Kegiatan Konservasi Kompleks Makam Latenri Ruwa di Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan

Makam Latenri Rua1
Kompleks Makam Latenri Ruwa Kabupaten Bantaeng

Latar Belakang

Konsep dasar konservasi adalah pelestarian cagar budaya yang mencangkup pencegahan dan penanggulangan dari kerusakan dan pelapukan melalui langkah preventif . Dengan konservasi kuratif Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar dapat melakukan tindakan pelestarian yang diwujudkan dengan kegiatan konservasi. Wilayah kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar cukup luas yaitu di Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat, serta kompleksnya permasalahan dalam perawatan dan pengelolaan menyebabkan diperlukannya langkah-langkah strategis yang terencana, terpadu dan sistematis agar pelestarian Cagar Budaya dapat terwujud. Berdasarkan hasil studi konservasi pada tahun 2013 serta laporan juru pelihara situs Kompleks Makam Latenri Ruwa, dari sudut pandang keterawatan situs tersebut menunjukkan perlunya segera melakukan konservasi batu makam untuk menghindari kerusakan yang berlanjut, berbagai hal yang dapat menjadi pertimbangan antara lain adalah karena kerusakan dan pelapukan permukaan batu, retakan ataupun pecah  (kerusakan mekanis), adanya pertumbuhan mikro organisme. Merujuk pada tugas dan fungsi Balai Pelestarian Cagar Budaya yang melindungi dan memelihara berbagai tinggalan cagar budaya, maka kelompok Kerja Pemeliharaan Sub Kelompok Konservasi akan melakukan kegiatan konservasi Kompleks Makam Latenri Ruwa Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan tahun anggaran 2014.

Maksud dan Tujuan

Kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan pembasmian Algae, Moss, dan Lichen, dan pengolesan bahan konservan untuk menghambat pertumbuhan selanjutnya, dengan tujuan agar permukaan batu makam bersih dari pertumbuhan mikroorganisme sehingga batu makam dapat bertahan lebih lama.

Ruang Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup dari kegiatan konservasi yang dilakukan pada Kompleks Makam Latenri Ruwa yaitu seluruh komponen makam seperti nisan, jirat,gunongan pada makam. Kegiatan yang dilakukan meliputi pembersihan mekanis, pembersihan khemis dengan AC 322, pengawetan dan pengukuran volume pekerjaan setelah dikonservasi.

Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Kegiatan konservasi Kompleks Makam Latenri Ruwa dilaksanakan di Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 06 s.d 20 Juni 2014.

Dasar

Kegiatan ini dilaksanakan berdasarkan :

  1. UU Republik Indonesia No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
  3. Pedoman InternasionaL Charter for the Conservation and Restoration of Monuments and Sites (ICOMOS);
  4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
  5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1993 tentang pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya;
  6. Keputusan Mendikbud Republik Indonesia Nomor 063/U/1995 tentang perlindungan dan pemeliharaan Benda Cagar Budaya;
  7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
  8. Anggaran DIPA Tahun 2013 Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar (Output/ MAK. 004.524119)
  9. Surat Tugas No. 745/CB.9/KP/2014 Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar tentang pelaksanaan kegiatan Konservasi Kompleks Makam Latenri Ruwa kabupaten Bantaeng.

Metode Pelaksanaan

Metode yang digunakan pada kegiatan konservasi ini adalah sebagai berikut;

  1. Pengumpulan data, meliputi kegiatan studi pustaka yaitu mengumpulkan berbagai literatur dari berbagai sumber seperti buku, majalah, artikel atau makalah hasil-hasil penelitian mengenai Kompleks Makam Latenri Ruwa.
  2. Pelaksanaan konservasi, pekerjaan awal yang dilakukan adalah pembersihan secara mekanis dengan menggunakan sapu lidi dan solet bambu, kemudian dilanjutkan pembersihan secara khemis menggunakan larutan AC 322 dengan cara pengolesan pada nisan dan jirat-jirat makam. Setelah pengolesan, kemudian dilakukan pembersihan basah menggunakan air hingga pH (point Hidrogen) air pencucian netral (pH-7). Langkah terakhir yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah penyemprotan Hyamine Setelah itu maka dilakukan pengukuran volume pekerjaan sebagai bentuk pertanggung jawaban dari pelaksanaan kegiatan ini.
  3. Pengolahan data, meliputidata hasil pustaka dan data hasil konservasi.

