Zonasi Benteng Sorawolio dan Benteng Baadia Kabupaten Bau-Bau Sulawesi Tenggara

Benteng Sorawolio 1
Benteng Sorawolio 1

Zonasi cagar budaya menjadi langkah yang strategis untuk memberikan perlindungan secara langsung terhadap cagar budaya maupun lingkungannya. Menelusuri fakta di lapangan saat ini memperlihatkan masih banyaknya cagar budaya yang belum memiliki zonasi, padahal di satu sisi cagar budaya memilki nilai penting sekaligus tingkat keterancaman yang tinggi. Di Kota Bau-Bau terdapat beberapa tinggalan arkeologi seperti Benteng Keraton Buton yang merupakan ikon pariwisata Kota Bau-Bau (sudah dizonasi tahun 2012), namun masih banyak tinggalan arkeologi lainnya misalnya Benteng Sorawolio1, Benteng Sorawolio 2, Benteng Baadia, Istana (kamali) Baadia, Masjid Quba Baadia, Kompleks Makam beberapa Sultan Buton dan bak penampungan air bersih tinggalan kolonial, merupakan contoh kasus cagar budaya dengan karakteristik memiliki keterancaman yang cukup signifikan, oleh karena itu sangat  perlu melakukan zonasi sebagai langkah antisipasi maupun sebagai upaya meminimalisir kesalahan penanganan dan pengelolaannya kedepan.

Jika kita menoleh pada data sejarah, mengenai Benteng Sorawolio 1, Sorawolio 2 dan Benteng Baadia yang difungsikan sebagai benteng pengawal dari benteng induk Benteng Keraton Buton tentunya interval pembangunannya tidak akan berbeda jauh yakni sekitar abad ke-16 hingga abad ke-17 yang pembangunannya dilaksanakan langsung oleh masyarakat Buton. Dalam Naskah Sejarah Darul Fii Butun itidak menyebutkan kapan dimulainya pembangunan Benteng Sorawolio1, Sorawolio 2 dan Benteng Baadia, namun disebutkan tentang pembangunan Benteng Keraton Buton yakni pada masa pemerintahan Sultan Buton IV, Sultan La Elangi yang bergelar Dayanu Ikhsanuddin yang memerintah tahun 1597-1631 M, yang kemudian diselesaikan pada masa pemerintahan Sultan Buton VI, Sultan La Buke yang bergelar Gafur Wadudu yang memerintah tahun 1632-1645 M (Zahari, 1974).

Benteng Sorawolio 2 tampak dari luar
Benteng Sorawolio 2 tampak dari luar

Fakta lapangan menunjukan bahwa penyebutan terhadap nama Benteng Sorawolio 1 dan Sorawolio 2, ternyata sesungguhnya adalah sebuah kompleks benteng yang terdiri atas tiga bilik yakni dua bilik yang berfungsi sebagai tempat pertahanan dan satu bilik sebagai tempat permukiman yang disatukan oleh pagar berupa struktur benteng buatan dan benteng alam (bukan susunan binaan) di sebelah barat, sementara pada jarak yang berdekatan dengan Benteng Baadia terdapat, Istana (Kamali), Masjid Kuba Kompleks Makam dan bak penampungan air bersih tinggalan kolonial. Kondisi seluruh situs yang dimaksud saat  ini menunjukan keprihatinan dikarenakan merebaknya permukiman masyarakat yang tampak sudah memasuki area antara kedua benteng tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka sudah seharusnya dilakukan tindakan dan langkah-langkah yang dapat menjamin pelestarian situs-situs tersebut demi kepentingan dimasa mendatang, sehingga diperlukan suatu kajian zonasi pada masing-masing kawasan untuk mengatur peruntukan maupun fungsi lahan yang mengarah pada pelestarian tinggalan budaya secara baik dan benar meliputi budaya tangible maupun intangible.

