakan program pendidikan yang ditujukan bagi pribumi.  Untuk memperluas birokrasi, pemerintah akhirnya menyetujui perkembangan pendidikan bagi pribumidi akhir abad XIX.  Di samping itu, Prijs beranggapan bahwa tujuan pemerintah menyetujui program edukasi berkaitan dengan misi peradaban dan agama yang ingin mengadabkan pribumi serta menghindarkan pribumi dari adanya pengaruh Islam; pemerintah kolonial beranggapan bahwa Islam merupakan ancaman terhadap sistem yang diterapkan pemerintah didaerah koloni.  Sosialisasi pendidikan saat itu berperan dalam mengembangkan pola pendidikan barat.

Pemikiran politik kolonial di bidang pendidikan menunjukan eksistensinya pada awal abad XX.  Perkembangan pendidikan dimulai dengan didirikannya volkschool “sekolah desa” yang dibangun sesuai kemampuan masyarakat dan subsidi pemerintah (pelaksanaannya hanya 3 tahun dengan materi yang diajarkan hanya baca, tulis dan berhitung).  Program sekolah desa ini kemudian dilanjutkan ke vervolgschool” (sekolah sambungan untuk masa dua tahun).  Sistem ini kemudian menggantikan sekolah kelas dua yang bertujuan untuk mendidik anak negeri.

Alasan berdirinya sekolah desa merupakan jawaban atas tuntutan van Heurtz sekitar tahun 1907.  Hal itu didorong pula dengan adanya kritik Etis yang menuntut perbaikan terhadap pribumi. Keberadaan sekolah desa merupakan awal dari penerapan pendidikan, namun memiliki kelemahan.  Hal itu disebabkan oleh penyediaan sekolah yang bersifat sederhana.  Pada periode awal penerapan Politik Etis, pemerintah tidak memiliki biaya besar untuk memenuhi kebutuhan serta mendirikan sekolah yang bersifat layak (di waktu itu biaya pendidikan dianggap lebih besar dari anggaran pemerintah)(Vlekke:1961:371).

Pada tahun 1912 pemerintah mendirikan 2500 sekolah desa.  Hal ini menunjukkan upaya pemerintah untuk menghimpun rakyat agar mau bersekolah, namun pribumi tidak tertarik menempuh pendidikan tersebut. Rasa tidak minat rakyat membuat pemerintah menutup sekolah-sekolah desa.  Di samping itu, alasan lain yang menyebabkan pribumi tidak mendukung program sekolah desa seperti salah satu contoh kasusnya seperti di Sumatera Barat yang memiliki sikap kental akan etnosentrisme mengenai tradisi untuk tidak membiarkan anak gadis keluar malam hari walaupun tujuannya untuk belajar.  Budaya tersebut menunjukan bahwa orang Sumatera Barat memegang prinsipnya bahwa ajaran yang dipegang lebih baik ketimbang pendidikan yang diberikan pemerintah.

Upaya pemerintah mengembangkan pendidikan mengantarkan pribumi pada kemajuan yang mampu mengawal semua kebijakan pemerintah Hindia Belanda.  Menurut Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern: “Berkembangnya pendidikan dalam mewujudkan Ide Etis ini dipengaruhi pula oleh pemikiran Snock Hurgonje dan J. H Abendanon yang berinti pada “pendidikan yang ditujukan kepada elite pribumi dengan pengaruh serta gaya Eropa, misalnya penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar sehingga kelak pribumi ini dapat dipekerjakan dalam bidang administrasi pemerintahan Hindia Belanda, dengan demikian maka akan terlihat adanya hubungan yang bersifat patronasedimana pribumi yang diberi pendidikan akan membalas jasa Belanda dengan membantu segala program kerja pemerintahan Hindia Belanda”.

