Secara umum tentara Jepang masuk ke Indonesia (Hindia Belanda) dengan mengalahkan penguasa terdahulunya yakni Belanda. Kekalahan Belanda ini secara de facto diakui dengan ditandatanganinya penyerahan tanpa syarat Hindia Belanda oleh Letjen. H. Ter Poorten kepada wakil Jepang Letjen. Hitoshi Immamura di Kalijati pada tanggal 8 maret 1942.

Kapitulasi tentara Sekutu yang diumumkan oleh Ter Poorten berarti berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda dan mulainya pemerintahan Jepang. Bila Belanda menjadikan Indonesia sebagai satu kesatuan pemerintahan sipil, maka sesuai dengan sifat dan beban tugasnya, maka tentara pendudukan Jepang membagi Indonesia menjadi dua pemerintahan militer pendudukan. Kedua pemerintahan itu sejalan dengan kekuatan yang memegang kekuasaan terhadap daerah tersebut, yakni Angkatan Darat (Riku-Gun) dan Angkatan Laut (Kai-Gun). Dua angkatan itu, khususnya Angkatan Darat juga membagi wilayah kekuasaannya menjadi dua “unit pemerintahan”. Akibatnya di bekas jajahan Belanda ini terdapat tiga “unit pemerintahan”. Tiga unit atau bentuk pemerintahan yang secara efektif mulai berlaku pada bulan maret 1943 itu adalah tindaklanjut dari penataan administratif yang dilakukan setelah mengingat arti ekonomis dan geo-politis kawasan Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya (sebelumnya Sumatera misalnya digabungkan dengan Singapura).[1]

Tentara Jepang membagi wilayah administratif Indonesia dibawah pemerintahan militer yang masing-masing antara lain: Pulau Jawa dibawah Tentara ke-16 (angkatan darat), Pulau Sumatera di bawah pengawasan Tentara ke 25,[2] dan bagian timur, Sulawesi, Kalimantan, Maluku di bawah pengawasan Angkatan Laut II (armada selatan kedua).

Pada awalnya, Pulau Sumatera berada dalam pengawasan Tentara ke-25 yang berpusat di Singapura yang juga meliputi Malaya. Pada perkembangan selanjutnya, arah peperangan sejak awal tahun 1943 tidak menguntungkan bagi pihak Jepang. Diberbagai front Pasifik, tentara Jepang mulai terdesak dan inisiatif serangan berada di pihak Sekutu.[3] Bangkitnya kembali Sekutu dari kekalahan sebelumnya, telah memaksa Komando Tentara Ekspedisi Jepang untuk “Kawasan Selatan” untuk mengubah titik perhatian utama kebijakannya dari konsolidasi kekuasaan di daerah-daerah yang baru didudukinya ke strategi defensif terhadap kemungkinan serangan balik tentara Sekutu.[4]

Pertimbangan-pertimbangan ini telah menyebabkan Tentara ke 25 memindahkan markas besarnya ke Bukittinggi pada tanggal 1 mei 1943, manakala pemerintahan Sumatera dan Malaya diperbaharui. Sejak itu, Sumatera merupakan unit pemerintahan yang berdiri sendiri, yang diperintah oleh Tentara ke 25.[5] Kota Bukittingi yang berada dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat pernah menjadi markas besar bagi tentara ke-25 kekaisaran Jepang karena dianggap memiliki letak geografis dan kepentingan militer yang strategis.

Dalam kerangka kerja umum Jepang, Sumatera Barat itu sendiri tidaklah penting dari sudut prioritas ekonomi Jepang, tetapi ia mempunyai arti yang amat strategis. Pada mulanya daerah ini hanya sebagai rute utama yang diperkirakan akan digunakan untuk menyelusupkan agen-agen mereka ke Sumatera. Namun sejak pertengahan 1943, Sumatera menjadi semakin penting manakala Jepang memperkirakan bahwa serangan balik pasukan Sekutu  terhadap daerah-daerah pantai barat Sumatera dan pulau-pulau di sekitarnya akan dilancarkan via Andaman dan Pulau Nikobar.[6]

Sejak pertengahan 1943 rencana strategis Jepang mengantisipasi serangan balasan Sekutudari Ceylon melalui Kepulauan Andaman dan Nikobar dan dalam mempertahankan Sumatera terpumpun ke daerah sekitar pantai barat, terutama pantai barat laut dan di Pulau Nias dan Sabang. Divisi ke-4 ditempatkan di Padang, baik untuk melawan serangan dari barat maupun unit pasukan cadangan untuk utara Sumatera. Brigade ke-25 di Tapanuli menempatkan sepertiga pasukannya di Pulau Nias dan pasukannya yang cukup tangguh juga dikirim ke Mentawai.[7]

Sebagai pendukung rencana defensif dan pertahanan pantai barat Pulau Sumatera oleh tentara Jepang, maka diberbagai wilayah Sumatera Barat khususnya telah dibangun berbagai macam fasilitas pertahanan. Fasilitas pertahanan tersebut meliputi, bunker, pillbox, battery, lubang perlindungan serta terowongan-terowongan.

foto hasil pencitraan satelit yang memperlihatkan Kota Padang yang berada di kawasan Pantai Barat Sumatera. Tanda panah menunjukan konsentrasi bangunan pertahanan Jepang dengan berbagai tipe.