Seiring berkembangnya waktu Kawasan Benteng Sorawolio yang pada awal pembahasan ini disebut Benteng Sorawolio 1 dan 2, tidak lagi berfungsi sebagai tempat pertahanan, logistik dan permukiman masyarakat Kesultanan Buton, maka secara perlahan-lahan berubah menjadi lahan kosong yang sama sekali tidak lagi menjadi perhatian, baik pemerintah maupun masyarakat Buton. Riwayat pelestarian situs ini dimulai ketika Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar pada tahun 1993 melakukan pendataan potensi benda cagar budaya Provinsi Sulawesi Tenggara mencantumkan nama Benteng Sorawolio dalam laporannya, Lain halnya dengan pelestarian istana atau Kamali Baadia dan Masjid Kuba yang senantiasa terpelihara sebagai cagar budaya living monument.

Kondisi terkini pada situs Kawasan Benteng Sorawolio cukup memprihatinkan dimana terdapat pembangunan rumah pada area zona inti bahkan ada indikasi pengrusakan dinding benteng dan pengalih fungsian lahan yakni penempatan alat berat (ekskavator) yang mengarah pada pelanggaran undang-undang cagar budaya, padahal oleh pihak Pemerintah Daerah sudah mengeluarkan Perda No 8 Tahun 2003 tentang pelarangan membangun perumahan pada jarak 100 meter dari dinding benteng.

Benteng Baadia
Benteng Baadia

Kalau kita  mengamati kondisi lapangan yang terjadi saat ini, tidak lain penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan/pemahaman masyarakat terhadap pelestarian cagar budaya. Masyarakat terutama yang bermukim pada kawasan cagar budaya merasa terusik jika ada kegiatan pemerintah yang hendak melakukan penataan, mereka mengira pihak pemerintah akan mengambil alih hak kepemilikan yang tentunya berdampak pada kerugian/kemelaratan dengan tidak memiliki lahan tempat tinggal dan perkebunan termasuk tempat pemakaman. Disisi lain merupakan ancaman bahkan bencana bagi cagar budaya jika kegiatan masyarakat tidak  terkendali yang mana permukiman semakin mendesak masuk dalam kawasan, bahkan sudah ada fondasi bangunan permanen diantara kedua benteng tersebut, kemudian terjadi perubahan fungsian lahan dari lahan perkebunan menjadi tempat alat berat (ekskavator) yang pasti akan memberikan efek negatif seperti getaran. Kegiatan lain berupa pengambilan materian menyusun dinding benteng, pemberlakuan pemakaman baru pada lokasi makam tua, pemugaran dan penambahan bangunan yang tidak mengikuti kaidah pelestarian adalah hal-hal yang yang menjadi konflik berkepanjangan dan sulit diselesaikan. Hal-hal inilah yang semestinya diatur sebijaksana mungkin agar pihak-pihak yang merasa memiliki tidak saling bentrok kepentingan demikian pula dengan cagar budaya dapat tetap lestari sesuai amanat undang-undang.

Kegiatan zonasi dapat menjadi acuan bagi pengelolaan cagar budaya terutama untuk meminimalisir kesalahan dimasa mendatang oleh karena itu data dukung mulai dari kondisi cagar budayanya sendiri, maupun masyarakat sekitar  baik secara mikro maupun makro, ancaman secara internal maupun eksternal bentang alam, klimatologi serta interpretasi yang dapat menurunkan kandungan nilai sejarah dan ilmu pengetahuan terhadap cagar budaya dapat diantisipasi secara dini.

Berdasarkan Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, maka maksud kegiatan zonasi adalah untuk mengumpulkan data  dalam rangka menentukan batas-batasruang pelindungan terhadap cagar budaya termasuk fungsi keruangan dengan tujuan:

  1. Menjamin pelindungan terhadap Benteng Sorawolio,Istana (Kamali) Baadia, Masjid Quba, Kompleks Makam Muhammad Isa Kaimuddin, Benteng Baadia, Makam Sultan dan Bak penampungan air bersih tinggalan Kolonial Belanda termasuk tinggalan budaya non bendawi yang ada di dalam dan di luarnya, serta nilai-nilai penting yang dikandungnya.
  2. Memberikan panduan untuk perencanaan pelestariannya, baik dalam bentuk pelindungan, pengembangan, maupun pemanfaatan situs terutama dalam kaitan dengan aspek keruangannya.
  3. Merumuskan rambu-rambu dalam rangka penataan ruang di dalam situs maupun di lingkungan situs yang merupakan bagian pelindungannya.
  4. Mengatur kepadatan penduduk dan intensitas kegiatan, serta keseimbangan dan keserasian peruntukan lahan dan ruang.
  5. Mencegah kesemrawutan, menyediakan pelayanan umum yang memadai serta meningkatkan kualitas hidup, dan meminimalkan dampak pembangunan yang dapat merugikan aspek pelestarian.
  6. Memudahkan pengambilan keputusan secara sepihak dalam kaitannya antara masyarakat pendukung dengan kepentingan pelestaraian cagar budaya.

