Pendokumentasian Audio Visual (film) di Kabupaten Jeneponto

pengambilan gambar
Pengambilan Gambar Kegiatan Pendokumentasian Audio Visual (Film) di Kabupaten Jeneponto

Kabupaten Jeneponto merupakan salah satu wilayah dengan potensi tinggalan budaya yang cukup beragam baik itu yang berupa bangunan cagar budaya, situs cagar budaya serta benda cagar budaya. Keberadaan cagar budaya tersebut merupakan bukti dari kreatifitas dan hasil cipta yang sangat bernilai tinggi dan menjadi salah satu karya adi luhung bangsa Indonesia yang harus terus dijaga dipelihara dan dilestarikan untuk selanjutnya dimanfaatkan pada berbagai kepentingan. Selain itu keberadaan tinggalan budaya khususnya cagar budaya tersebut menjadi pembuktian akan keberadaan beberapa kelompok adat dan kerajaan yang pernah ada di bumi Turatea. Menurut informasi masyarakat bahwa pada jaman kerajaan di Nusantara di Bumi Turatea telah muncul sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Binamu dan menjadi kerajaan sekutu (palili) dari Kerajaan Gowa yang telah mempersatukan beberapa kerajaan seperti Bangkala, Rumbia, Arung Keke, Taroang dan Tolo. Kerajaan-kerajaan tersebut telah meninggalkan jejak yang sangat monumental dan masih dapat disaksikan hingga saat ini.

Dalam rangka melestarikan data dan informasi situs cagar budaya di Kabupaten Jeneponto yang sesuai dengan trend saat ini maka untuk tahun 2014 telah dilaksanakan kegiatan Pendokumentasian Audio Visual (Film) yang merupakan pelaksanaan dari kegiatan rutin Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar dan dilaksanakan sesuai dengan aturan dan kaidah pelestarian sebagai tugas pokok dan fungsi instansi yang diperkuat oleh amanah undang-undang nomor 2010 tentang cagar 11 tahun Budaya yaitu pasal 95 ayat 2 yang menyatakan bahwa “ Pemerintah menyediakan informasi cagar budaya untuk masyarakat (butir d) dan menyelenggarakan promosi cagar budaya (butir e)”.

 Maksud dan Tujuan Kegiatan   dimaksudkan untuk menyediakan sebuah media informasi mengenai cagar budaya di Kabupaten Jeneponto khususnya cagar budaya yang merupakan peninggalan budaya dari kesatuan hadat Tolo yang berlokasi di Kecamatan Kelara dengan tujuan tersedianya data dan informasi cagar budaya dalam bentuk Film yang berdurasi 30 menit tayangan dan pada akhirnya diharapkan film tersebut menjadi salah satu media publikasi efektif dalam mengapresiasi masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam upaya pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya.

Sasaran Kegiatan pendokumentasian audio Visual di Kabupaten Jeneponto meliputi situs cagar budaya yang berlokasi di Kecamatan Kelara dan merupakan peninggalan Kerajaan/kesatuan Hadat Tolo berupa Rumah Adat/Istana, Mesjid Tua, Alun-alun, sumur Tua seta Kompleks Makam Tun Nung dengan rangkaian tahapan kegiatan meliputi :

  • Persiapan
  • Pengambilan gambar
  • Prosesing di studio.

Letak Geografis Kawasan Tolo merupakan kompleks pemukiman kerabat kerajaan dengan segala perangkatnya, terdiri dari istana Kerajaan Raja Tolo, Rumah Adat, kompleks Pemakaman para leluhur, Mesjid Tua dan hutan milik kerajaan yang letaknya disebelah Timur, sedang dibagian utara terdapat pasar kerajaan dan alun-alun kerajaan.

Secara administratif kawasan Tolo terletak di Kelurahan Tolo, Kecamatan Kelara, Kabupaten Jeneponto Propinsi Sulawesi Selatan berjarak kurang lebih 10 km dari ibukota Kabupaten Jeneponto dengan posisi astronomi rumah adat 05ᵒ 34’ 00,0” LS dan 119ᵒ “ 48’ 01,5” BT, Mesjid Tua 05ᵒ 34’ 00,6” LS dan 119ᵒ 48’ 02,6” BT, Sumur Tua 05ᵒ 34’03,6” LS dan 119ᵒ 48’ 12,6 “ serta posisi Kompleks Makam Tua Tung Nung 05ᵒ 34’ 0,13” LS dan 119ᵒ 48’ 31,7”. Untuk mencapai lokasi tersebut dapat menelusuri jalan kabupaten dengan kendaraan roda dua dan roda empat.

