Oleh : Merlina Agustina Orllanda, S.S ‎

Kemolekan tanah air berkat gugusan pulau nan indah plus kekayaan bahari menjadikannya ‎ratu yang diperebutkan para kolonialis. Melimpahnya hasil alam, khususnya tanaman tropis ‎seperti rempah menarik bangsa pelancong seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan ‎Perancis untuk singgah mendirikan koloni di bumi yang disebutkan Mahapatih Gajah Mada ‎sebagai Nusantara tersebut (Saringendyanti, 2009:3).‎


Diantara penjelajah samudra yang disebutkan tadi, maka Belanda adalah aktor penjajahan ‎yang paling kenyang atas Indonesia. Secara rill, Belanda berperan dibalik berdirinya ‎organisasi VOC (Veregnigde Oost Indische Compagnie) pada tanggal 20 Maret 1602 yang ‎dibubarkan tahun 1799. Beralih dari masa VOC (Veregnigde Oost Indische Compagnie), ‎bangsa tanah rendah itu pun mulai memimpin Pemerintahan Hindia Belanda. Berdasarkan ‎riwayat tersebut lahirlah julukan “Nederlandsch-Indie” (Hindia Belanda) yang berarti ‎‎“Hindia Milik Belanda” (Kedutaan Besar Republik Indonesia Den Haag, 2002:3) ‎‎(Saringendyanti, 2009:2).‎
Pasca runtuhnya VOC, maka prioritas masa Hindia Belanda adalah motif ekonomi untuk ‎segera mengembalikan kejayaan negeri induknya. Keadaan tertindas Bangsa Indonesia di ‎bawah otoritas Belanda berlangsung dalam durasi yang cukup lama bagi ukuran menjajah. ‎Hal itu dibenarkan karena maraknya pemberitaan terkait keterbelakangan pribumi dalam ‎beberapa media tulisan (Kartordirdjo, 1992: 101).‎


Kenyataan pahit akhirnya melecut antusiame intelegensia muda untuk mengikuti perubahan ‎zaman dan meningkatkan taraf kehidupan. Benak- benak perjuangan semakin menggebu ‎tatkala gagasan Emansipasi RA Kartini tersebar luas sehingga melahirkan cendekiawan yang ‎ingin meraih kesempatan dalam menempuh pendidikan (Kartordirdjo, 1992: 101).‎
Angan-angan golongan muda mendapat angin segar berkat hadirnya Politik Ethis dalam ‎rezim kolonial. Perhatian terhadap dunia pendidikan saat itu merupakan salah satu pemicu ‎terciptanya kemerdekaan Indonesia. Dalam hal ini perkembangan pendidikan barat telah ‎memberi peluang anak pribumi untuk belajar ke negeri Belanda. Sepulang menuntut ilmu dari ‎negeri penjajah, maka lahirlah benih-benih nasionalisme. Para intelektual muda mulai ‎menerapkan cara berpikir barat yang lebih maju. Hal itu terwujud lewat berdirinya berbagai ‎organisasi pergerakan yang kemudian hari akan memperjuangkan aspirasi rakyat dalam ‎mencapai kemerdekaan. Organisasi tersebut diantaranya Budi Utomo, Sarekat Islam, ‎Perhimpunan Indonesia, Partai Nasional Indonesia dan sebagainya. Dengan demikian ketika ‎Bangsa Indonesia tengah berhadapan pada kancah politik, maka ide pemikiran Ethis ‎menjadi salah satu penyebab lahirnya anak bangsa yang menentukan arah dan nasib bangsa ‎serta mencapai tujuan-tujuan yang dahulu diimpikan (Ricklefs : 1998).‎


Di antara organisasi yang disebutkan tadi, maka Budi Utomo adalah organisasi modern ‎pertama di tanah air sehingga dapat dikatakan sebagai promotor organisasi yang bersifat ‎nasional. Organisasi ini didirikan oleh dr. Sutomo beserta pelajar dari Stovia (School tot ‎Opleiding van Inlandsche Artsen) di Kwitang. Tercetusnya wadah perkumpulan pelajar ‎dalam Budi Utomo berkat gagasan Dokter Wahidin Sudirohusodo yang dikemukakannya ‎pada Sutomo. Dokter Wahidin memiliki keinginan untuk meningkatkan martabat rakyat dan ‎bangsa. Di kala itu Dokter Wahidin Sudirohusodo merasakan diskriminasi antara pribumi ‎dan Belanda dalam seluruh aspek kehidupan. Sebagai golongan terpelajar yang dermawan, ‎maka Dokter Wahidin mengumpulkan dana beasiswa bagi anak-anak pribumi yang memiliki ‎bakat besar. Dalam hal ini ia sempat keliling Jawa untuk memobilisasi kekuatan sosial dan ‎merealisasikan idealismenya (Kartordirdjo, 1992:100).‎