Ruang lingkup kegiatan  zonasi ini akan meliputi kegiatan pengumpulan data, berupa sintesa data dan penentuan zona. Sebagai hasil akhir dari  kegiatan ini adalah terbentuknya peta zonasi yang dilengkapi deskripsi  untuk mengatur zona-zona pelindungan cagar budaya pada  6 cagar budaya yang meliputi zona inti, zona penyangga, zona pengembangan dan zona penunjang dengan batas-batas  peruntukannya, serta ketentuan yang boleh dan tidak boleh diberlakukan pada tiap-tiap zona.

Khusus nomor 1 dan 2 disatukan dalam satu zona, meskipun dalam database   Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar dipisahkan menjadi 2 nomor inventaris seperti yang tertera di atas. Alasan penyatuannya adalah berdasarkan batas asli menunjukan satu kesatuan dimana terdapat dua bilik berfungsi sebagai benteng pertahanan sekaligus  pembatas yakni Benteng Sorawolio 1  di sisi   utara dan Benteng Sorawolio 2 di sisi selatan sedangkan bilik bagian tengah atau antara kedua benteng tersebut berfungsi sebagai tempat permukiman masyarakat yang sisi sebelah barat ditandai dengan pagar memanjang menyerupai struktur benteng yang menyambungkan kedua benteng pertahanan, sedangkan di sisi timur terdapat pembatas berupa jurang yang curam.

Konsep Zonasi

Secara ringkas konsep zonasi cagar budaya adalah penataan ruang untuk mengakomodir berbagai kepentingan yang berorientasi pada pelestarian cagar budaya.Pada dasarnya zonasi diadakan untuk menindaklanjuti kegiatan pelestarian terhadap cagar budaya dan kawasannnya, agar dalam pengelolaannya dapat berdampak pada pemanfaatan dan pengembangan yang berwawasan pelestarian.Pada tahapan pemanfaatan ini, zonasi berperan membatasi perlakuan terhadap cagar budaya dan lingkungannya. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Muhammad Said (2000) bahwa zonasi merupakan upaya yang dilakukan untuk melindungi dan mengatur peruntukan lahan agar tidak terganggu oleh kepentingan lain yang terjadi disekitarnya. Peruntukan lahan inilah yang diatur dalam bentuk zona-zona tersendiri yang memiliki fungsi berbeda.  Oleh karena itu pembagian peruntukan lahan dikenal dengan istilah zonasi. Adapun peruntukan lahan dibagi dalam beberapa zona, yaitu:zona inti, zona penyangga, zona pengembangan dan zona penunjang.

Zona situs kemudian dikenal dengan zona inti yang merupakan bagian terpenting dari cagar budaya dan bagian-bagian ada di dalamnya, yaitu lahan yang ditentukan mengikuti batas-batas situs serta sebaran tinggalan budayanya. Zona pengamanan selanjutnya dikenal dengan zona penyangga yaitu lahan yang melindungi zona inti, batas-batasnya ditentukan berdasarkan kebutuhan ruang untuk melindungi zona inti dari ancaman yang dapat merusak kelestarian situs.Sedangkan zona pemanfaatan digunakan sebagai zona konservasi dan kehidupan budaya tradisional. Adapunzona penunjang adalah sejumlah luas lahan yang disiapkan untuk berbagai kegiatan pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya dan lingkungannya berupa pembangunan sarana dan prasarna untuk kepentingan komersial pengembangan yang berfungsi untuk mengendalikan areal/pembangunan di areal tersebut yang berguna untuk pelindungan dalam kerangka pelestarian situs cagar budaya.