Data Sejarah Rumah adat saat ini terletak didalam ibukota Kelurahan Tolo, yang menunjukkan bahwa Kota ini memang sejak dahulu kala merupakan pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Rumah adat dibangun pada masa pemerintahan Raja Tolo I Patiara Karaeng Manynyamu pada tahun 1914, setelah kepindahan pusat kerajaan Tolo yang awalnya berada di Bontolebang. Bangunan ini. Setelah para pembesar kerajaan, musyawarah dan tempat pelantikan raja-raja Tolo. Kepindahan pusat Kerajaan Tolo yang awalnya berada di Bonto Lebang. Bangunan ini didirikan sebagai tempat kediaman raja sekaligus menjadi tempat pertemuan

Pada awal berdirinya rumah adat tersebut hanya satu buah yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Balla’na Karaeng Ajjia dan merupakan prototype rumah adat makassar. Sepuluh tahun kemudian bangunan tersebut dibangun lagi sebuah bangunan pada samping kirinya sehingga membentuk rumah panggung kembar. Kedua bangunan tersebut dihubungkan oleh sebuah selasar, dengan jumlah tiang sebanyak 92 buah.

Bahan baku dari rumah adat tesebut sebagian besar didatangkan dari pelosok-pelosok desa sekitar rumah adat dan dari kawasan hutan kerajaan yang letaknya kurang lebih 500 m kearah timur dari rumah adat Tolo.Sedangkan atap sengnya didatangkan dari Makassar.

Kata Tolo pada nama kawasan Tolo diambil dari nama kampong dimana rumah tersebut berada yaitu Tolo yang berarti Jawara atau pemberani. Menurut keterangan karaeng Calla, bahwa pada masa kekuasaan kerajaan Gowa kampung ini dikenal sebagai pemasok orang-orang pemberani (Tobarani). Selanjutnya dikatakan bahwa pada masa itu disekitar rumah Adat Tolo terdapat beberapa buah bangunan, seperti Mesjid (sekarang Mesjid Tua Tolo) sebagai mesjid Kerajaan, lapangan (alun-alun), pasar kerajaan (sekarang berdiri Kantor Kecamatan Kelara) hutan kerajaan, rumah bangsawan, sumur dan sawah Kerajaan.

Persiapan Pendokumentasian Audio Visual di Kabupaten Jeneponto dilaksanakan dengan tahapan kegiatan meliputi :

  • Pengumpulan data berupa data pustaka yaitu mengumpulkan segala bentuk literatur yang berkaitan dengan tinggalan budaya kerajaan/kesatuan hadat Tolo di Kecamatan Kelara. Literatur tersebut berupa buku, jurnal, laporan kegiatan serta hasil-hasil riset ataupun penelitian lainnya.
  • Pembuatan script/skenario pendokumentasian audio visual. Skenario ini merupakan hal yang pokok yang harus dibuat setiap kegiatan pendokumentasian audio visual dimaksudkan sebagai acuan didalam pengambilan gambar dilapangan dan juga sebagai pedoman guna membatasi pengambilan gambar. Pembuatan script untuk pendokumentasian audio visual cagar budaya khususnya tinggalan budaya kesatuan hadat/kerajaan Tolo senantiasa mengacu pada gambaran masing-masing obyek:
  • Rumah adat / istana Tolo
  • Mesjid
  • Kompleks Makam Tun Nung.