Pelaksana

Kegiatan Konservasi ini dilaksanakan oleh Sub-pok KonservasiKelompok Kerja Pemeliharaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, dan sesuai dengan Surat Perintah Tugas No: 745/CB.9/KP/2014dengan jumlah tim sebanyak 15 orang. Kegiatan ini dilaksanakan di Kompleks Makam Latenri Ruwa Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan dan dilaksanakan selama 15 hari mulai dari tanggal 06 s.d 20 Juni 2013.

Letak Geografis

Kabupaten Bantaeng adalah sebuah Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Terletak dibagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 395,83 km² atau 39.583 Ha yang dirinci berdasarkan Lahan Sawah mencapai 7.253 Ha (18,32%) dan Lahan Kering mencapai 32.330 Ha. Secara administrasi Kabupaten Bantaeng terdiri atas 8 kecamatan yang terbagi atas 21 kelurahan dan 46 desa. Jumlah penduduk mencapai 170.057 jiwa. Kabupaten Bantaeng terletak di daerah pantai yang memanjang pada bagian barat dan timur sepanjang 21,5 kilometer yang cukup potensial untuk perkembangan perikanan dan rumput laut.

Secara geografis Kabupaten Bantaeng terletak pada titik 5021’23”-5035’26” lintang selatan dan 119o51’42”-120o5’26” bujur timur. Berjarak 125 Km kearah selatan dari Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayahnya mencapai 395,83 Km2 dengan jumlah penduduk 170.057 jiwa (2006) dengan rincian Laki-laki sebanyak 82.605 jiwa dan perempuan 87.452 jiwa. Terbagi atas 8 kecamatan serta 46 desa dan 21 kelurahan. Pada bagian utara daerah ini terdapat dataran tinggi yang meliputi pegunungan Lompobattang. Sedangkan di bagian selatan membujur dari barat ke timur terdapat dataran rendah yang meliputi pesisir pantai dan persawahan.

Kabupaten Bantaeng yang luasnya mencapai 0,63% dari luas Sulawesi Selatan, masih memiliki potensi alam untuk dikembangkan lebih lanjut. Lahan yang dimilikinya ± 39.583 Ha.Di Kabupaten Bantaeng mempunyai hutan produksi terbatas 1.262 Ha dan hutan lindung 2.773 Ha. Secara keseluruhan luas kawasan hutan menurut fungsinya di kabupaten Bantaeng sebesar 6.222 Ha (2006), karena sebagian besar penduduknya petani, maka wajar bila Bantaeng sangat mengandalkan sektor pertanian. Masuk dalam pengembangan Karaeng Lompo, sebab memang jenis tanaman sayur-sayurannya sudah berkembang pesat selama ini. Kentang adalah salah satu tanaman holtikultural yang paling menonjol. Data terakhir menunjukkan bahwa produksi kentang mencapai 4.847 ton (2006). Selain kentang, holtikultura lainnya adalah kool 1.642 ton, wortel 325 ton dan buah-buahan seperti pisang dan mangga. Perkembangan produksi perkebunan, khususnya komoditi utama mengalami peningkatan yang cukup berarti.

Topografi

Kondisi topografi Kabupaten Bantaeng terdiri atas pegunungan, lembah, daratan dan pesisir pantai. Ketinggian wilayahnya antara 0 – 1 000 m di atas permukaan laut, mulai dari tepi laut Flores sampai ke pegunungan sekitar Gunung Lompobattang. Wilayah pesisir dengan ketinggian 0 -25 m di atas permukaan laut, berada pada areal bagian selatan dengan luas sekitar 10.3 %, ketinggian 26-99 m sekitar 19.5%, ketinggian 100-500 m sekitar 29.6 % dan ketinggian di atas 500 seluas 40.6 % dari luas daratan Kabupaten Bantaeng. Wilayah dengan kelerengan 0-2 % hanya seluas 14.9 %, kelerengan 2–15 % seluas 42.64 %, kelerengan 15-40 % 20.77 % sedangkan wilayah yang berlereng di atas 40%, tidak diusahakan, seluas 21.69 % dari wilayah Kabupaten Bantaeng. Wilayah Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu, masing-masing dialiri 6 dan 4 sungai. Sungai yang mengalir di Kecamatan Bantaeng adalah sungai Kassi-Kassi, Kayu Loe, Kariu, Calindu, Bialo dan Sungai Bolong Sikuyu, sedangkan sungai yang mengalir di Kecamatan Bissapu adalah Sungai Tino, Cabodo, Batu Rinring dan Sungai Lamosa.