Dalam tahapan upaya pelestarian sumberdaya budaya, zonasi cagar budaya merupakan salah satu tahapan peting dalam upaya pelestarian yang khususnya terkait dengan pelindungan hukum dan penetapan cagar budaya.Pelindungan hukum dan penetapan merupakan upaya pelestarian cagar budaya dengan peraturan perundang-undangan sehingga terhindar dari kerusakan akibat tindakan atau perbuatan manusia.Peraturan ini pula yang kemudian menjadi dasar formal untuk memperlakukan cagar budaya secara legal dan berketetapan hukum. Hal inilah yang melatarbelakangi disyahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa pelestarian merupakan upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan. Adapun pelindungan merupakan upaya untuk mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran atau kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran Cagar Budaya. Lebih lanjut dijelaskan mengena zonasi sebagai penentuan  batas-batas keruangan situs cagar budaya dan kawasan cagar budaya sesuai dengan kebutuhan. Penjelasan lebih lengkap tentang zonasi cagar budaya dituangkan dalam pasal 72 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yaitu:

  • Pelindungan Cagar Budaya dilakukan dengan menetapkan batas-batas keluasaannya dan pemanfaatan ruang melalui sistem Zonasi berdasarkan hasil kajian.
  • Sistem zonasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh:   1. Menteri apabila telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya nasional atau mencakup 2 (dua) provinsi atau lebih;   2. Gubernur apabila telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya provinsi atau mencakup 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih; atau, 3. Bupati/walikota sesuai dengan keluasan Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya di wilayah kabupaten/kota.
  • Pemanfaatan zona pada Cagar Budaya dapat dilakukan untuk tujuan rekreatif, edukatif, apresiatif, dan/atau religi.

Lebih lanjut disebutkan dalam pasal 73 ayat (1) Sistem Zonasi mengatur fungsi ruang pada Cagar Budaya, baik vertikal maupun horizontal, (2) Pengaturan Zonasi secara vertikal dapat dillakukan terhadap lingkungan alam di atas cagar budaya di darat dan atau di air. (3) Sistem Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas: zona inti, zona penyangga, zona pengembangan dan/atau zona penunjang. Penetapan luas, tata letak, dan fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan sistem zonasi terdapat dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pasal 73 Ayat (3) Huruf a, yang dimaksud dengan “zona inti” adalah area pelindungan utama untuk menjaga bagian terpenting Cagar Budaya. Huruf b yang dimaksud dengan “zona penyangga” adalah area yang melindungi zona inti.Huruf c yang dimaksud dengan “zona pengembangan” adalah area yang diperuntukan bagi pengembangan potensi cagar budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, dan kepariwisataan. Huruf d yang dimaksud dengan “zona penunjang” adalah area yang diperuntukan  bagi sarana dan prasarana penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum.

Hal senada juga tercantum dalam semangat Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 yang dijelaskan secara rinci dalam PP Nomor 10 Tahun 1993, Secara umum dalam penentuan batas-batas lahan terdapat dua bagian penting yaitu batas-batas situs dan batas-batas lingkungan situs. Pengertian ini mengakomodir kepentingan pembagian lahan pezonasian yang terdiri atas 3 bagian, yaitu Lahan (zona) Inti, Lahan Penyangga, dan Lahan pengembangan. Pada ayat (2) Pasal 23 Penjelasan PP Nomor 10 Tahun 1993 dijelaskan bahwa batas situs ditentukan berdasarkan batas aslinya sedangkan batas lingkungan ditentukan berdasarkan kebutuhan pengamanan ataupun pengembangannya.

Selanjutnya pengertian penzonasian yang tercantum dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993, khususnya Pasal 23 ayat (3) menyebutkan bahwa sistem pezonasian (zoning) adalah penentuan wilayah zonasi situs dengan batas zonasi yang penentuannya disesuaikan dengan kebutuhan benda cagar budaya yang bersangkutan untuk tujuan pelindungan. Cakupan dari pezonasian ini terdiri atas zonasi inti yaitu lahan situs; zonasi penyangga yaitu lahan di sekitar situs yang berfungsi sebagai penyangga bagi kelestarian situs dan zonasi pengembangan yakni lahan disekitar zonasi penyangga atau zonasi inti yang dapat dikembangkan untuk difungsikan sebagai sarana sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian benda cagar budaya dan situsnya.

