Oleh Merry Kurnia

Indonesia menempuh perjuangan panjang untuk lepas dari penjajahan yang menghinakan dan menyakitkan, dalam catatan sejarah Sumatera Barat sangat masif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia ataupun dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia bahkan negeri ini pernah menjadi PDRI Indonesia pada masa agrei militer belanda 2. Pusat pemerintahan tersebut dijalankan di  sebuah nagari yang jauh di pedalaman Sumatera Barat, PDRI berusaha terus memompa jantung Republik Indonesia untuk terus berdetak. Nagari Bidar Alam secara geografis masuk dalam kecamatan Sangir Jujuan Kabupeten Solok Selatan.

Kemerdekaan indonesia yang sudah diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 ternyata bukan merupakan titik akhir perjuangan Rakyat Indonesia. Kejatuhan jepang akan sekutu kembali mambawa Belanda ke bumi pertiwi ini, Belanda yang belum rela melepas zamrud katulistiwa ke kemerdekaannya membonceng sekutu dan berusaha untuk mengambil alih kembali kekuasaaanya. Keadaan ini kembali membuka pintu perang antara kedua belah pihak,  masyarakat indonesia dengan jiwa nasionalisme mempertahankan kemerdekaan republik indonesia sampai titik penghabisan.

Perundingan demi perundingan yang digelar tidak membuahkan hasil yang memuaskan, Indonesia selalu menjadi pihak yang dirugikan. Perundingan linggar jati yang dilakukan pada tahun 1946 dilanggar oleh Belanda dengan melakukan agresi militer keji terhadap Bangsa Indonesia, agresi militer 1, dengan ribuan pasukan belanda berusaha kembali mengambil alih sentra perkebunan pertambangan serta pelabuhan. Pengingkaran akan perundingan linggar jati membawa Bangsa Indonesia pada perundingan ke perundingan renvile, hasil perundingan ini semakin mempersempit wilayah Republik Indonesia.

Belanda yang tidak pernah rela kehilangan jajahannya yang kaya kembali melakukan agresi militer ke  bulan Desember 1948, memborbardir pusat pemerintahan, agresi militer ini bukan hanya di menyerang  Yogyakarta namun hampir seluruh wilayah Indoneisa, termasuk  sumatera barat yang kala itu  menjadi ibukota provinsi Sumatera Tengah(Sumbar, Jambi dan Riau) Belanda kemudian menawan presiden dan wakil  presiden berserta pejabat pemerintah lainnya kemudian diasingkan ke Bangka

Amuk perang dahsyat terjadi dimana-mana, dibawah dentuman bom dan desingan peluru persdien dan wakil presiden memberikan mandat kepada Syafroedin Prawiranegara yang telah ditempatkan di Bukitnggi untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera. Mandat tersebut berbunyi;

“ Kami Presiden Republik Indonesia memberitakan pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi  Belanda telah memulai serangannya atas ibu kota Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi. Kami menguasakan kepada Syafroedin Prawiranegara  Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera”.

mendengar kabar ibu kota Yogyakarta sudah diduduki Belanda dan presiden beserta wakil persiden dan pejabat lainnya telah ditawan Belanda. Amir Syarifudin dan Republiken lainnya segera membentuk pemerintahan indonesia. Embrionya terbentuk  di Buktitinggi tanggal 19 Desember 1948 saat Belanda melakukan serangan besar-besaran ke Bukittingi, memborbardir tempat startegis dan menembaki angkutan umum yang berisikan masyarakat sipil. Amir syrifudin dan republiken lainnya berpacu dengan waktu menuju Halaban, 22 Desember bertempat di Halaban PDRI resmi dibnetuk setelah dilakukan musyarawah bersama.

Belanda terus melakukan serangan, membunuhi para pejuang dan mencari PDRI untuk dihancurkan, meskipun Ibukota telah diduduki namun denyut nadi pemerintahan RI masih berdenyut dibawah kepemimpinan Syafroedin Prawiranegara. Untuk menjalankan PDRI  romobngan mencari tempat yang aman dan tidak diketahui belanda, rombongan kemudian bergerak ke Kampar namun Pekan Baru ternyata sudah diduduki belanda, mereka akhirnya memutar arah menuju Taluak Kuantan terus ke Sungai Dareh. Berbagai macam penderitaan mereka rasakan diperjalanan mulai penat yang tidak terperi, kehilangan harta benda dan tidak lepas dari ancaman serangan belanda. Hasil rapat di Sungai Dareh,  Bidar Alam dipilih sebagai tempat paling aman untuk menjalankan PDRI karena wilayahnya cukup terpencil dan pihak belanda tidak mungkin bisa memasukinya.