Latar Belakang Sejarah

Latenri Ruwa merupakan seorang Raja Bone ke XI yag dinobatkan sebagai Raja Bone pada bulan Agustus 1611. Raja Bone inilah yang pertama memeluk agama islam dengan gelar Sultan Adam. Beliau adalah nenek Latenri Tatta Arung Palakka dari pihak ibu (Hadimulyo, 1980: 51).

Hanya dalam hitungan tiga bulan Latenri Ruwa di atas tahta kerajaan Bone lalu beliau diusir oleh rakyatnya karena tidak setuju atau dengan kata lain mereka menolak ajaran Islam.Dalam waktu yang relative singkat rakyat Bone memilih kembali raja yang baru untuk menggantikan Latenri Ruwa sebagai raja dalam memimpin kerajaan Bone yaitu Latenri Pale Tokkepoang ( Hadimulyo, 1980: 51). Setelah Latenri Ruwa memeluk agama Islam maka beliau meninggalkan Bone menuju ke Makassar serta tinggal berguru memperdalam pengetahuan agama Islam pada Datok ri Bandang alias Khatib Tunggal Abdul Makmur yang bertempat tinggal di Tallo, dengan semangat dan tekat beliau dalam memperdalam pengetahuannya dibidang ilmu agama islam yang tidak megenal susah payah, beliau rela meninggalkan kekuasaanya sebagai Raja Bone untuk beralih kesuatu ajaran dan kepercayaan yang dapat menuntun manusia dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang menyangkut kehidupan duniawi maupun kehidupan ukhrawi. Beliau sangat fanatisme terhadap ajaran Islam sehingga beliau lebih cenderung memilih Islam daripada pangkat atau kedudukan yang dijabatinya. Setelah berselang beberapa waktu beliau memperdalam ilmu pengetahuannya dibidang agama Islam, oleh raja Gowa memberikan perintah kepada beliau, agar ilmu agama yang diperoleh disebarluaskan atau diamalkan kepada manusia yang belum tahu akan makna dari pada ajaran Islam di daerah Sulawesi Selatan (Hadimulyo, 1980: 53).

Setelah terjadi pembicaraan antara Raja Gowa dan Latenri Ruwa dengan permasalahan pengembangan ajaran Agama Islam ke beberapa daerah kerajaan di Sulawesi Selatan, akhirnya Latenri Ruwa memilih Bantaeng sebagai salah satu daerah untuk melajutkan misi pengembangan ajaran agama Islam.

Asalmula nama Bantaeng tidak tercatat secara rinci dalam catatan sejarah Bantaeng, akan tetapi sebelum daerah ini dikuasai oleh pemerintah Belanda. Bantaeng merupakan suatu kerajaan yang berakhir setelah masuknya Belanda di daerah ini yaitu sekitar tahun 1739. Berdasarkan cerita rakyat, menyebutkan bahwa nama Bantaeng berasal dari beberapa suku kata yang masing-masing mempunyai arti tersendiri yaitu;

  • Ba (ban) = Tojeng (kutojengangi) artinya penuh kesungguhan.
  • Ta = Tamaminra-minra artinya tidak akan berubah sedikitpun
  • Eng = kapaenteng arinya kita tegakkan bersama-sama

Maka dari itu, diketahui bahwa Bantaeng berarti dengan penuh kesungguhan hati tidak akan berubah hasil musyawarah yang ditegakkan dengan tekad bulat akan menyelesaikan sampai sukses. Pada awalnya dimana saat Bantaeng masih berstatus sebagai kerajaan terdiri atas 7 (tujuh) kampung (setingkat distrik) yaitu kampung Onto, kampung Sinowa (Kambittana), kampung Bissampolo (Karatuang), kampung Gattarang Keke, kampung Mamampang (Bungaya), kampung Lawi-lawi (Mangngopong), kampung Katapang (Ulu Galung). Setelah kemerdekaan semua pegurusan pemerintah diambil alih oleh pemerintah Indonesia sendiri dengan peraturan pemerintah No. 34 tahun 1952.