Hal yang berbeda dari kedua aturan hukum di atas adalah penambahan zona penunjang yang digunakan untuk mengakomodir kepentingan pengembangan dengan tujuan lebih ke arah komersial dengan tidak meninggalkan nuansa budaya lokal dan pelibatan berbagai pihak dalam pengelolaan, pemanfaatan dan pelestarian cagar budaya, untuk meningkatkan kesejahteraan masyakat.

Landasan yuridis mengenai zonasi cagar budaya ini kemudian diperkuat dengan kajian arkeologis yang menyandarkan pada metode penelitian ilmiah yang dilakukan  secara sistematis dan metodologis. Dalam hal ini, konsep zonasi dipahami sebagai perpaduan antara kajian keilmuan yang diselaraskan dengan perundang-undangan dan peraturan lain yang terkait, sehingga diharapkan zonasi cagar budaya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan secara yuridis formal.

Metode

Pelaksanaan zonasi di Kawasan Benteng Sorawolio, Kawasan Kamli Baadia, Kawasan Masjid Quba dan Situs Benteng Baadia merupakanupaya untuk memanfaatkan potensi sumberdaya budaya baik tangible maupun intangible dalam rangka menunjang perkembangan pariwisata yang berorientasi pada wisata budaya dan maritim. Berdasarkan maksud dan tujuan pelaksanaan kegiatan ini maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang mempengaruhi penetapan batas-batas dan peruntukan lahan situs dan lingkungannya. Sesuai ketentuan dalam UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya,  penentuan zonasi dilakukan berdasarkan hasilkajian. Karena itu, dalam rangka penentuan zonasi ketiga kawasan dan satu situs tersebut dilakukan   kajian terhadap berbagai informasi yang dapat  diperoleh terkait dengan cagar budaya tersebut. Sumber-sumber informasi yang digunakan dalam kajian ini adalah  peta lama, sumber kepustakaan (buku referensi sejarah), sumber sejarah lokal, laporan penelitian, peta baru untuk kondisi terkinii (existing condition), dan hasil pengamatan langsung di lapangan (lihat bagan alur).

Keseluruhan informasi yang diperoleh dikelompokkan dan disintesakan untuk mendapatkan informasi tentang data fisik ketiga kawasan dan satu situs yang dimaksud,  nilai penting situs, maupun keadaan lingkungan saat ini.  Ketiga jenis rangkuman data ini menjadi informasi dasar dalam menentukan  zona-zona yang dibutuhkan untuk pelestarian cagar budaya ini.  Tentu saja penentuan zonasi ini juga didasari  oleh prinsip-prinsip zonasi dan mempertimbangkan rencana pengembangan dan pemanfaatan. Dengan memadukan berbagai aspek tersebut akan diperoleh zonasi dengan ketentuan yang diberlakukan di dalam setiap zona.

Secara teknis masalah yang dihadapi dalam menyusun sistem pezonasian  dalam kegiatan ini adalah masalah karakter situs, keletakan situs dan penamaan situsnya.Karakter situs dari ketiga kawasan dan satu situs tersebut mengacu pada fakta lapangan memperlihatkan situs pemukiman, pertahanan keamanan, spritual, dan sosial kemasyarakatan yang kompleks sebagai refleksi jejak benteng pertahanan abad ke 16-17, istana Sultan Buton Mulai dari Sultan ke-29 sampai dengan Sultan Ke-38 dan jejak kepedulian Kolonial Belanda membuat bak air (hydran) dimasa lalu. Seiring perkembangan detail kawasan ini terus berubah dan masyarakat masih memanfaatkannya sebagai area pemukiman dan perkebunan sehingga cagar budaya tersebut dapat dikatagorikan sebagai living tradition. Oleh karena itu, dalam kajian zonasi ini perlu dipertimbangkan kepentingan masyarakat yang bermukim dalam Benteng Sorawolio, Kamali, Baadia, Masjid Quba dan Situs Benteng Baadia.