Perjuangan menuju Bidar Alam dengan medan yang sulit dan dibawah ancaman pesawat tempur belanda bukanlah hal yang mudah. Rombongan kemudian dibagi menjadi dua kelompok,  rombongan Syafrodein menempuh jalur sungai sedangkan Moh Hasan menempuh jalur darat. Dua jalur yang akan mereka lewati sangat berbahaya, sungai dengan melawan arus yang deras, melewati jalur darat mereka harus menembus rimba belantara dengan segala penghuninya. Bulan Desember yang lembab karena musim hujan menambah sulit perjalanan. Arus sungai menjadi semakin ganas, karena sangat membahayakan rombonga Syarifoedin beralih melintasi jalan darat berjalan di kampung-kampung  sepanjang sungai. Penat badan tak lagi dirasai, nyawa dipertaruhkan untuk pertiwi tercinta, perjalanan menuju Bidar Alam seperti penderitaan yang terkisahkan. Tanggal 7 januari 1949 rombongan Syfroedin akhirnya sampai di Abai Sangir, tiga minggu kemudian tanggal 24 Januari 1949 rombongan melanjutkan perjalanan ke Bidar Alam yang berjarak 12 km dari Sangir, karena harus menembus hutan belantara jarak yang singkat tersebut makan waktu sehari penuh. (Amrin Imran)  

Di Bidar Alam, jantung pemerintahan kembali di pompa agar denyut nadinya tetap berdenyut. Rakyat Bidar Alam menerima mereka dengan penuh kebanggan dan kegembiraan , mereka mau mengorbankan apa saja Republik Indoensia, tidak ternilai batuan moral dan materil yang mereka terima. Nasionalisme indonesia tumbuh subur di nagari terpencil ini, hubungan yang akrab terjalin antara masyarakat dan pemimpin PDRI. Radio menjadi sarana  penghubung PDRI menjalankan pemerintahana ataupun terhubung dengan republiken lainnya.

Rombongan PDRI tinggal di rumah penduduk, slaah satu rumah yang ditinggali oleh Syafroedin Prawiranegara dan tempat berlangsungnya sidang kabinet PDRI masih tegak berdiri sampai saat ini, rumah tersebut mempunyai memori kolektif yang kuat mengenai perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaannya.

Rumah tersebut mempunyai atap gonjong sebanyak lima buah dan mempunyai bilik/ruang depan serta dilengkapi dengan dapur. Rumah gadang tersebut mempunyai lantai panggung setinggi sekitar 1 m dengan ukuran panjang 10 m dan lebar 7 m. Rumah gadang ini terbagi atas beberapa ruangan, yaitu ruang depan yang berukuran 3,2 m x 3,2 m dengan sebuah anak tangga berada di sisi kanan atau sisi selatan ruang depan. Ruang depan mempunyai jendela kaca sejumlah 8 buah berada di sisi kanan, kiri, dan depan. Ruang utama merupakan bagian terbesar dan terluas dengan ukuran panjang 10 m dan lebar 7 m. Ruangan tersebut membujur ke arah utara- selatan dengan tiga buah ruang berjajar. Ruang utama disangga oleh 16 buah tiang utama berdiameter 50 cm. Atap rumah terbuat dari bahan seng dengan jumlah gonjong 5 buah, 4 buah membujur utara-selatan, sedangkan yang satu berada di bagian ruang depan menghadap ke jalan. (https://situsbudaya.id/rumah-pdri-bidar-alam-solok-selatan/)

Bidar Alam adalah salah satu tonggak penting dalam sejarah perjuangan Indonesia, namun sayangnya generasi muda ataupun masyarakat luas yang memegang estefet perjuangan selanjutnya sepertinya kehilangan potongan sejarah tersebut, banyak dari mereka yang tidak mengetahui bahwasanya pusat pemerintahan yang sekarang berada di Jakarta pernah berpindah tempat ke pedalaman Sumatera. Begitu pentingnya nagari Bidar Alam dan semua hal yang menjadi saksi dari peristiwa bersejarah tersebut, Rumah yang pernah ditinggali para kabinet PDRI menjadi saksi dari rapat-rapat sibuk anggota kabinet dan berbaurnya pejabat negara dengan masyarakat tanpa sekat.