Deskripsi

Kompleks Makam Latenri Ruwa terletak di kelurahan Pallantikang, kecamatan Bantaeng, kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Kompleks Makam ini berada pada posisi S05º32’45.0” dan T119 º57’82’.2” dengan ketinggian 15 meter dari permukaan laut, dimana situs ini berada di tengah-tengah pemukiman warga. Kondisi situs ini cukup terawat, banyak pohon yang terdapat dalam kompleks makam ini seperti pohon palem raja (Roystonea regia), Pohon lontar atau pohon siwalan (Borassus flabellifer), Pohon ketapang (Terminalia catappa), Pohon asam (Tamarindus indica), Pohon kelapa (Cocos nucifera) dan beberapa tumbuhan lainnya. Dalam kompleks makam Latenri Ruwa ini terdiri atas dua makam yaitu makam kuno dan makam baru. Namun dalam penelitian ini, hanya di fokuskan pada makam kuno saja. Sedangkan makam baru tidak di masukkan mengingat makam tersebut bukanlah tinggalan cagar budaya. Dari hasil survei yang dilakukan dilapangan maka diperoleh data mengenai jumlah makam pada komplesk makam ini yaitu sebanyak 152 buah makam. Dari 152 makam yang ada, kemudian akan diklaifikasi berdasarkan bentuk yang ada dan kemudian akan terbagi-bagi lagi dalam atribut-atribut terkecil. Berikut penjabaran ukuran makam yang ada di Kompleks Makam Latenri Ruwa.

Sebelum Pelaksanaan Konservasi

Degradasi bahan dari penyusun Cagar Budaya dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu kerusakan dan pelapukan.Kerusakanadalah perubahan yang terjadi pada bahan Cagar Budaya tanpa diikuti oleh perubahan unsur bahan penyusun yang digunakan, misalnya pecah, patah, beberapa bagian ada yang hilang, dan retak. Sedangkan yang dimaksud denganpelapukan adalah terjadinya perubahan pada sifat-sifat fisik bahan penyusun maupun sifat-sifat kimiawinya yang diikuti dengan peningkatan kerapuhan, misalnya pelarutan unsur-unsur, korosi, dan pembusukan.

Faktoryang menyebabkan terjadinya kerusakan dan pelapukan antara lain adalah faktor perencanaan, menurunnya rasio kekuatan bahan maupun struktur, dan faktor lingkungan. Faktor perencanaan meliputi kesalahan dan ketidaksempurnaan perencanaan, kurangnya ilmu pengetahuan, penggunaan konstruksi diluar kemampuan bahan, atau faktor-faktor lain. Selain itu kerusakan dan pelapukan juga dapat terjadi akibat penurunan rasio kekuatan gaya statis, dinamis, kimia-fisis, jenis material dan struktur bangunan. Faktor lingkungan juga memberikan sumbangan yang besar terhadap kerusakan dan pelapukan antara lain disebabkan oleh manusia, bencana alam, iklim dan air, serta pertumbuhan jasad. Proses – proses kerusakan dan pelapukan meliputi mekanis, fisis,kimia, dan biologi(Munandar, 2006 : 8). Hal tersebut dapat kita lihat pada batu makam yang terdapat didalam kompleks makam Latenri Ruwa dan berdasarkan dari hasil Observasi yang telah dilakukan maka dapat diketahui jenis-jenis kerusakan dan pelapukan yang terjadi yaitu sebagai berikut;

  1. Analisa Tingkat Kerusakan

Kerusakan yang terjadi pada Kompleks Makam Latenri Ruwa pada umumnya disebabkan oleh faktor lingkungan dan manusia (vandalisme), Kerusakan mekanis adalah kerusakan terhadap bahan baku makam yang diakibatkan oleh gaya-gaya mekanis seperti gempa, tekanan, tanah longsor, dan banjir. Gejala-gejala yang nampak pada kerusakan ini adalah terjadinya keretakan, kemiringan, pecah, dan kerenggangan pada komponen batu makam atau struktur makam.