Aspek lain yang juga berperan penting yaitu keletakan situs dimana faktor ini dari berbagai aspek sangat mempengaruhi bentuk dan hasil zonasi. Sebagaimana karakter situs, faktor ini pula mempengaruhi besarnya ancaman yang dihadapi cagar budaya dan juga situsnya. Berbagai sudut pandang keletakan yang memegang peranan antara lain; keletakan dari sudut aksesibilitas, tata guna lahan, geotopografi, visibilitas dan lain-lain.

Menyinggung tentang sejarah cagar budaya yang menjadi objek kajian zonasi ini yakni 1. Benteng Sorawolio; tidak terlepas dari sejarah Kesultanan Buton. Bahwa pendirian benteng Sorawolio dibangun oleh La Sumunggu adalah cucu dari Sultan Buton IV La Elang (Dayan Ikhsanuddin), kemudian disebutkan pada masa pemerintahan Sultan Buton yang ke-7 masa jabatan 1645-1646 bernama Saparagau mengangkat seorang pejabat (Lakina Sorawolio) di perkampungan Sorawolio yang dilengkapi dengan masjid dan syarat masjid terdiri dari imam,  khatibdan bilal serta benteng (Kotana Sorawolio) untuk menjamin keamanan (Zahari, 1977; hal 15). Pada halaman 127 menyebutkan peristiwa pada masa pemerintahan Sultan Buton XX dan XXIII  La Karambau Himayatuddin (Oputa Yi Koo) yang Pertama tahun 1851–1852 ketika terjadi penyerangan kompeni yang dipimpin oleh Rijweber maka Sultan La Karambau beserta keluarganya menyingkir dari keraton Buton/Wolio menuju ke Kampung Sorawolio (perlindungan sementara). Oleh karena itu meskipun judul tulisan ini bernama Benteng Sora Wolio 1 dan Benteng Sorawolio 2 kemudian oleh penulis menggatinya dengan nama Benteng Sorawolio untuk merangkum dua benteng pertahanan dan bekas kompleks pemukiman dan pemakam kuno  yang memang tidak dapat dipisahkan  baik secara fisik maupun administrasi. Selanjutnya sasaran ke 2. terhadap penamaan Kamali Baadia diperuntukkan bagi rumah kediaman Sultan sejak Sultan ke 29 Muhammad Idrus  (1824 – 1851) hingga sultan ke 38 Muhammad Falihi (1938 – 1960) sebagai sultan terakhir. Istana (kamali)  Baadia adalah istana yang didirikan di luar Benteng Keraton Buton yang dibangun oleh Sultan Muhammad Idrus sehingga beliau dijuluki dengan nama Mokobaadiana artinya sipemilik/siempunya kampung Baadia. Kondisi sekarang dalam kawasan ini telah berdiri 2 istana yang berfungsi sebagai pusat kebudayaan Buton. Sasaran ke 3) adalah masjid Quba, mencakup bangunan Masjid,  beberapa makam sultan dan pembesar kerajaan dan bak penampungan air bersih tinggalan kolonial. Sedangkan sasaran ke 4) adalah situs Benteng Baadia yang pendiriannya diperkirakan bersamaan dengan benteng Sorawolio 1 dan Sorawolio 2 Karena sama-sama diperuntukan sebagai benteng pengawal dari benteng induk Benteng Keraton Buton/Wolio yang letaknya di sebelah Selatan. Kondisi benteng ini sekarang dijadikan perkebunan oleh masyarakat, Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembahasan dalam tulisan ini berkembang dari menyoroti 3 buah benteng kemudian berkembang menjadi 2 Benteng, 1 Istana (Kamali Baadia), Masjid Quba, dan bak penampungan air.

Sebagaimana sebuah studi yang memerlukan urutan kerja yang jelas, maka zonasi ini secara garis besarnya mengikuti prosedur standar metodologi penelitian. Diawali dengan kegiatan pengumpulan data, baik pustaka maupun lapangan kemudian pengolahan dan interpretasi data. Alur ini pada perkembangannya akan disesuaikan dengan kepentingan teknis zonasi yang berhubungan erat dengan penataan ruang.

