oleh: Aulia Rahman, S.Hum

Daerah yang ada awalnya hanya pemukiman yang sepi disulap oleh Belanda menjadi Kota sehingga gairah pemerintahan, dan segala administrasi kolonial berlangsung di kota yang diciptakan oleh Belanda. Kondisi ini juga menciptakan urbanisasi. Kawasan ‘pusat kota’, bisa ditafsirkan bermacam- macam. Ada yang menyebut dengan istilah ‘urban center’ atau ‘urban core’. Ada yang menganggap pusat kota sebagai ‘central business district’’. Ada pula yang menyebut pusat kota sebagai kawasan kompleks pemerintahan atau ‘civic center’. Istilah ‘pusat kota’, menimbulkan adanya kawasan yang disebut sebagai ‘pinggiran kota’.[1]

Secara  karakteristik  kota  ada  beberapa  pembagian.  Pertama,  Dari aspek morfologi, antara kota dan pedesaan terdapat perbedaan bentuk fisik, seperti cara membangun bangunan-bangunan tempat tinggal yang berjejal dan mencakar langit (tinggi) dan serba kokoh. Kedua, Dari aspek penduduk. Secara praktis jumlah penduduk ini dapat dipakai ukuran yang tepat untuk menyebut kota atau desa, meskipun juga tidak terlepas dari kelemahan –kelemahan. Kriteria jumlah penduduk ini dapat secara mutlak atau dalam arti relatif yakni kepadatan penduduk dalam suatu wilayah. Ketiga, Dari aspek sosial, gejala kota dapat dilihat dari hubungan-hubungan sosial (social interrelation dan social interaction) di antara penduduk warga kota, yakni yang bersifat kosmopolitan. Keempat, Dari aspek ekonomi, gejala kota dapat dilihat dari cara hidup warga kota yakni bukan dari bidang pertanian atau agraria sebagai mata pencaharian pokoknya, tetapi  dari  bidang-bidang lain  dari  segi  produksi atau jasa. Kota berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi, perdagangan industri, dan kegiatan pemerintahan serta jasa-jasa pelayanan lain. Ciri yang khas suatu kota ialah adanya pasar, pedagang dan pusat perdagangan.

Secara   administratif   Sumatera   Barat   dijadikan   sebagai   sebuah residensi. Penguasa tertinggi ditempatkan residen pertama Edward Cooles (1795-1796).[2] Sesuai penjanjian London tahun 13 Agustus 1814, Inggris mengembalikan Indonesia ke Belanda dan pertukarannya Inggris mendapatkan Pulau  Tumasik  (Singapura). Pada  tanggal  22  Mei  1819  merupakan tanggal resmi penyerahan maka sejak itu Indonesia di bawah pemerintahan Belanda. Sejak  diumumkan  Plakat  Panjang  25  Oktober  1833  oleh  Komisaris Pemerintahan   (Van   Sevenhoven   dan   Jenderal   Mayor   Riesz)   atas   nama komisaris Jenderal  Van  Den  Bosch  menjadi titik  balik  pemerintahan Hindia Belanda di Sumatera Barat. Van den Bosch memerintahkan kepada Van Sevenhoven untuk mendirikan pemerintahan dengan sebaik – baiknya kalau perlu mengerahkan semua pejabat yang ada.[3]

Munculnya kota-kota modern di sumatera barat tidak dapat dilepaskan dari campur tangan Pemerintah Hindia Belanda dalam penataan Pemerintahan setelah berhasil memenangkan perang Paderi. Kemenangan belanda dalam perang paderi memberikan manfaat lebih. Hindia belanda mampu masuh pada strutur pemerintahan yang telah ada di Minangkabau. Penataan Pemerinhaan ini membagi Sumatera Westkust menjadi 2 yaitu daerah Pesisir dan daerah Pedalaman. Padangsche Bovenlanden atau Padang Dataran Tinggi alias daerah Darek atau pedalaman Minangkabau tepatnya di Kota Batusangkar yaitu Benteng van der Capellen atau disebut juga Fort van der Capellen. Belanda juga merombak sistem pembagian wilayah. Tujuannya untuk memudahkan pengontrolan terhadap  masyarakat. Pada  akhir  abad  ke-19  Sumatera  Barat terdiri dari 3 residence : Tapanuli, Padangsche Benerdelanden (pesisir), Padangsche Bovenlanden (pedalaman). Benerdelanden mempunyai 4 kabupaten terdiri dari Air Bangis, Rao, Pariaman, Padang dan Painan), Bovenlanden terdiri dari 4 kabupaten juga antara lain Lima Puluh Kota, Agam, Tanah Datar, dan XIII serta IX-Koto). Kemudian sejak tahun 1906 Sumatera Barat dijadikan menjadi satu residensi terlepas dari residensi Tapanuli. Belanda membagi menjadi 8 kabupaten (afdeeling). Kabupaten Tanah  Datar  dengan  4  Ondeeafdeeling yaitu  Sawahlunto (Kecamatan Sawahlunto), Fork Van Der Capellen (Kecamatan Batusangkar  dan  Pariangan),  Sijunjung  (Kecamatan  Sijunjung  dan Buo),  dan  Onderafdeeling Batang  Hari  (Kecamatan Batang Hari  dan Koto Besar).[4]

Kota Batusangkar sendiri dijadikan sebagai pusat ibukota dari Padangsche Bovenlanden atau Padang Dataran Tinggi. Hal ini juga tidak lepas dari kontrol pemerintah Hindia Belanda terhadap gerakan-gerakan paderi. Nyatanya, Pembangungan Bentenng ini menjadi titik awal dari kemunculan Batusangkar sebagai kota Kolonial. Jika dilihat dari peta Batusangkar berasal dari nama bukit yang ada di sekrang ini disekitran Guguk katitiran Terminal lama.