Pemikiran Snock Hurgonje dan J. H Abendanon itu berwujud dengan didirikannya HIS (Hollandsch Inlandsche School) yang diperuntukkan bagi anak dari golongan atas.  Pada pelaksaanaan sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School) Bahasa Belanda berperan sebagai bahasa pengantar.  Proses dalam pelaksanaan HIS adalah 7 tahun, bagi anak dari keluarga mampuakan diperkenankan untuk menempuh pendidikan di sekolah lanjutan pertama yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onder wijs) dan akan melanjutkan ke AMS(Algemeene Middelbare School).

Sejak awal 1920-an sistem pendidikan di Hindia Belanda menyediakan HBS (Hoogere Burgerschool) yang pelaksanaan pendidikannya selama lima tahun seperti STOVIA (sekolah kedokteran Hindia Belanda) dan HIK(Hoogere Kweekschool) sekolah teknik.  Gambaran dari STOVIAini bisa dilihat dengan pengajaran bahasa pada sekolah di Bukittinggi yang dianggap berperan dalam mengembangkan bahasa Melayu (Van Ophuyusen merupakan perumus ejaan Melayu yang mengajar di sekolah ini).

Pada mulanya pendidikan dalam masa politik Etis ini dapat dirasakan oleh anak-anak yang bernasib baik untuk bisa melanjutkan pendidikan ke tahap yang lebih tinggi.  Umumnya tempat untuk melanjutkan pendidikan diarahkan ke Eropa, namun karena banyak yang ingin menempuh pendidikan maka lama kelamaan akhirnya disediakannya sekolah di Hindia Belanda.  Berkembangnya sekolah teknik dan sekolah kedokteran juga merupakan penyebabberdirinya HIS yang diperuntukkan bagi pribumi yang berminat menjadi guru. Perkembangan pendidikan terlihat pada kegiatan Pemerintah kolonial yang ketika itu memberi kesempatan kepada pribumi untuk mengikuti seleksi masuk ke sekolah normal, sekolah guru atau sekolah tukang.  Hal ini bertujuan agar pribumi dapat memilih minatnya masing-masing.

Pada tahun 1924, pribumi memiliki kesempatan untuk masuk sekolah di lingkungan Belanda.  Oleh sebab itu, didirikanlah sekolah schakel.  Pribumi dituntut untuk menyesuaikan diri dengan sistem barat layaknya murid murid sekolah ”Gubernemen”. Fenomena ini kemudian melahirkanakulturasi.  Dalam hal ini pribumi hidup dengan pola pendidikan barat dan menyesuaikan gaya barat, namun pribumi tidak menghilangkan identitasnya.  Dampak dari masuknya pribumi dalam sistem pendidikan barat terlihat dari hasil survei yang menunjukkan kemampuan membaca yang mencapai 6,44 % pada tahun 1930.

Perkembangan pendidikan selanjutnya bisa dilihat pada pendirian OSVIA (sekolah pegawaiyang setelah tamat akan dijadikan sebagai pegawai bupati).  Jenjang pendidikan ini membutuhkan waktu tujuh tahun.  Meskipun sudah menyesuaikan pendidikan barat, namun antara pribumi dan bangsa Belanda terdapat hierarki sosial.  Biasanya pribumi tamat sekolah dari OSVIA (sekolah pegawai) hanya dijadikan sebagai pegawai rendahan.  Keadaan ini melahirkan pelebaran diferensial dalam penempatan tingkatan status sosial dimasyarakat.

Fakta sejarah menjelaskan bahwa sekolah dilingkungan barat membuat pribumi mengalami berbagai hambatan baik itu dari segi biaya dan penempatan kedudukannya.  Dengan demikian mendorong didirikannya sekolah bersubsidi pemerintah dengan tujuan untuk meringankan pribumi.  Sekolah itu dikenal dengan sekolah swasta.  Perkembangan pendidikan barat dibawah naungan pemerintah Hindia saat itu telah menggeser keberadaan sekolah tradisionaldi Hindia Belanda.  Hal ini karena pribumi merasa sangat membutuhkan bantuan pemerintah.  Selain itu dikarenakan anggapan bahwa pendidikan barat lebih baik dari sistem tradisional.