Berikut ini deskripsi masing-masing Obyek.

rumah adat tolo
Rumah Adat Tolo

Rumah adat Tolo saat ini terletak di dalam ibukota Kelurahan Tolo, secara administratif berada di jalan poros Malakaji – Bontosunggu Kampung Mataere Kelurahan Tolo Kecamatan Kelara menunjukkan bahwa wilayah ini sejak dahulu merupakan pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Rumah adat dibangun pada masa pemerintahan Raja Tolo I Patiara Karaeng Manynyamu pada tahun 1914. Setelah kepindahan pusat Kerajaan Tolo yang awalnya berada di Bonto Lebang, tiang-tiang pendukung rumah adat bentuknya tidak beraturan didirikan di atas tanah dengan umpak batu kali. Jarak tiang juga bervariasi yaitu jarak tiang arah vertikal (utara – selatan) antara 1,62m – 2,67 m dan jarak tiang arah horisontal (timur-barat) antara 2,82 m- 3,39 m. Dengan demikian ukuran bangunan pada bagian dasar adalah (18,80 X 31,0) m dan tinggi dari permukaan tanah sampai kebubungan rumah 9,54 meter. Bangunannya terdiri dari kaki rumah (siring), badan rumah (kale balla) dan kepala rumah (pattongko). Atap bangunan berbentuk pelana dan bersusun dua (memakai tumpang) dengan bahan atap dari seng. Timpa laja bersusun tiga yang merupakan simbol rumah bangsawan tinggi dengan orientasi rumah menghadap ketimur. Seluruh komponen bangunan termasuk tiang, lantai, dinding dan rangka atap dibuat dari kayu nangka, kayu bitti, kayu ipi, kayu cenrana, kayu amar, batang lontar, batang kelapa dan bambu.

Bahan baku dari rumah adat sebahagian besar didatangkan dari pelosok-pelosok desa disekitar rumah adat serta dari kawasan hutan kerajaan yang letaknya kurang lebih 500 meter kearah timur dari rumah adat Tolo. Bangunan ini menempati areal seluas 49 X 30 meter.

 MASJID TUA yang berada di kawasan Tolo berjarak 50 meter dari lokasi rumah adat, mesjid ini berdenah dasar persegi empat dengan ukuran denah dasar 9,27 X 9,27 meter dengan ukuran denah mihrab 2,10 X 2,10 meter. Bentuk atapnya tumpang bersusun dua dan tiga. Pintu untuk masuk kedalam mesjid hanya satu yaitu terletak dibagian selatan.

Menurut informasi masyarakat setempat bahwa dahulu mesjid tersebut dibuat dari kayu beratap alang-alang dan nipah dan mempunyai pintu masuk dua buah yaitu pada bagian selatan dan bagian timur. Pada pintu bagian timur terdapat

selasar yang menghubungkan masjid dan kolam air tempat berwudhu. Kondisi mesjid telah mengalami prubahan terutama penambahan dinding batu bata diplester yang dipasang 12 cm dari tiang kayu, atap bangunannya sudah diganti menjadi atap seng, namun demikian keaslian bentuk dan bahan dari mesjid masih ada yaitu bentuk atap pada bagian ujungnya terdapat mustaka kayu yang menyerupai buah nenas dan tiang-tiang penyangga atap.

komp. Makam Tung Nung
Kompleks Makam Tung Nung

Kompleks Makam Tung Nung berjarak sekitar 1 km kearah timur dari rumah adat didalam kompleks makam terdapat sekitar 300 bangunan makam. Bentuk makam bervariasi namun yang paling dominan adalah makam bentuk papan batu bersusun dua atau tiga dan bagian atasnya diberi satu atau dua buah nisan. Bentuk makam lainnya berupa makam monolit (antero) bersusun dua atau tiga dan bagian atasnya dilubangi untuk menancapkan nisan satu atau dua buah. Ragam hias yang terdapat pada Kompleks makam berupa ragam hias geometris dan floraistis. Menurut informasi msyarakat setempat bahwa kompleks makam tersebut merupakan lokasi pemakaman raja-raja Tolo dan keluarganya namun identitas makam tidak ada yang diketahui.

Sumur Tua Berlokasi dipinggir hutan adat berjarak sekitar 500 meter dari rumah adat sumur ini dipercaya masyarakat bisa memberikan tuah (berkah) seperti mudah jodoh dan keselamatan. Sumur ini merupakan sumber mata air bagi masyarakat sekitar sumur. Kondisdi sumur telah diberi tembok dari semen berbentuk bulat dengan ukuran diameter 2 meter.

Mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan dalam mendukung kegiatan pendokumentasian seperti kamera movie, Kamera DSLR, kaset, tripot, Payung, kabel-kabel serta buku catatan.