(sumber: Google Earth)

 

Bangunan pertahanan yang berada di tepi pantai difungsikan untuk mengantisipasi infiltarasi (penyusupan) serta pendaratan pasukan Sekutu. Pada beberapa lokasi startegis[8] juga diperkuat dengan meriam-meriam pantai untuk penghadangan atau pendaratan amfibi[9] dan amtrac[10]. Secara umum bangunan-bangunan pertahanan yang tersebar di sepanjang garis pantai ini bertipe pillbox[11]. Selain itu di daerah Kepulauan Mentawai yang merupakan gugus depan pantai barat Sumatera, juga diperkuat tentara Jepang dengan pillbox, bunker[12] dll.[13]

 

Untuk pertahanan bangunan atau fasilitas militer strategis dalam kota, maka dibangun juga beberapa buah pillbox seperti yang terdapat di Landasan Angkatan Udara Padang (dahulu) lapangan udara tabing. Sedangkan untuk daerah pinggiran Kota Padang, yang memiliki kontur wilayah yang bergelombang dan perbukitan, tentara Jepang membangun berbagai macam jenis bangunan pertahanan yang meliputi bunker, pillbox, battery, lubang perlindungan dan terowongan dengan memanfaatkan kondisi geografis daerah setempat. Diperkirakan lubang/terowongan ini menembus perbukitan serta terhubung dengan bunker, pillbox lainnya.

 

Sebagai tenaga kerja dalam pembangunan semua fasilitas pertahahan tersebut, Jepang memperkerjakan pribumi dengan istilah romusha.  Hingga akhir maret 1943, kebutuhan Jepang akan tenaga kerja pribumi tidak terlampau berlebihan. Namun pada tanggal 31 mei 1943 di Tokyo diadakan sebuah konfrensi kekaisaran yang mengubah keadaan ini. Pada konfrensi itu diputuskan, mengingat jalannya peperangan Pasifik, untuk beralih dari strategi ofensif ke defensif.[14]

Seiring dengan terdesaknya tentara Jepang diberbagai front di Perang Pasifik, tentara Jepang mulai kekurangan kebutuhan perang terutama logistik dan sumber daya manusia. Jepang lantas menyiasatinya dengan melakukan mobilisasi dikalangan rakyat di negeri-negeri jajahan. Tentara Jepang menciduk orang-orang di negeri jajahan untuk dijadikan obyek yang membantu proyek-proyek pembangunan dan perawatan kebutuhan perang. Pada masa ini muncul istilah “Romusha” (prajurit kerja). Mereka antara lain dikirim sesuai kebutuhan pembangunan berbagai proyek, misalnya “jalur rel maut” Birma-Muangthai. Romusha juga disuruh membangun kubu pertahanan semisal bunker, gua dan benteng.[15] Selain itu, pada beberapa tempat pengerjaan bangunan pertahanan khususnya di Kota Padang juga dilakukan oleh anggota Gyugun.[16]

Setelah lebih dari 50 tahun, pada beberapa titik di Kota Padang masih dapat dijumpai tinggalan-tinggalan berupa bunker, pillbox, battery dan gua perlindungan/terowongan yang kondisinya masih asli tanpa perubahan. Walaupun wilayah pantai barat sumatera khususnya Padang jauh dari dahsyatnya Perang Pasifik, namun keberadaan bangunan-bangunan pertahahan ini merupakan saksi sejarah akan persiapan tentara Jepang dalam mempertahankan pantai barat Sumatera dari serangan Sekutu. Diperkirakan masih banyak terdapat tinggalan bangunan sejenis yang masih belum didata.

[1] Gusti Asnan. 2006. Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi. Yogyakarta: Citra Pustaka. Hal. 114.

[2] Pada tanggal 20 maret 1943 Sumatera berada  di bawah Departemen Pemerintahan Militer (Gunsei-bu) Tentara ke-25 di Singapura, yang selama tahun pertama pendudukan memerintah Sumatera dan Malaya. Shigetada Nihijima dan Kishi. Japanese Military Administration in Indonesia (Washington: JPRS, 1963), hal. 143. (dalam Audrey Kahin. Perjuangan Kemerdekaan, Sumatera Barat dalam Revolusi  Nasional Indonesia 1945-1950. Hal. 66.