Kegiatan pengumpulan data diawali dengan penelusuran data pustaka.Langkah awal ini membantu untuk memberikan gambaran umum wilayah zonasi, termasuk data administrasi, geotopografi, ekonomi, sosial, budaya, fasilitas yang tersedia dan lain-lain. Secara khusus, dapat pula diperoleh informasi arkeologis tentang situs-situs yang akandizonasi.Selanjutnya adalah pengumpulan data secara langsung di lapangan, yaitu di kawasan Benteng Keraton Buton dan sekitarnya.Dalam tahap lapangan ini, dimulai dengan observasi secara langsung ke situs untuk memperoleh gambaran secara visual tentang situasi terakhir (exsisting condition). Informasi ini dapat berupa kondisi situs, keterawatan, sebaran temuan, potensi ancaman, ketersediaan lahan maupun potensi pengembangan dan pemanfaatan. Selain itu dapat pula memperdalam pemahaman tentang kondisi eksternal berupa apresiasi masyarakat terhadap obyek, kondisi sosial-ekonomi, sosial-budaya masyarkat sekitar, iklim, topografi, aturan-aturan yang terkait seperti perda, RTRW, RIPDA, aturan-aturan adat yang tertulis maupun yang tidak tertulis dan lain-lain yang akan dijadikan pertimbangan dalam penentuan masing-masing zona.

Pada tahap ini pula secara detail dapat diamati dan direkam tentang batas-batas situs secara arkeologis, setidaknya melalui pengamatan pada permukaan situs. Penggambaran dan pemetaandilakukan dengan mengadakan plotting terhadap temuan yang belum masuk dalam pemetaan tahun 1983-1984, yaitu pemetaan lahan pemugaran Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala Sulselra, berupa Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar 2210-61 edisi I-1992 skala 1:50.000. Selain mengadakan pembaharuan data terhadap kondisi terakhir dari 4 situs yang disebutkan di atas, diadakan pula pendokumentasian visual, untuk membantu merekam berbagai faktor yang memberikan pengaruh dalam menentukan kebijakan tata ruang lahan. Untuk melengkapi semua kegiatan tersebut, maka langkah yang terakhir adalah mengadakan wawancara kepada masyarakat disekitar 2 benteng, Masjid, istana dan bak penampungan air, aparat pemerintahan dalam hal ini staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bau-bau, aparat Kelurahan Baadia, Kecamatan Wolio, Kelurahan Bukit Wolio Indah, Kecamatan Murhum,  keluarga kerajaan, mantan perangkat Masjid dan keturunannya, tokoh masyarakat atau kepada orang yang dianggap mengetahui berbagai hal tentang seluk-beluk obyek tersebut serta keadaan lingkungan sekitarnya.

Pasca pengumpulan data, dilakukan pengolahan data untuk memudahkan proses analisis data yang selanjutnya melahirkan sintesa sebagai hasil kolaborasi antara tuntutan ideal pada tataran konseptual dengan kenyataan yang terjadi pada obyek di lapangan. Kompromi keduanya kemudian dijadikan dasar untuk menentukan batas-batas zonasi beserta peruntukannya. Tahapan selanjutnya adalah interpretasi yang dalam hal ini merujuk pada penetapan batas-batas zonasi berdasarkan pertimbangan arkeologis dan yuridis yang berorientasi pada pelestarian cagar budaya.

Setelah batas-batas zona telah ditetapkan, maka selanjutnya menentukan peruntukan lahan pada masing-masing zona tersebut. Secara garis besarnya peruntukan lahan ini adalah mengatur kegiatan atau aktivitas yang diperuntukkan atau diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dilakukan dalam areal yang dimaksud. Demikianlah masalah utama dan kerangka umum pelaksanaan zonasi yang dilaksanakan di Benteng Keraton Buton yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kelurahan Melai, Kecamatan Murhum, Kota Bau-Bau Propinsi Sulawesi Tenggara. Pada beberapa tahap akan dikembangkan atau disederhanakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di lapangan dengan tetap mengedepankan pelestarian cagar budaya.