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan terhadap objek makam yang terdapat di dalam kompleks maka Latenri Ruwa maka diketahui kerusakan yang terjadi yaitu berupa retakan yang terdiri dari retakan kecil, sedang dan besar. Retakan yang kebanyakan terjadi pada pinggir nat dan tengah batu yaitu retakan besar, sedang dan kecil. Retak yang dimaksud adalah keretakan pada bagian dinding makam yang masih berupa garis halus namun lama kelamaan retak tersebut dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih fatal berupa patah bahkan hilang. Sedangkan pecahan yang terjadi pada kedua makam tersebut yaitu pecahan kecil dan pecahan besar, pecahan yang kebanyakan terjadi pada kedua makam tersebut yaitu pecahan yang terjadi pada sudut dan tepi batu, sedangkan pecahan kecil tidak separah dengan pecahan besar.

  1. Analisa Tingkat Pelapukan

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan pada kompleks makam Latenri Ruwa, maka dapat diketahui jenis pelapukan yang terjadi pada kompleks makam Latenri Ruwa khususnya pada bangunan makam yang terdapat didalam kompleks makam tersebut. Pelapukan yang terjadi pada bangunan makam yang terdapat pada kompleks makam Latenri Ruwa yaitu pelapukan secara fisis, khemis dan biotis.

  1. Pelapukan secara fisis

Pelapukan secara fisis terjadi akibat naikturunnya suhu dan perbedaan kemampuan memuai (mengembang) dan mengerut dari mineral-mineral yang berbeda pada bahan baku makam. Kekuatan yang berbeda menyebabkan bahan baku makam menjadi rapuh dan mudah hancur.

  1. Pelapukan secara khemis

Pelapukan secara khemis yang terjadi pada bahan baku (batu) makam di kompleks Makam Latenri Ruwapada umumnya disebabkan oleh proses hidrolisa, oksidasi, karbonasi, hidrasi, atau reaksi kimia yang lebih kompleks. Pelapukan yang terjadi secara hidrolisa yaitu disebabkan karena adanya reaksi antara ion H+ dan OH dari air atau H2O dengan unsur-unsur atau ion-ion yang terdapat didalam batuan atau mineral. Hidrolisa dalam pelapukan khemis sangat tergantung pada banyak air yang ada serta tingkat keasamannya. Selain terlibat langsung dalam reaksi hidrolisa, air juga berfungsi sebagai bahan pelarut bahan hasil pelapukan batuan. Kelarutan hasil pelapukan ini dipengaruhi oleh tingkat keasaman air yang menghasilkan reaksi sebagai berikut :

3H2O + 3CO2                 H2CO3 + 3H+ + CO 2- +HCO3 ……………………..(1)    

Pengaruh pH terhadap kelarutan Al 2O3 dan SiO2. pada pH > 10, Al 2O3 dan SiO2 dapat larut dalam air, sehingga hidrolisa pada pH tersebut, mengakibatkan sebagian senyawa ini terbebaskan di dalam larutan. Pada pH antara 4-10, AlO3 praktis tidak terbebaskan, sedangkan SiO2pada interval pH ini dapat terbebaskan dalam larutan.

Pelapukan khemis yang terjadi secara oksidasi yaitu dimana pelapukan yang terjadi pada bahan baku makam yang terjadi akibat penggabungan oksigen dengan bahan yang mengalamipelapukan. Dalam hal ini, bahan yang mengalami oksidasi melepaskan elektron ke oksigen yang selanjutnya berubah menjadi ion. Sebagai contoh adalah reaksi oksidasi pipit FeS,

2FeS 2 + 2H2O + 7O2                        2FeSO 4 +2H 2SO 4……………………………..   (3)

Dalam reaksi tersebut di atas, ion oksigen bergabung dengan ion sulfida menghasilkan ion sulfat. FeSO4 dapat mengingat 7H2O sehingga menjadi melanterit, FeSO4 .7H2O

FeSO4 + 7H2O                   FeSO4. 7H2O   ………………………………………. (4)

FeSO4 yang menghasilkan dari persamaan reaksi (3) mungkin akan teroksidasi lebih lanjut dan menjadi kokuimbit.