[3] Pertempuran laut Midway yang terjadi pada tanggal 4-7 Juni 1942 antara Jepang dan Sekutu, merupakan titik balik dalam Perang Pasifik. Dalam peperangan ini armada laut Jepang mengalami kerugian yang sangat besar, dimana mereka kehilangan beberapa kapal induk dan kapal perangnya. Kerugian ini selanjutnya tidak dapat tergantikan, sehingga inisiatif serangan sesudahnya berada di pihak Sekutu.

[4] Aziz, M.A.1955. Japan’s Colonialism and Indonesia. The Hague: Nijhoff. Hal 160 (dalam Audrey Kahin. 1979. Perjuangan Kemerdekaan, Sumatera Barat dalam Revolusi  Nasional Indonesia 1945-1950.Hal 46)  

[5]  Dr. Audrey Kahin. 1979. Perjuangan Kemerdekaan, Sumatera Barat dalam Revolusi Nasional Indonesia 1945-1950.Disertasi Jurusan Sejarah. Cornell University, Ithaca, New York, Editor dan kata pengantar edisi terjemahan oleh  Dr. Mestika Zed. Diterbitkan oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sumatera Barat bekerjasama dengan ex. Tentara Pelajar Sumatera Tengah (CTP)/Pelajar Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia. Hal 46.

[6] Ibid. hal 47.

[7] Army Operation, hal 146, 231; Sya Shiraishi, “Aceh,” hal. 27; wawancara dengan Yuichi Sakamoto (Tokyo), 16 desember 1976. (dalam  Audrey Kahin. 1979. Perjuangan Kemerdekaan, Sumatera Barat dalam Revolusi  Nasional Indonesia 1945-1950. hal 70).

[8] Berdasarkan laporan survei tim  pendataan Cagar Budaya Kota Padang, BPCB Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau di sekitar pantai Kota Padang terdapat 2 buah meriam pantai yang masih dapat ditemukan yang masing-masing berada di Gunung padang/Bukit Siti Nurbaya dan di Bungus Teluk Kabung. Lihat laporan Tim Pendataan Cagar Budaya Kota Padang, BPCB Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau, tahun 2007 dan 2008, Hendra Bahar, SS dkk dan Rafki. R,SS dkk.

[9] Istilah militer pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) online. Ampibi adalah (1). benda yg dapat berfungsi di air dan di darat: tank-- , tank yg dapat berjalan di darat dan di atas permukaan air, (2). pesawat yg dapat lepas landas dan mendarat, baik di darat maupun di air. Sedangkan dalam teknis operasi militer, berdasarkan Situs http://id.termwiki.com/ID/amphibious_operation, operasi ampibi adalah Sebuah operasi militer yang diluncurkan dari laut dengan kekuatan amfibi, memulai di kapal atau perahu dengan tujuan utama memperkenalkan kekuatan pendaratan ke darat untuk mencapai misi yang ditetapkan.

[10] Berdasarkan definsi kamus DictionaryOxford yang diakses pada situs http://www.oxforddictionaries.com/ms/definisi/bahasa-inggeris-amerika/amtrac. Amtrac adalah sejenis kendaraan amfibi yang digunakan mendaratkan tentara yang meyerang pantai dan lazim digunakan pada Perang Dunia Kedua.

[11]  bangunan pertahanan yang separuh berada di atas permukaan tanah dan separuhnya lagi berada dalam tanah tempat meletakan senjata mesin, meriam dll. Biasanya bangunan berbahan beton dan semen  dengan beragam jenis dan bentuk.

[12] sejenis bangunan pertahanan militer. Bunker biasanya dibangun di bawah tanah. Banyak bunker dibangun pada Perang Dunia I dan II. Dalam masa Perang Dingin, bunker-bunker besar dibangun untuk mengantisipasi kemungkinan perang nuklir.

[13]  Lihat Laporan Tim Pendataan Cagar Budaya Kab. Kepulauan Mentawai. BPCB Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau. Tahun 2013. Ahmad Kusasi dkk.

[14] Lambert Giebels. 2001. Soekarno, Biografi 1901-1950. PT. Grasindo. Jakarta. Alih bahasa: I. Kapitan-Oen B.A. Hal 308.

[15] Nando Baskara. 2008. Kamikaze, aksi bunuh diri “terhormat” para pilot Jepang. Narasi: Yogyakarta. hal 34.

[16] Pengalaman Ismael lengah pada saat menjelang kekalahan Jepang khususnya di Kota Padang. Pada saat itu sebahagian teman-temannya dari Gyugun , seperti Letnan Dua Ahmad Hussein dan anak buahnya  masih bertugas membuat lobang pertahanan meriam di dekat pantai Ulak Karang. Dr. Mestika Zed, M.A. Drs. Emizal Amri, M.Pd. M.Si, Drs. Edmihardi, M.Hum. 2002. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan 1945-1949 di kota Padang dan Sekitarnya. Padang: Citra Budaya. Hal 50.