Nama organisasi Budi Utomo diadopsi dari bahasa Sansekerta “Budhi” yang berarti ‎keterbukaan jiwa, pikiran dan akal. Tokoh yang mengusulkan nama Budi Utomo ialah ‎‎“Soeradji” salah seorang pelajar Stovia yang fasih berbahasa Jawa sehingga menjadi ‎perantara antara pelajar dan bumiputra yang hanya mampu berbahasa Jawa. Budi Utomo ‎bertujuan meningkatkan pertanian, peternakan, perdagangan, industri, pendidikan dan ‎kebudayaan. Dari cita-cita itu, fokus utama perkumpulan para terpelajar ini ialah menciptakan ‎persatuan bumiputra yang bersifat umum dan dapat menjadi pelopor dalam menerbitkan ‎pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat (Kartordidrjo, 1992: 102). ‎


Pada proses pembentukannya 20 Mei 1908 berlangsung sangat sederhana karena hanya ‎berupa rapat siswa di sebuah ruang kelas. Adapun tokoh yang hadir saat itu Sutomo, ‎Gunawan Mangunkusumo, Gondo Suwarno, Moh. Sulaiman, RA Projosudirdjo, R. Mas ‎Goembrek, Moh Shaleh, Suraji Tirtonegoro dan Suwarno. Tidak ada aktivitas yang radikal ‎revolusioner dalam tujuannya sehingga organisasi ini dimaknai sebagai asosiasi modern yang ‎menjadi tonggak pergerakan kebangsaan. Dari Budi Utomo abad XIX dan XX ditandai ‎sebagai periode kebangkitan bangsa karena di masa itu Indonesia telah berhasil mencapai ‎perkembangan (Kartordidrjo, 1992: 102) (Burger, 1956:283).‎


Budi Utomo dipimpin oleh dr. Sutomo. Organisasi ini terdiri atas anggota dari golongan ‎priyayi profesional dan kaum terpelajar. Adapun tokoh-tokoh dari kalangan aristokrasi dalam ‎kepemimpinan Budi Utomo, antara lain R.A Tirtokusumo, P. Ario Notodirjo dan R.A Suryo ‎Suparto. Selanjutnya dari kelompok terpelajar ada Gunawan Mangungkusumo (berperan ‎sebagai motivator dan sekretaris organisasi). Selain itu terdapat kaum inteligensia tradisional ‎seperti Dokter Radjiman Widyodiningrat (Dokter Keraton Surakarta) dan tipe inteligensia ‎progresif Dokter Cipto Mangunkusumo (Dokter asal Semarang yang bekerja di Demak) ‎‎(Kartordirdjo, 1992:103).‎


Budi Utomo adalah wujud kesadaran generasi cerdas yang menyadari bahwa nasib bangsa ‎ada di tangan mereka. Oleh sebab itu, Budi Utomo berpartisipasi dalam kegiatan politik ‎Hindia Belanda. Organisasi ini senantiasa mengirimkan delegasi demi mencapai ‎kemerdekaan. Hal itu yang membuat salah satu Pahlawan Proklamator “Bapak Mohamad ‎Hatta” menyebut organisasi ini sebagai “Kecambah Semangat Nasional”. Di samping itu, ‎Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) yang tengah dalam tahanan lewat tulisannya ‎dalam Nederlandsch-Indie Oud & Niew terbitan tahun ketiga (1918-1919), menyatakan 20 ‎Mei sebagai Indisch Nationale Dag (Hari Kebangkitan Nasional).‎


Menyadari arti penting keberadaan Budi Utomo, maka untuk pertama kalinya pada 20 Mei ‎‎1948 di Yogyakarta, Presiden Soekarno menetapkan Hari Lahir Budi Utomo sebagai Hari ‎Kebangkitan nasional yang setiap tahun berikutnya diperingati. Budi Utomo memiliki andil ‎dalam sejarah pergerakan nasional karena telah membuka jalan organisasi lain untuk ‎mencapai kebangsaan Indonesia yang merdeka dan berdaulat.


Kisah sejarah dan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam Budi Utomo wajib untuk ‎disosialisasikan para tenaga pendidik di sekolah dan orang tua generasi muda. Hal itu agar ‎keturunan asli Indonesia dapat menghargai sejarah perjuangan bangsanya, mampu ‎menghargai arti kemerdekaan, serta memiliki mentalitas dan daya juang yang tinggi dalam ‎menghadapi setiap tantangan kehidupan.‎


Berkaca dari masa lalu hendaknya semangat yang ada dalam Budi Utomo dapat senantiasa ‎dipertahankan dan menjadi senjata bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan dan rasa ‎malas dalam memajukan bangsa. Jadi jangan hanya sekedar diperingati sebagai Hari Nasional ‎setiap tahunnya, tapi segera direalisasikan makna didalamnya. Anak-anak muda Indonesia ‎yang diharapkan memiliki semangat belajar dan bangkit terhadap hal-hal positif untuk ‎mencapai kemajuan di tengah berbagai pandemic. Itulah arti kebangkitan nasional yang ‎sesungguhnya.‎


DAFTAR PUSTAKA
Kartordirdjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru (Sejarah Pergerakan ‎Nasional). Jilid 2. Jakarta : Gramedia ‎
Ricklefs.1998. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. ‎
Saringendyanti, Etty dan Wan Irama Puar. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia. ‎Jakarta : Visi Media.‎
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag. 2000. VOC di Kepulauan Indonesia ‎‎(berdagang dan menjajah). Jakarta ; Balai Pustaka. ‎
‎ ‎