Dari situ, perkembangan sekolah bersubsidi mendorong diadakan beasiswa yang diperuntukkan untuk pribumi. Misalnya bagi anak-anak yang berprestasi akan dikirim untuk belajar langsung ke negeri Belanda. Pada tahun 1900 terdapat lima anak negeri yang belajar ke Belanda. Hal itu menjadi cikal bakal berdirinya“Studiefondsdi tahun 1910.  Tujuan didirikan sekolah ini untuk mengirim intelektual pribumi untuk belajar ke Eropa.  Sistem itu sebenarnya mendapat tantangan dari golongan konservatif Belanda yang beranggapan bahwa pribumi tidak akan memiliki kemampuan alamiah dalam mengikuti pendidikan sehingga program beasiswa akan sia-sia dengan menyekolahkan pribumi yang umumnya tidak akan pernah mengerti mengenai pendidikan.

Sebenarnya puncak perkembangan pendidikan di Indonesia berada pada tahun 1930-an.  Hal itu karena marak berdirinya perguruan-perguruan tinggi sekitar tahun 1920-an.  Pada tahun 1920 berdiri Technische Hogeschool di Bandung dan tamatan sekolah hakim Rechtschool di Betawi.  Kemudian, pada 1 Oktober tahun 1940 didirikan Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte dan sebelas bulan kemudian didirikan Landbouwkundinge Faculteit di Bogor.  Dalam perkembangan pendidikan banyak mahasiswa Indonesia yang dikirim belajar ke Universitas luar seperti Universitas Leiden dan Universitas Ultrecht.  

Berkembangnya pendidikan barat membuat pribumi menghadapi berbagai tantangan karena selalu diletakkan di bawah orang Eropa bahkan setelah orang Timur asing.  Keadaan itu tidak menyurutkan perkembangan pendidikan di tanah air karena hasil perkembangan pendidikan itu pada akhirnya dapat rakyat Indonesia rasakan hingga saat ini.  Bangsa ini mampu mengikuti kemajuan peradaban berkat pendidikan barat yang sebelumnya diperkenalkan Belanda.  Keberadaan pendidikan itu, justru menjadi batu loncatan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan.  Kebebasan dari belenggu penjajahan adalah mimpi besar pribumi. Di awal abad ke-XX, politik pembaharuan yang disalurkan lewat pendidikan telah melahirkan sistem yang kelak akan membawa angin baik pada kehidupan bangsa Indonesia sehingga penjajahan tidak selamanya memberi dampak negatif, namun pada sisi lain telah memberi makna positif untuk mencapai kemerdekaan.

Pendidikan barat memberikan dampak yang sangat berarti bagi lahirnya semangat nasionalisme Indonesia.  Berdirinya perguruan tinggi di Indonesia pada masa pergerakan merupakan proses bangsa ini untuk menuju pengetahuan politik.  Program beasiswa yang mengantarkan bumi putera sampai ke negeri Eropa membuat pelajar memperoleh banyak pengetahuan serta mengetahui gaya hidup orang-orang Eropa yang bersifat maju.  Dari itu, maka cendekiawan Indonesia mulai berfikir untuk menerapkan sistem barat yang membawa kemajuan pada Indonesia sebagai tanah airnya.

Perkembangan pendidikan telah menunjukkan bahwa Belanda memiliki peranan penting dalam melahirkan anak Indonesia yang bergelar sarjana; anak bangsa yang berkualitas dalam mengharumkan tanah air.  Pada tahun 1913 hasil disertasi Prof, Dr Hoesin seorang anak Banten manjadi karya puncak dalam studi filologi Indonesia dan Dr Soepomo yang menjelang perang fasifik ditetapkan sebagai profesor hukum adat.  Keduanya merupakan sarjana yang dihasilkan oleh Leiden University.  Di samping itu, Rotterdam juga menghasilkan ahli ekonomi seperti Samsi.  Selain itu ada tokoh lain yang belajar di Negara Eropa selain Belanda seperti Mohamad Syafei yang memperoleh gelar M. D (Medical Doctor) dari Johns Hopkins University (Baltimore).

