Cagar Budaya dan Pariwisata

Oleh: Harry Iskandar Wijaya

Hingga tahun 2016 tercatat sebanyak 646 cagar budaya tidak bergerak berupa bangunan, situs ataupun struktur yang terdapat dalam data inventarisasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. Keseluruhan cagar budaya tersebut memiliki potensi dan nilai-nilai secara intrinsik yang dapat dimanfaatkan, baik dari sisi nilai keagamaan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan pariwisata. Selain cagar budaya tidak bergerak, juga masih banyak benda-benda cagar budaya yang bersifat bergerak, seperti artefak, kerangka, ataupun benda peninggalan kebudayan lainnya yang juga bisa di manfaatkan sebagai benda pamer untuk memberikan informasi.

Pemanfaatan cagar budaya sebagai objek pariwisata merupakan salah satu misi dalam melaksanakan pelestarian cagar budaya sesuai dengan Undang-undang  nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya. Dalam undang-undang cagar budaya tersebut yang berkaitan dengan pariwisata terdapat pada pasal 85 ayat 1, disebutkan bahwa “pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan cagar budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan pariwisata”. Dalam kalimat tersebut jelas bahwa pemerintah dapat memanfaatkan cagar budaya sebagai salah satu objek pariwista.

Dalam pemanfaatan cagar budaya sebagai objek pariwisata, terkadang memunculkan anggapan yang bersebrangan dengan pelestarian cagar budaya itu sendiri. Padahal sebenarnya pelestarian dan pemanfaatan memiliki sifat yang saling terkait guna memenuhi tujuan akhir dari pelestarian cagar budaya yang bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini muncul dikarenakan cagar budaya juga memiliki batasan khusus dalam pemanfaatannya, tidak hanya melihat dari unsur ekstrinsik saja, melainkan dapat dimanfaatkan melalui nilai-nilai instrinsiknya, tanpa mengubah unsur ekstrinsik dari cagar budaya itu sendiri.

Cagar budaya merupakan benda hasil kebudayaan masa lalu, yang memiliki sifat tua, rapuh, terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Sifat inilah yang terkadang mengaburkan pemahaman terhadap pemanfaatan cagar budaya sebagai objek pariwisata. Pembaharuan terhadap cagar budaya membutuhkan penanganan khusus agar tidak mengubah nilai yang ada di kandungnya. Misalkan saja pada sebuah batu nisan kuno atau menhir yang berdiri dengan posisi miring. Batu tersebut tidak dapat serta merta diluruskan atau diubah posisisnya, karena bisa saja posisi miring tersebut mengandung makna atau arti tertentu yang di buat dari hasil budaya masa lalu.

Berkaitan dengan pariwisata berbasis cagar budaya, secara khusus menyoroti pemanfaatan peninggalan sejarah yang dapat dibagi menjadi dua yaitu pemanfaatan secara fisik (pariwisata) dan pemanfaatan secara non fisik (berkaitan dengan makna kultural dan nilai luhur). Pariwisata berada di ranah yang tepat dalam memanfaatkan agar budaya secara fisik sebagai faktor utama dibandingkan pemanfaatan secara non fisik. Secara non fisik pemanfaatannya akan lebih mengedepankan penyebaran informasi pengetahuan ataupun kajian penelitian kepada masyarakat. Melalui pandangan-pandangan tersebut terlihatlah bahwa sebenanrnya cagar budaya memiliki potensi sebagai objek pariwisata justru melalui keeksotisan, keunikan dan kelangkaannya itu. Setelah melihat potensi dan nilai yang dimilikinya, lalu akan memunculkan pertanyaan tentang bagaimana cara menjadikannya sebagai objek pariwisata.

Peran informasi menjadi begitu penting ketika melihat wujud fisik yang dinilai tua dan rapuhnya sebuah cagar budaya. Tidak aneh jika suatu cagar budaya walau telah menjadi objek pariwisata namun masih belum menjadi daya tarik wisatawan. Aspek penyebaran informasi dan interpretasi terhadap nilai yang dimiliki cagar budaya harus dimunculkan dengan pengemasan dan penyajian yang menarik. Hal ini tentunya berguna untuk mengimbangi sifat cagar budaya itu sendiri yang terkadang memang ketertarikan akan muncul terlebih dahulu dari informasi yang dimilikinya.

Melalui penyajian yang imajinatif yang ditambahkan dengan cerita yang penuh misteri dan tata visual pendukung dari masa lalu akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang berusaha dikaitkan dengan fisik dari cagar budaya yang dilihat. Henry Cooper 91991) dalam “the technique of interpretation” managing tourism” menyatakan bahwa tujuan wisata haruslah dapat membangkitkan kesadaran akan arti penting, signifikansi, serta fenomena lainnya melelui presentasi yang efektif. Interpretasi menyediakan layanan melalui penyajian secara imajinatif melalui bentuk papan informasi, pusat kunjungan ataupun audio-visual untuk meningkatkan pengalaman para pengunjung.

Terkait wujud fisik dan informasi yang dimiliki dari cagar budaya itu, pastinya harus memiliki pengunjung yang menjadi arah sasaran publikasi. Peminat dari pariwisata cagar budaya biasanya meliputi kalangan ilmuan dan akademisi dari disiplin ilmu arkelog dan anthropolog, wisatawan yang menaruh minat pada bidang khusus (budaya, sejarah, agama, dll), para pelajar dan masyarakat lokal.

Cagar budaya yang menjadi pariwisata memiliki keunikan dibandingkan wisata alam atau yang lainnya. Sifat dari cagar budaya yang rentan, rapuh, tua dan  terbatas berada di bawah lindungan payung hukum, namun aspek intrinsik dari cagar budaya tetap menjadi potensi yang menarik dan bermanfaat untuk dikembangkan menjadi pariwisata berbasis cagar budaya. Oleh karena itu, peran publikasi dalam menyampaikan informasi dan nilai intrinsik yang dimilikinya harus dikemas sedemikian rupa, agar tidak menjadi sisa masa lalu yang tidak ada artinya. Pemanfaatan mediajaringan  informasi global juga perlu dilakukan , karena menjadi sarana yang paling cepat dan luas dalam penyebaran informasi. Cintai, kunjungi dan lestarikanlah cagar budaya agar mereka tidak kesepian dimasa tuanya.