Laporan: Khairul

TANAH TADAR, HARIANHALUAN.COM–Bulan Agustus lalu, dunia arkeologi sontak digegerkan dengan artikel dari majalah Nature dengan judul  An early modern human presence in Sumatera 73.000-63.000 year ago (Kehadiran manusia modern awal di Sumatera 73.000-63.000 tahun lalu).

Artikel itu merupakan hasil penelitan tim ilmuwan dari Australia, Indonesia, Amerika Serikat, Jerman dan Inggris, dipimpin KE Westaway atau Kira Westaway dari Macquarie University Sydney, yang memastikan fosil gigi yang ditemukan Dubois di Goa Lida Ajer, memang fosil gigi manusia modern atau Homo Sapiens. Tim yang mengandalkan teknologi, meyakini gigi tersebut berusia antara 63 ribu hingga 73 ribu tahun lalu.

Dari hasil penelitian tersebut, Pulau Sumatera khususnya di Sumatera Barat menjadi lokasi tempat survei dan observasi bagi sejumlah kalangan, termasuk 6 mahasiswa Arkeologi Universitas  Jambi dan Balai Pelestarian Cagar Budaya  (BPCB) Sumbar.

Pada Rabu (29/11), mereka mengunjungi Goa Lidah Aek. Survei dilakukan dalam rangka tugas mata kuliah Masa Prasejarah di Sumatera Barat, dengan lokus Gua Lidah Aia (Lidah Air). Goa Lida Ajer lebih dikenal penduduk Nagari Tungkar yang dulunya masuk wilayah Kabupaten Tanah Datar, dan baru pada 1950-an bergabung dengan Limapuluh Kota, sebagai Ngalau Lidah Aia.

Gua Lidah Air secara administarif berada di kawasan Perbukitan Kojai, Nagari Tungkar, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota. Sekitar 20 kilometer dari arah selatan Kota Payakumbuh. Secara astronomis berada pada titik koordinat S 0°19’06.6″ E 100°35’37.3″ dengan ketinggian 700 mdpl.

Gua Lidah Air berada pada lereng Bukit Sidayu. Sebelah utara berbatasan dengan Bukit Sidayu, sebelah selatan dengan Bukit Patopang, sebelah barat dengan Bukit Sidayu, dan sebelah timutnya berbatasan dengan Puncak Itiak.

Salah seorang mahasiswa, Anggun Wibowo Saputra menjelaskan, berdasarkan proses terbentuknya, Gua Lidah Air tergolong pada kategori Gua Kapur (Limenstone) yakni gua yang terjadi di dalam daerah batuan kapur/limenstone, akibat dari pengikisan air terhadap batuan kapur di dalam tanah.

Gua kapur inilah yang menjadi obyek penelusuran dan ekspoitasi bagi pecinta alam atau penelitian yang tidak habis-habisnya oleh para ilmuwan. Hal ini disebabkan karena banyak daerah atau kawasan hunian yang berstruktur batuan kapur, sehingga gua-gua yang ada disekitarnya, bagaimana pun juga mempunyai pengaruh positif maupun negatif bagi masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.

Dari segi bentuk gua, Lidah Air tergolong pada Gua Horisontal yaitu Gua yang bentukan lorongnya relative mendatar, dalam artian dapat ditelusuri dengan teknik horizontal cave. Ornamen pada Gua Lidah Air ini cukup banyak diantaranya Stalaktit, Stalakmit, Column (pilar), Drapery/korden, Flowstone, Gourdam (kolam kecil), Helektite, Boulder, dan sebagainya.

Gua Lidah Air gua yang dari keaktifannya termasuk pada gua semi-aktif. Kondisi dalam gua sedikit lembab, dengan kondisi tanah yang sedikit kering. Mulut gua menghadap ke arah timur, yang secara teknis dapat memberikan akses cahaya matahari ke area dalam gua. Mulut Gua dengan lebar 3,8 M dan memiliki ketinggian 2,5 M dari permukaan tanah.

Gua ini memiliki 2 ruangan utama yang sangat luas. Bagian dalam goa memiliki panjang 7,7 m dan lebar 9 m dengan ketinggian kurang lebih 8 m. Jalan masuk menuju ruangan kedua sudah di pasang pintu teralis besi yang cukup kecil. Ruangan kedua ini lebih luas dari ruangan pertama dan juga terdapat banyak stalaktit dan stalagmit serta banyak kelelawar didalamnya.