Pendidikan menghadirkan perguruan tinggi yang berjasa dalam menyalurkan bakat pribumi.  Kita lihat sejak tahun 1900 ketika J. H.  Abendanon menjadi Direktur Pendidikan di Hindia Timur pada tahun 1900.  Pada pelaksanaan Politik Etisnya di bidang pendidikan (edukasi) J. H.  Abendanon banyak memberikan rangsangan yang menimbulkan kesadaran kepada para angkatan muda Indonesia, antara lain pemuda Abdoel Moeis yang belakangan menjadi pemimpin Sarekat Islam (SI) dan lewat korespondensi dia berhasil mengobarkan semangat pemikiran Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara, yang pada akhirnya merangsang tumbuhnya sekolah-sekolah untuk kalangan wanita di Indonesia.

Riwayat sejarah pendidikan yang berasal dari penjajahan kolonial berhasil menggugah semangat pribumi untuk mencari jati diri, mencari identitas bangsa (Local Genius). Pendidikan telah membawa anak bangsa dalam mengembangkan ide dalam mencari pemikiran sendiri atau dengan kata lain sebagai salah satu faktor yang menggariskan hari depan bangsa.  Para pemuda Indonesia yang belajar di luar negeri ini ketika kembali ke tanah air mulai mendirikan pergerakan bahkan perkumpulan-perkumpulan yang menuntut tercapainya kemerdekaan. Adapun perkumpulan yang dimaksud seperti organisasi pergerakan seperti: seperti Budi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Dagang Islam (1908); yang kemudian diubah menjadi Serikat Islam pada tahun 1913, dan Indische Partij pada tahun 1912, Perhimpunan Indonesia pada tahun 1908.  Di samping itu, terdapat partai yang lahir sesudah adanya pengaruh dari perkembangan Universitas dan pendidikan Eropa seperti PKI pada 23 Mei 1920, dan Parindra sekitar 1935 serta partai-partai lainnya.  Wakil-wakil dari pergerakan inilah yang kemudian akan tampil di kancah politik Hindia Belanda, serta menempatkan fungsinya untuk menyalurkan aspirasi seluruh rakyat Indonesia.  Selain itu tujuan dari pergerakan-pergerakan organisasi tersebut merupakan langkah awal bagi Indonesia untuk meraih kemerdekaan karena semua organisasi di atas memuat tujuan sama yaitu Indonesia satu yang terlepas dari penetrasi kolonial.

Simpulan

Hari guru merupakan cermin eksistensi pendidikan masa lalu yang menggambarkan peran pemikiran Etis pada kancah politik sehingga menjadi pelopor lahirnya anak Indonesia yang menentukan arah dan nasib bangsa serta mencapai tujuan-tujuan yang dahulu diimpikan, namun sekarang sudah digenggam sebagai milik Indonesia. Indonesia yang merdeka; Indonesia yang mampu berdiri untuk memimpin negerinya sendiri. Jika dahulu para guru bersatu untuk mendukung kemerdekaan 1945, maka di masa kini keberadaan guru diharap dapat mengarahkan kelopak-kelopak bangsa untuk dapat terus mempertahankan kemerdekaan dan mengharumkan nama Indonesia.

REFERENSI

Locher- Schoelen, Elsbeth.  1996.  Etika Yang Berkeping-keping ; Lima telaah kajian Aliran EtisDalam Politik Kolonial, terjm Nicolette P.  ratih dan Th.  Van de End.  Jakarta : Djambatan.

Vlekke, Bernard.  1961.  Nusantara.  Jakarta : Gramedia.

Ricklefs. 1998.  Sejarah Indonesia Modern.  Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.