Batusangkar, (Antara Sumbar) – Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batusangkar, Sumatera Barat, melakukan kajian pengembangan terhadap kawasan Pariangan yang dinilai menjadi poin penting dalam menelusuri sejarah Minangkabau.
Ketua Tim Teknis Kajian Pengembangan Kawasan Pariangan BPCB Batusangkar, Azwar di Pariangan, Rabu mengatakan yang menjadi objek kajian kali ini adalah beberapa tinggalan cagar budaya yang ada di sekitar kawasan Masjid Ishlah.
“Berdasarkan kajian tahun lalu, kawasan sekitar Masjid Ishlah merupakan salah satu poin penting untuk menggali sejarah daerah Pariangan, hal tersebut mengacu pada tinggalan-tinggalan yang ada,” katanya.

Masjid Ishlah Pariangan Tanah Datar, Sumatera Barat, serta beberapa bangunan surau di sekitarnya. (Antara Sumbar/Syahrul Rahmat/17)

Ia menyebutkan, berdasarkan Undang-undang Cagar Budaya No 11 Tahun 2010, terdapat tiga langkah pengembangan yang digunakan untuk mengkaji tinggalan cagar budaya.
Langkah pertama ialah adaptasi, dalam tahap ini pihaknya akan mengadapatasi fungsi bangunan lama agar dapat dimanfaatkan, perubahan pada tahap ini dilakukan secara secara terbatas yang di dalamnya terdapat proses pemugaran serta rehabilitasi.
Selanjutnya adalah revitalisasi, yaitu menghidupkan kembali kawasan yang selama ini mati tanpa merusak nilai keaslian, baik itu nilai keaslian objek maupun kawasan.
“Langkah terakhir dari pengembangan ini adalah penelitian. Pada kawasan ini penelitian akan diarahkan pada sejarah Pariangan, hal tersebut dilakukan untuk merangkai sejarah Minangkabau atau Pariangan berdasarkan tinggalan-tinggalan yang ada,” katanya.
Menurut dia, hingga saat ini terdapat tiga surau yang sudah dikaji dan selanjutnya akan dikembangkan, ketiga surau tersebut ialah Surau Panarian, Surau Gadang kepunyaan Angku Bandaro, serta Surau Maharajo Dirajo atau Surau Banyak.
“Surau-surau ini dipilih karena berdasarkan foto-foto Belanda ketiganya terlihat begitu mencolok,” ujarnya.
Ia menambahkan nantinya kajian pengembangan ini akan disajikan kepada Bupati Tanah Datar untuk dapat ditindak lanjuti oleh pihak atau instansi terkait.
Sementara itu pakar Semiotika atau Ilmu Tanda yang pernah menjadi tenaga pengajar di Universitas Negeri Padang (UNP) dan Universitas Bung Hatta (UBH) Sumbar, Nas Bahri mengatakan peninggalan masa lalu harus dikaji dengan sudut pandang manusia saat itu.
“Ketika menafsirkan suatu peninggalan, maka harus disesuaikan dengan sudut pandang manusia saat itu agar tidak terjadi keasalahan dalam penafsiran,” katanya. (*)