BPCB Sumbar Gandeng MSI Gelar Seminar Sejarah

Laporan: Dafriansyah Putra (Staf Pokja Pengembangan dan Pemanfaatan BPCB Sumbar)

 

Sabtu (29/10) telah digelar seminar “Penulisan Sejarah Minangkabau dan Masalah Penulisannya”. Kegiatan yang diselenggarakan di Benteng  Van der Capellen yang juga difungsikan sebagai Kantor Dinas Budparpora Kabupaten Tanah Datar ini menghadirkan empat narasumber: Drs. Nurmatias (Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), Dr. Wannofri Samry, M. Hum (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sumatera Barat), Dr. Nopriyasman, M. Hum (Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya dan Pascasarjana Universitas Andalas, Padang) dan Dra. Midawati, M. Hum (Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya dan Pascasarjana Universitas Andalas, Padang)

Kegatan ini merupakan agenda yang diusung Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat bekerjasama dengan Pemeritah Daerah Tanah Datar, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sumatera Barat. Selain menghadirkan siswa dan guru, kegiatan ini juga dihadiri tokoh masyarakat dan peminat sejarah di Kabupaten Tanah Datar.

Midawati dalam makalahnya: Sistem Nasab Ibu dan Keusahawanan dalam Budaya Minangkabau di Sumatera Barat mengutarakan bahwa cara hidup, prinsip dan dinamika kehidupan orang Minangkabau sebagaimana perjalanan sejarah kerap dijadikan falsafah dalam bentuk petatah dan petitih. Misal cara orang Minang menghargai waktu dalam mempersiapkan diri: katiko ado jan dimakan, lah indak ado baru dimakan/ duduak marauik ranjau, tagak maninjau jarak. Ditambahkannya, fenimisme perempuan Minangkabau tidak hanya dalam bentuk merawat rumah tangga namun juga bekerja dalam keseharian: tenun, kerajinan tangan, sulamanan, dll.

“Sehingga tampak hingga kini, terdapat ratusan industri rumah tangga di Sumatera Barat dan semua melibatkan peran perempuan di dalamnya. Dari masa kolonial pun hingga kini, para pelaku pedagangan di pekan didominasi kaum perempuan.” Ujarnya.

Dilanjutkan, Nopriyasman pada kesempatannya mendedah makalah bertajuk Menakar Validitas Sejarah: Kondisional Golongan Geneologis Istana Pagaruyung di Sumatera Barat. Diyakininya, betapa penting validitas sejarah dalam mengantisipasi adanya pemaksaan kehendak yang menjadi pijakan dalam mengangkat sejarah; adanya faktor kadar subjektifitas di dalamnya. Sebab pada dasarnya, sejarah yang yang dianggap negatif justru bisa menjadikan kita dewasa, namun sejarah positif jika ditampilkan tidak baik justru menjadi negatif. Ia menegaskan, perlu adanya kebijaksanaan dalam mempelajari sejarah agar terjadinya netralitas sejarah. Dalam paparannya, ia mengetengahkan dari sudut pandang historis terhadap fenomena geneologis Kerajaan Pagaruyung yang kerap menjadi wacana publik.

Di sesi lain, Nurmatias mengangkat tema Sejarah Minangkabau Perspektif Arkeologis. Ia menegaskan bahwa tambo yang awalnya dituturkan dari mulut ke mulut tentunya akan dipengaruhi oleh distorsi informasi. Maka, atas sejarah turun-temurun tersebut perlu dilakukan kajian terkait data dan fakta. Di akhir penyampaiannya, pria asal Pariaman ini mengetengahkan, seiring dengan perkembangan zaman, terkait dengan paradigma generasi muda terhadap sejarah, maka perlu adanya informasi terbaru yang sesuai dengan kejelasan sejarah. Hal tersebut dapat dijawab dengan bukti dari berbagai tinggalan arkeologis.

Wannofri Samry dalam kesempatannya, membahas Sejarah Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah. Ia menyatakan tidak ada satu dokumen pun yang menyatakan kesepakan Bukit Marapalam tersebut. Dalam pada itu, akan menjadi sebuah tantangan bahwa Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) tidak sekadar platform, tapi terwujud dalam kebudayaan Minangkabau. Dalam tanggapan peserta, bahasan ABS-SBK ini pun kerap diangkat. diharapkan ABS-SBK tidak sebatas wacana, namun perlu diinternalisasi dan diimplementasikan.

image003