Tongkonan Merupakan Suatu Karya Arsitektur Tradisional Yang Monumental

Tongkonan Buntu Pune
Rumah Adat Tana Toraja “Tongkonan” di Buntu Pune

Tongkonan merupakan karya asli masyarakat pendukung kebudayaan Tana Toraja, dengan demikian arsitektur bangunan tradisional Tongkonan di Tana Toraja merupakan karya arsitektur asli apa adanya. Sampai saat ini arsitektur bangunan Rumah Adat Toraja “Tongkonan” belum ditemukan sumber teknologinya akan tetapi murni sebagai arsitektur karya masyarakat Tana Toraja.
Rumah adat Tana Toraja yang dikenal dengan nama Tongkonan, apabila dilihat dari segi arsitekturnya, teknologi pembuatan, bahan yang digunakan, pembagian ruangan, ragam hias, fungsi baik sebagai tempat tinggal, tempat upacara, fungsi sebagai gambaran status sosial pemiliknya, berkaitan dengan makro dan mikro kosmos, maka rumah adat tersebut tergolong dalam kategori objek yang memiliki nilai penting yang luar biasa.
Rumah Adat Tana Toraja “Tongkonan” menggambarkan suatu bentuk awal dari tempat tinggal orang-orang pendukung wilayah Tana Toraja. Awal munculnya rumah adat tersebut adalah dari kendaraan yang digunakan orang-orang yang kemudian mendiami wilayah Tana Toraja sekarang yaitu dengan menggunakan perahu. Rumah bentuk perahu tersebut dalam perkembangannya tidak hanya berfungsi pada masa hidup saja, tetapi bentuk dasar perahu juga digunakan pada bangunan khusus, seperti “Lakkiang” yaitu tempat persemayaman jenazah pada saat pesta kematian yang dilakukan. Bentuk tersebut tampak pada wadah kubur (makam) yang dikenal dengan sebutan Erong.
Konstruksi rumah adat Tongkonan, dengan bahan dasar kayu dan bambu juga merupakan suatu karya yang luar biasa, demikian juga dengan pembagian ruang dan arah bangunannya, arah hadap bangunan Tongkonan adalah utara selatan. Arah hadap tersebut didasarkan dengan arah kedatangan orang Toraja, kemudian dikaitkan dengan ajaran Aluk Todolo.
Rumah adat Tana Toraja “Tongkonan” oleh para ahli budaya Toraja menyebutkan terdapat 78 jenis ukiran yang ada pada bangunan-bangunan rumah, baik tempat tinggal maupun sebagai tempat upacara. Orang Toraja dalam kehidupannya terikat oleh sistem adat yang berlaku, sehingga hal tersebut berimbas kepada keberadaan Tongkonan. Oleh karena itu dari Tana Toraja dikenal beberapa Tongkonan sesuai dengan peranannya di dalam masyarakat Toraja.
1. Tongkonan Layuk adalah Tongkonan pertama dan utama karena di dalam adat sebagai sumber kajian dalam membuat peraturan-peraturan adat.
2. Tongkonan Pekamberan/Pekaindoran adalah Tongkonan kedua yang berperan sebagai pelaksana atau yang menjalankan aturan, perintah dan kekuasaan adat didalam masing-masing daerah adat yang dikuasainya.
3. Tongkonan Batu Ariri adalah tingkatan Tongkonan yang ketiga, karena tidak mempunyai kekuasaan di dalam adat tetapi berperan sebagai tempat persatuan dan pembinaan keluarga dari turunan yang membangun Tongkonan pertama kali.
Dari ketiga Tongkonan yang telah disebutkan diatas, pada prinsipnya mempunyai bentuk yang sama tetapi dalam hiasan terdapat perbedaan khusus yang dilatarbelakangi oleh peranan dan fungsi masing-masing Tongkonan tersebut. Perbedaan tersebut terletak pada tiang tengah yang disebut Tulak Somba, pemakaian kepala kerbau yang disebut Kabongo dan pemakaian hiasan kepala ayam yang disebut “Katik”. Dari ketiga unsur yang telah dipaparkan, khusus untuk Tongkonan Layuk. Sedangkan Tongkonan Pekamberan/Pekaindoran hanya diperbolehkan memakai hiasan Kabonga dan Katik. Untuk Tongkonan Ariri tidak diperbolehkan untuk memakai ketiga unsur tersebut (Tangdilintin, 1981: 160).
Sistem tata ruang dalam bangunan rumah adat Tongkonan sangat spesifik dan tiap ruang mempunyai fungsi masing-masing sesuai pandangan dan keyakinan orang Toraja, dan inilah yang ditekankan terutama pada rumah adat atau pemangku adat. Bentuk tata ruang dalam kehidupan rumah adat Toraja dikenal 4 (empat) macam, yaitu:

1. Banua Sang Borong atau Sang Lanta
Bentuk ruang dalam dari bangunan ini tidak mempunyai sekat sehingga hanya membentuk satu ruangan saja, dimana semua kegiatan dilakukan dalam satu ruangan tersebut. Bangunan ini sebetulnya dibangun bagi keluarga pengabdi/hamba dari seorang penguasa adat. Bangunan ini juga disebut Barung-barung.

