You are currently viewing <strong>Menyelami Waktu 40.000 tahun yang lalu</strong>

Menyelami Waktu 40.000 tahun yang lalu

Taman Arkeologi Leang-Leang merupakan tempat terpendamnya kisah peradaban manusia 40.000 tahun yang lalu. Kisah yang dapat kita pelajari untuk mengetahui “asal usul nenek moyang kita saat ini”. Bersanding dengan pemandangan alam yang memukau, dikelilingi oleh bebatuan purba, rumput-rumput hijau dan perbukitan karst. Ditempat ini kita dapat melakukan berbagai aktivitas edutainment.

Edutainment, Ya… Charge otak sambil Healing.. Kita dapat berfoto di antara batu-batu hitam unik di Taman Batu sambil mempelajari “mengapa batu-batu gamping dapat mencuat dari tanah dan bagaimana proses terbentuknya”.  Kita dapat melihat hewan endemik kus-kus “nongkrong” di area ekosistem habitat, sambil mempelajari “bagaimana cara manusia purba berburu kuskus yang pintar berjalan di atas pohon, bahkan menjadikan jari tulang kus-kus tersebut menjadi liontin”. Kita bisa melihat gambar prasejarah di dinding gua berumur 40.000 tahun yang lalu dan mempelajari “mengapa mereka terpikir untuk hidup dan menggambar di dalam gua” serta masih banyak pertanyaan lain yang dapat kita temukan jawabannya di Taman Arkeologi Leang-Leang.

Taman Arkeologi Leang-Leang merupakan sebuah Kawasan perbukitan yang telah dihuni sejak zaman prasejarah. Sebarannya mengarah dari Utara ke Barat laut dan Timur dengan luas ±27.293.90 Ha. Dari segi administratif terletak di dua kelurahan dan satu buah desa. Kelurahan Kalabbirang, Kelurahan Leang-leang, Desa Tukamasea di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Kawasan ini berada pada posisi astronomi 04° 58’ 39” Lintang Selatan dan 119° 40’ 27” Bujur Timur. Kawasan Leang-Leang berjarak ± 39 km dari Kota Makassar atau ± 9 km dari Ibukota Kabupaten Maros.

Di dalam Taman Arkeologi Leang-Leang, terdapat dua buah gua prasejarah yaitu Leang Pettae dan Pettakere. Kedua leang tersebut merupakan Situs Cagar Budaya yang telah ditetapkan oleh Bupati Maros melalui Surat Keputusan Bupati Maros nomor 1938/KPTS/352/XII/2017. Situs tersebut dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan aturan turunannya.

Leang Pettae dan Pettakere, saat ini telah menyatu dalam sebuah areal yang telah dikelola oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX. Didalamnya terdapat gambar prasejarah, baik cap tangan telapak manusia berujung runcing dan hewan menyerupai babi rusa yang pada bagian jantungnya terdapat objek yang menancap. Juga ditemukan sampah dapur atau sisa-sisa makanan manusia prasejarah. dan artefak masa lampau, seperti alat batu, kapak neolitik, manik- manik, bahkan rangka manusia.

Potensi yang besar tersebut membuat Balai Pelestarian Kebudayaan XIX terus meningkatkan pengelolaan taman. Mulai dari melakukan perubahan konsep dari Taman Prasejarah Leang-Leang menjadi Taman Arkeologi Leang-Leang. Tujuannya untuk mewujudkan Kawasan Taman Arkeologi Leang-Leang sebagai Pusat layanan informasi, interpretasi, presentasi, edukasi, serta rekreasi dengan pelibatan masyarakat berbasis pelestarian. Sementara berbagai upaya pelindungan dengan menjaga kelestarian gua-gua terus dilakukan.

Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan sejak tahun 2020 hingga saat ini, Taman Arkeologi Leang-Leang dibagi menjadi 5 (lima) zona. Zona layanan umum, taman batu, permainan tradisional, ekosistem habitat, dan pelindungan utama. Ke-depannya disetiap zona ini akan dilengkapi dengan interpretasi dan presentasi terkait kehidupan manusia sekitar 40.000 tahun yang lalu. Selain itu juga akan didukung oleh program publik, fasilitas, amenitas, dan juga media yang memesona.

Rencana tersebut telah tertuang dalam sebuah bunga rampai “Menyelami Waktu 40.000 tahun yang lalu, Berdialog dengan Masa Lalu di Taman Arkeologi Leang-Leang”. Buku tersebut disusun oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2022. Berisi tentang berbagai mimpi indah tentang perencanaan Taman Arkeologi Leang-Leang di masa mendatang…

Yuk, healing sambil ngecharge otak, di Taman Arkeologi Leang-Leang.

Kunjungi, lindungi, lestarikan !

Penulis: Andini Perdana