Balai Kota Padang
Oleh: Nurmatias
Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat
Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau

Ketika kita pergi belanja ke Pasar Raya Padang, kita menemukan sebuah bangunan pemerintah yang begitu megah.  Sebelum ada mall bangunan Balai Kota ini menjadi landmark kota Padang. Keagungan dan kemegahan gedung ini berangsur-angsur sirna akibat perkembangan kota Padang dengan bermunculan gedung tinggi ditambah kebijakan Pemerintah Kota Padang memindahkan kantor Walikota ke jalan By Pass di timur Kota Padang. Melihat arsitek bangunan Balaikota menyiratkan kewibawaan, kesejahteraan dan tingginya ilmu pengetahuan bangsa Belanda.

Melihat perkembangan kota pada awal abad 20, aktivitas Pemerintah Kota Pradja (Padang) pada tahun 1906 terfokus hanya pada satu ruangan  yaitu di Kantor Asisten Residen (Kawasan Muaro Padang). Kapasitas ruangan tersebut tidak memadai sedangkan kegiatan para abdi masyarakat pada saat itu sangat banyak sehingga timbul keinginan para anggota dewan untuk membangun suatu gedung Balaikota (gemeente) yang lebih representatif. Pembahasan para anggota dewan perwakilan rakyat tentang pembangunan gedung balaikota terus bergulir. Kesepakatan untuk membangun gedung balaikota akhirnya muncul pada tahun 1910. Kebutuhan untuk membuat sebuah kantor baru sangat dimungkin karena Padang menjadi pusat perdagangan dan industri Belanda. Kebijakan pemerintan Belanda waktu itu mengarahkan perkembangan kota ke arah utara Muaro  sekitar jalan Moh. Yamin dan Jalan Sudirman (Belantung). Namun setelah dilakukan penghitungan anggaran biaya maka pembangunan dapat dilaksanakan dengan anggaran sekitar 16.000 golden. Tingginya anggaran biaya bangunan gedung balaikota yang tidak tertampung pada alokasi keuangan Pemerintah Kota Pradja membuat rencana pembangunan tersebut tertunda. Pada tahun 1917, keinginan untuk membangun gedung balaikota kembali muncul. Pemerintah Kota Praja berencana membeli sebidang tanah untuk Kantor Balaikota dan Pasar Raya, namun rencana ini kembali gagal karena keterbatasan dana anggaran.

Tahun 1928, Pemerintah Kota Praja pindah dari kantor Asisten Residen karena  kondisi gedung yang sudah tidak layak pakai. Untuk sementara Pemerintah Kota Praja menyewa sebuah kantor di Sungai Bongweg atau yang saat ini berlokasi di sekitar jalan Imam Bonjol disamping Masjid Nurul Iman. Pertengahan tahun 1928 Kota Padang mengalami depresi yang berimbas kepada turunnya harga tanah. Kesempatan ini dijadikan sebagai motor penggerak untuk merealisasikan pembangunan gedung balai kota. akhirnya kesepakatan terwujud dan kawasan untuk pembangunan gedung sudah siap untuk dikerjakan. agar kualitas bangunan cukup representatif maka pada saat itu para anggota dewan mengundang T.H. Karsten seorang ahli tata kota untuk perencanaan gedung tersebut. Pada tahun 1936, Gedung Balaikota atau Gemeete selesai dibangun dan siap untuk ditempati. Semula wajah kota Padang terletak disepanjang sungai Batang Arau. Dengan kebutuhan dan pengembangan kota maka perkembangan kota diarahkan ke Jalan Belantung (Sudirman) dan Jl, Mohammad Yamin sekarang .

Pada dekade 1980 kita bisa melihat sebuah tata perkotaan yang apik di Kota Padang. Pemerintah Belanda membuat kawasan Balai Kota Padang ini dengan sarana dan prasana kota. Balai kota sebagai sentral kota dengan didukung oleh Pasar, Kebun Binatang dan lapangan sepakbola (alun-alun). Masyarakat Padang pada masa itu menjadikan Balaikota sebagai tempat pertemuan atau sarana rekreasi. Sarana rekreasi tidak sebanyak sekarang tapi dengan kita ke kawasan Balaikota. Masyarakat bisa menikmati kebun binatang, pasar dan alun-alun sebagai tempat bersilaturahmi.

Arsitektur kolonial memberikan bentuk bangunan yang megah dan harmonisasi dengan  alam  karena bahan dasar dan ornamen yang ada berbentuk arsitektur klasik dengan mengangkat arsitektur klasik eropa zaman romawi dan yunani. Ornamen-ornamen bangunan mereka gali dari ciri-ciri bangunan zaman romawi dan yunani, seperti mengutamakan pilar-pilar Ionic. Doric dan Tuscan. Gedung Balaikota berdinding permanen dengan lantai ubin dan genteng. Secara keseluruhan memperlihatkan ciri bagunan arsitektur kolonial dengan gaya art-deco. Ini ditandai dengan bentuk ventilasi, jendela, dan dinding yang memiliki ornamen. Di sudut bangunan yang berbentuk siku terdapat sebuah menara segi empat yang di ketiga sisinya yang terlihat terdapat masing-masing sebuah jam dinding.

Pada sudut barat daya terdapat sebuah bangunan menara yang pada ketiga sisinya terdapat jam dinding. Jendela pada dinding lantai atas berderet secara vertical sehingga memberikan kesan bangunan tinggi. Pintu masuk berada di sayap selatan bangunan. Bangunan ini terdiri dari dua lantai dan dilengkapi dengan jendela berventilasi di sekeliling-nya. Pada dasar lantai bawah sisi selatan di buat menjorok kedepan sehingga membagi bangunan menjadi dua bagian dengan pintu menuju ke teras lantai atas. Secara keseluruhan bangunan ini belum mengalami perombakan yang mengubah bentuk dasar dan arsitektur bangunan. Perombakan hanya di bagian dalam untuk menambah jumlah ruangan.

Pasca gempa kerusakan dari keseluruhan bangunan ini mencapai 30% meliputi kerusakan bagian tangga sebesar, bagian kolom, dinding pecah dan retak.  Semua kerusakan tersebut sebagain besar telah diperbaiki. Kerusakan pada tangga dan kolom telah diperbaiki, tinggal retak-retak pada dinding yang belum diperbaiki. Semenjak gempa 2009 pemerintah Kota Padang mulai memindahkan pusat kotanya ke sebelah timur Padang. Semenjak itu kemasyuran Balaikota Padang mulai sirna meskipun ada keinginan Pemerintah kota menjadikan Museum dan kebijakan ini belum terrealisasi.