2. Banua Duang Lanta
Jenis bangunan ini mempunyai 2 (dua) ruangan, yaitu
– Sumbung, ruang bagian selatan sebagai tempat istirahat/ ruang tidur.
– Sali, ruang bagian utara yang dibuat lebih rendah lantainya 30-40 cm sumbung, tetapi lebih panjang dan luas karena di ruang inilah tempat seseorang memasak, makan dan tempat menyimpan jenazah bila ada yang meninggal dan belum atau sedang diupacarakan.
Banua Duang Lanta’ ini merupakan rumah tradisional yang tidak mempunyai peranan adat dan umumnya merupakan rumah keluarga. Meskipun demikian, juga berfungsi sebagai Tongkonan Batu A’riri yang lazim disebut : Banua Pa’rapuan yaitu rumah persatuan keluarga dari golongan rendah yang disebut kasta Tana’ Kua-Kua atau Tana’ Karurung.

3. Banua Talung Lanta’
Bangunan ini terdiri dari 3 (tiga) ruangan yang masing-masing mempunyai fungsi berbeda, yaitu:
– Sumbung, yaitu ruang tidur yang terletak di bagian selatan.
– Sali, ruang tengah sebagai ruang kedua dari selatan yang lantainya lebih rendah 40cm sebagai tempat pengabdi/hamba tidur, ruang dapur dan makan, dan tempat meletakkan jenazah jika ada yang meninggal untuk keperluan upacara pemakaman. Ruang ini berukuran lebih besar dari ruang lainnya karena fungsinya yang bermacam-macam tadi.
– Tangdo, ruang bagian utara sebagai ruang terdepan dengan ketinggian lantai sama dengan tinggi lantai ruang Sumbung, ruang ini biasanya dipergunakan sebagai tempat istirahat yang punya rumah. Selain itu, ruang ini juga difungsikan sebagai tempat melaksanakan upacara pengucapan syukur di atas rumah, dan tempat tidur tamu-tamu keluarga.
Umumnya Banua Tallung Lanta’ merupakan rumah adat yang mempunyai peranan adat sebagai Tongkonan Kaperengngesan (Pekaindoran/Pekambaran), yaitu sebagai Pemerintahan Adat Toraja. Meskipun demikian, ada juga Banua Tallung Lanta’ yang tidak mempunyai peranan adat yang disebut Tongkonan Batu A’riri milik bangsawan sebagai rumah pertalian keluarga semata. Kedua jenis tongkonan tersebut di atas dapat dibedakan dengan memperhatikan simbol-simbol yang ada. Misalnya pada Rumah Adat terdapat simbol Kabongo (bentuk kepala kerbau yang dipasang pada bagian depan Tongkonan), Katik (bentuk kepala ayam, terletak di atas Kabongo dan A’riri Posi’ (merupakan tiang tengah bangunan). Pada tongkonan bukan rumah adat tidak terdapat simbol-simbol tersebut. Perbedaan ini juga terdapat pada jenis ukiran yang dipergunakan pada Tongkonan. Pada tongkonan rumah adat harus ada ukiran: Pa’barre Allo (Matahari), Pa’ tedong (kepala kerbau), Pa’ manuk Londong (ayam jantan), dan Pa’sussuk (jalur-jalur lurus).

4. Banua Patang Lanta’
Banua Patang Lanta’ masih terbagi dalam 2 (dua) bagian yaitu Banua Patang Lanta’ di lalang tedong dan Banua Patang Lanta’ di salembe.
Banua Patang Lanta’ di lalang tedong membagi ke dalam 4 (empat) ruang, yakni;
– Inan Kabusungan, ruang paling selatan sebagai ruang pertama tempat menyimpan segala pusaka dan peralatan adat. Biasanya ruang ini dibuka jika ingin mengambil benda pusaka dan harus dengan kurban sajian babi atau ayam.
– Sumbung, ruangan kedua dari selatan dipergunakan untuk tempat tidur dari penguasa yang menempati rumah tersebut.
– Sali Tangnga, ruangan ketiga dari selatan berukuran agak panjang daripada ruangan lainnya karena merupakan pusat kegiatan dari keluarga.
– Sali Iring, ruangan paling rendah yang biasanya dipergunakan untuk menerima tamu keluarga, juga untuk beristirahat pembantu.
Sedangkan Banua Patang Lanta’ di salembe juga terdapat empat ruangan dengan ketinggian lantai yang berbeda-beda pula. Sumbung, ruang paling selatan dengan lantai tertinggi, Sali Tangnga ruang kedua dari selatan turun 40 cm, Sali Iring ruang ketiga dari selatan turun lagi 40cm, dan Palanta’ (Tangdo) merupakan ruang terdepan/utara yang lantainya naik lagi 40 cm sehingga sejajar dengan lantai Sali Tangnga.