Arkeolog dari BPCB Sumatera Barat, Dodi Chandra S. Hum, kepada Harianhaluan.com mengatakan, pada saat mulai melakukan obervasi di mulut gua, terlihat pada dinding utara lukisan gua (gambar cadas) berwarna putih berbentuk manusia dengan gaya kangkang. Lukisan yang terlihat di dinding utara tersebut secara tidak langsung mengisyaratkan adanya lukisan lainnya di bagian ruangan gua. Setelah dilakukan pengecekkan terhadap seluruh bagian dalam gua ternyata benar adanya. Lukisan berwarna putih tersebut ternyata tersebar di semuan dinding gua, baik dinding utara, dinding selatan dan dinding barat.

Di bagian sebelah utara dinding goa ditemukan kurang lebih 53 buah lukisan yang berwarna putih dan berbentuk manusia kangkang, ada yang berbentuk sedang berlari, bentuk mengangkang dengan tangan ke bawah dan ada juga yang berbentuk mengangkang dengan posisi tangan sejajar dengan bahu, di dekat dinding sebelah utara ada pertemuan antara stalaktit dan stalakmit yang menyatu dan membentuk seperti sebuah pilar.

Kemudian di dinding sebelah selatan ditemukann kurang lebih 14 buah lukisan yang berwarna putih dan berbentuk manusia kangkang. Selain itu, ditemukan pula lukisan gua yang berwarna hitam. Secara kronologi warna hitam memiliki umur yang lebih tua bila dibandingkan dengan warna putih. Lukisan yang berwarna hitam yang masih terlihat berjumlah 5 buah, yang salah satu bentuk yang cukup unik berbentuk manusia yang sedang menunggangi hewan.

Temuan lukisan gua warna hitam memang sangat jarang, karena selama ini temuan lebih pada lukisan yang berwarna putih seperti yang sebelumnya telah ditemukan di Ngalau Tompok (Situmbuk), dan juga Batu Basurek (Lintau Buo).

Dodi juga mengatakan, keberadaan lukisan gua di Gua Lidah Air ini cukup menarik, karena ada hal yang baru yang ditemukan yaitu lukisan berwarna hitam yang selama ini belum pernah ditemukan di gua-gua yang ada di Sumatera Barat. “Penemuan ini sangat menarik dan langka,” ujar Dodi.

Mengingat hal itu, Bapak Nurmatias (Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat) menambahkan perlu adanya survei lanjutan terhadap potensi-potensi gua yang di Lima Puluh Kota khususnya Nagari Tungkar.

“Kami tim dari BPCB Sumbar akan melakukan observasi lanjutan nantinya,” tambahnya lagi.

Karena dari lanskap perbukitan kapurnya memperlihatkan banyak potensi gua/ceruk di Perbukitan Kojai tersebut. Kemudian perlu dilakukan sosialisasi dan diskusi dengan pemilik lahan, pihak nagari, masyarakat lokal dan juga pemangku kebijakan lainnya untuk bersama-sama ikut terlibat dan berperan aktif dalam upaya Pelestarian Cagar Budaya yang ada. Karena untuk kasus Gua Lidah Air yang notabenenya sudah diteliti oleh beberapa peneliti mulai dari Eugene Francois Thomas Dubois yang selama 6 bulan berada di goa tersebut, Dubois menemukan fosil-fosil. Tapi, tidak ditemukan kerangka utuh.

Ia juga menjelaskan, kemudian tahun 1948 seorang pelancong Belanda bernama Dirk Albert Hooijer meneliti kembali fosil-fosil temuan Dubois di Sumatera, terutama fosil berbentuk gigi. Dirk Albert Hooijer mengidentifikasi fosil gigi yang ditemukan Dubois di Gua Lida Ajer mirip dengan gigi manusia modern, tapi, Hooijer tidak berani memastikan. Sejak itu banyak dugaan muncul. Penelitian pun berlanjut hingga tahun 2000-an yang puncak tahun 2017 dengan penelitian yang dipimpin oleh Kira Westaway dari Macquarie University Sydney yang sudah memastikan misteri temuan fosil gigi yang selama ini masih mengundang banyak interpretasi dan spekulasi antara ilmuan.

Mengenai lukisan pada dinding Gua Lidah Air pada penelitian sebelumnya belum pernah dilaporkan. Hasil survei belum dipastikan umur dari lukisan tersebut, namun kemungkinan lukisan warna putih yang ada di Gua Lidah Air memiliki keterkaitan dengan temuan di Ngalau Tompok dan Batu Basure. Namun, perlu penelitian mendalam dan komprehensif dan multidisipliner untuk mengungkap lebih jauh mengenai lukisan-lukisan warna putih dan hitam yang berada di gua yang dahulunya juga difungsikan sebagai hunian ribuan tahun yang lalu.

Sumber : harianhaluan.com/lukisanmanusiakangkang