Peta Batusangkar Tahun 1893.[5]

Jika melihat dari sumber ini tentunya nama Kota batusangkar berasar dari sama bukit, akan tetapi ini perlu dipertimbangkan dan dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, penamaan benteng dan nama batusangkar sendiri sering kali disebut oleh Belanda untuk rute rute perjalanan. Sedangkan Fort Van Der Capellen nama lain Kota Batusangkar pada Masa Kolonial Belanda. Penamaan Kota Batusangkar dengan nama Benteng Van Der Capellen dari nama Mr. Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen penguasa Hindia Belanda pertama yang memerintah di Hindia setelah dikuasai oleh Kerajaan Inggris selama beberapa tahun. Van der Capellen, memerintah antara tanggal 19 Agustus 1816 – 1 Januari 1826. Ia merupakan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-41.

Benteng van der Capellen dibangun Belanda di Batusangkar pada tahun 1822. Benteng didirikan di atas dataran yang cukup tinggi dan dibangun atas perintah Kolonel Raff. Awalnya benteng hanya berupa kumpulan bambu dan kayu yang di dalamnya ditegakkan bangsal-bangsal yang juga dari bambu. Kemudian di dalam benteng juga dibangun tangsi tentara dan gudang perbekalan..[6] Belanda kemudian membangun kompleks bangunan yang cukup kokoh di dalam benteng. Kompleks bangunan mulai didirikan di dalam benteng. Dalam perjalanannya benteng van der Capellen merupakan tempat yang cukup strategis bagi Belanda dalam memantau aktifitas pribumi terutama dalam situasi perang. Posisinya yang berada di ketinggian, membuat kolonial bisa melihat gerak-gerik lawannya dan sebagai tempat bertahan ketika adanya serangan dari pihak lawan ketika masa perang yaitu ketika Perang Paderi. Selain sebagai tempat pertahanan dan barak tentara, benteng van der Capellen nantinya dijadikan tempat pemerintahan sipil oleh Belanda. Dalam bentuk pemerintahan sipil, benteng juga dijadikan pusat perkantoran dan juga sebagai nama wilayah yang nantinya menjadi sebuah ibukota pemerintahan yang diberi nama Fort van der Capellen.Fort van der Capellenselainsebagaibentengpertahananjugadijadikanibukota District Minangkabau pada tahun 1823 dan ibukota Afdeeling Darek (Afdeeling Padangsche Bovenlanden) pada tahun 1825.[7]

Awalnya benteng hanya berupa kumpulan bambu dan kayu yang di dalamnya ditegakkan bangsal-bangsal yang juga dari bambu. Kemudian di dalam benteng juga dibangun tangsi tentara dan gudang perbekalan.[8] Benteng dikelilingi pagar yang tinggi. Hal ini bertujuan untuk bertahan dari serangan kaum Paderi dan dari benteng inilah kolonial mulai menata pemerintahan militer dan sipilnya di Batusangkar. Setelah kondisi cukup stabil (Perang Paderi yang mulai mereda), Belanda kemudian membangun kompleks bangunan yang cukup kokoh di dalam benteng. Kompleks bangunan mulai didirikan di dalam benteng. Mulai dari beberapa ruang yang memiliki fungsi yang berbeda-beda. Pertama, bangunan depan yang berupa gerbang benteng yang di halamannya terdapat dua buah meriam. Di bangunan depan ini tidak hanya berupa gerbang tetapi juga terdapat tiga buah ruangan di sebelah kanan dan kiri gerbang serta empat ruangan di bagian belakang yang berfungi sebagai sel tahanan atau penjara. Belanda juga menempatkan satu orang sipir untuk menjaga para tahanan. Sipir ini berasal dari orang pribumi yang juga digaji oleh Belanda sebesar f 25 (dua puluh lima gulden) perbulan.[9]

 

[1] Terutama setelah pelaksanaan undang-undang Desentralisasi pada th. 1905, dimana beberapa kota di Indonesia ditetapkan sebagai gemeente (kota madya) yang mempunyai pemerintahan administrasi sendiri dan dikepalai oleh seorang walikota.

[2] Gusti  Asnan,  Pemerintahan  Sumatera  Barat  Dari  VOC  Hingga  Reformasi, (Yogyakarta : Citra pustaka, 2006) hlm 29- 30

[3] Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta : Sinar Harapan,1985, hlm 11-15

[4] Rusli Amran, ibid, hlm 193-203

[5] opgenomen in 1887-1892 Author/creator  Topografisch Bureau (Batavia) Shelfmark Seltevreden (Batavia) : Reproductiebedrijf Topografische Dienst, 1930. Sumatra. 1:20.000Sumatra : 1:20.000 https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/816203?solr_nav%5Bid%5D=09a42639d6293c3bb52e&solr_nav%5Bpage%5D=0&solr_nav%5Boffset%5D=8

[6]MuhamadRadjab, op.cit, hlm.64.

[7]GustiAsnan, Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC hinggaReformasi,(Yogyakarta: Citra Pustaka, 2006),hlm. 37-38. AfdeelingDarek yang berpusat di Fort van der Capellenmencakupwilayahkawasan Tanah Datar, Agamdan Lima Puluh Kota.

[8]MuhamadRadjab, op.cit, hlm.64.

[9]Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1876 No. 37.