Pelaksanaan Kegiatan dan Hasil Akhir.

Setelah persiapan berupa pembuatan skenario dan peralatan telah siap tahap selanjutnya berupa pengambilan / perekaman gambar dilapangan. Pada kegiatan pendokumentasian di Kabupaten Jeneponto pengambilan gambar diarahkan pada obyek cagar budaya di Kecamatan Kelara yakni tinggalan budaya Kerajaan Tolo yang terdiri dari :

  • Rumah adat Tolo
  • Mesjid Tua Tolo
  • Kompleks makam Tun Nung
  • Sumur Tua
  • Pasar
  • Alun-alun
  • Hutan adat
  • Sawah adat

Selain obyek tersebut diatas untuk melengkapi gambar maka direkam pula salah mata pencaharian penduduk Jeneponto yaitu uasaha penggaraman serta lingkungan alam Kecamatan Kelara.

Pengambilan/perekaman gambar dilakukan oleh kameramen dibantu oleh asisten kameramen dan kru lainnya dan diarahkan oleh sutradara berdasarkan skript yang ada. Selain pengambilan/perekaman gambar dalam bentuk video juga dilakukan perekaman gambar dengan kamera DSLR.

Sebelum dilakukan pengambilan/perekaman gambar maka terlebih dahulu dilakukan hunting dan survey lokasi untuk menentukan angle setiap obyek. Kegiatan lainnya berupa pembersihan obyek dengan tujuan agar gambar yang direkam sesuai dengan skript dan tentunya agar obyek kelihatan lebih bersih.

Tahap Pengolahan (Prosesing di Studio)

Setelah perekaman /pengambilan gambar dilapangan dilakukan tahap berikutnya adalah memproses distudio film. Prosesing film ini sangat menyita waktu karena harus melewati beberapa tahapan yaitu :

Capture Tahap ini merupakan kegiatan pertama distudio, yaitu memindahkan rekaman dari kamera video kekomputer editing. Lamanya sangat tergantung pada banyaknya kaset dan durasi.

Editing gambar, setelah semua rekaman video selesai di transfer kekomputer editing, langkah selanjutnya adalah proses pemilihan gambar. Proses inilah yang disebut dengan editing gambar. Setelah melihat seluruh gambar biasanya ada beberapa gambar yang dibuang (cut) karena kemungkinan gambar tersebut tidak sesuai dengan tema dan narasi yang akan disampaikan.

Perekaman narasi, sebelum dilakukan perekaman narasi, terlebih dahulu dibuatkan naskah narasi. Pembuatan narasi dilakukan setelah pengambilan gambar dilapangan guna menyesuaikan gambar dan naaskah.

Rendering, setelah narasi disesuaikan dengan gambar, maka proses selanjutnya adalah rendering/render. Tahap ini merupakan proses dimana baik gambar maupun narasi kemudian dikompile atau dibakukan menjadi sebuah film utuh.

Mastering dan Penggandaan, tahap terakhir dalam kegiatan pendokumentasian audio visual (film) adalah mastering. Mastering merupakan proses setelah rendering. Proses ini merupakan pembuatan master dari sebuaah film dalam bentuk VCD, sebelum dilakukan penggandaan. Tahap penggandaan sendiri biasanya disesuaikan dengan kebutuhan, selanjutnya film siap ditayangkan.

Kegiatan pendokumentasian audio Visual (Film) Cagar Budaya di Kabupaten Jeneponto pada beberapa situs yaitu Rumah adat/Istana, Mesjid Tua, Kompleks Makam Tung Nung dan sumur tua telah berlangsung dengan baik tanpa kendala yang berarti. Pendokumentasian audio visuak dengan tema “Menyusuri tinggalan budaya Kasatuan Hadat Tolo di Bumi Turatea“ merupakan salah satu bentuk pelestarian data cagar budaya sekaligus sebagai sarana promosi cagar budaya, mengingat media tulis bukanlah satu-satunya dokumen penyimpan data sehingga audio visual (film) dapat menjadi salah satu media yang sangat diperlukan dan sangat efektif saat ini. Selain sebagai bentuk penyelamatan data, pendokumentasian audio visual (film) juga merupakan salah satu media publikasi cagar budaya yang dapat diterima dan sangat menarik dikalangan masyarakat umum.