12FeSO4 + 3O2 + 36H2O             2Fe2O3 + 4Fe(SO4)3. 9H2O ……………. (5)

Dapat pula FeSO4 yang terbentuk mengalami hidrolisa menghasilkan asam sulfat dari besi (II) hidroksida. Besi (II) hidroksida ini tidak stabil dan dapat terokdasi menjadi besi (III). Hidroksida, dengan melepaskan air menjadi limonit. Dalam hal ini reaksi dapat berlangsung terus menerus, karena sulfida bebas yang terbentuk dari reaksi di atas akan teroksida membentuk gas SO2 yang dapat teroksidasi lebih lanjut menghasilkan asam sulfat, bila bereaksi dengan oksigen dan air.

Pelapukan khemis yang terjadi Secara Karbonasi merupakan suatu proses pelapukan batuan ini adalah penggabungan ionkarbonat atau bikarbonat dengan bahan bumi. Proses ini berlangsung dengan perantaraan air yang mengandung CO2. Air hujan akan melarutkan gas CO2 dari udarasehingga setibanya di bumi akan bersifat asam. Keasaman ini bertambah apabila mendapat penambahan CO2 hasil peruraian bahan organik CO2 dalam air akan mengalami reaksi sebagai berikut:

3HO2 + 3CO2                          H2CO3 +3H++CO32 – + HCO3  …………. (6)

Sedangkan pelapukan yang terjadi secara Hidrasi proses pelapukan batuan ini adalah proses masuknya molekul air kedalam mineral untuk membentuk mineral baru. Sebagai contoh adalah reaksi hidrosi kalsium sulfat dengan air berikut ini :

CaSO4 + 2HO                    CaSO4.2H2O …………………………………….. (7)

 Pelaksanaan Konservasi

  1. Persiapan Alat dan Bahan

Langkah awal yang dilakukan sebelum pelaksanaan konservasi adalah mempersiapkan peralatan dan bahan yang akan digunakan yaitu antara lain;

  • Bahan dan perekaman yaitu kamera digital, baterai dan alat tulis (buku dan pulpen).
  • Peralatan konservasi seperti; timbangan digital, gelas ukur plastik 1 Liter, beacker glass 500 mL, gelas ukur 100 mL, sprayer, sapu lidi, dolet bambu, masker, kaos tangan, gayung, sikat, jerigen, tenda, ember, kaca mata, baju praktek, Roll meter 30M, selang 50 M dan kuas.
  1. Bahan konservasi yang digunakan pada kegiatan Konservasi Kompleks Makam Latenri Ruwa antara lain ; Amonium Bicarbonat (NH4HCO3) ; Sodium Bicarbonat (NaHCO3) ; Ethyl Diamine Tetra Amine (EDTA); Carbon Methyl Celulosa (CMC) ; Arkopal, dan Air.
  2. Bahan Anti lumut, Hyamine.

 b.   Perawatan

Jenis perawatan yang dilakukan pada Kompleks Makam Latenri Ruwa meliputi pembersihan mekanis, pembersihan khemis dan perbaikan dilanjutkan dengan pengukuran volume pengerjaan. Berikut akan diuaraikan secara rinci mengenai jenis-jenis kegiatan yang dilakukan yaitu antara lain;

  1. Pembersihan Mekanis

Pembersihan secara mekanis merupakan langkah awal yang dilakukan pada saat pelaksanaan kegiatan konservasi. Hal ini dimaksudkan untuk membersihkan segala macam bentuk akumulasi debu, tanah, lempung, kotoran-kotoran lain serta mikrooganisme yang ada pada bagian-bagian makam seperti jirat, nisan dan gunungan. Pembersihan mekanis dilakukandengan menggunakan peralatan seperti sapu lidi, kuas, scapel, solet bambu dan kuas.

  1. Pembersihan secara Khemis

Pelapukan yang terjadi pada batu makam Kompleks Makam Latenri Ruwa, lebih dominan disebabkan oleh pelapukan biotis yaitu, lumut (moss), ganggang (algae) dan jamur kerak (lichen). Namun persentasi untuk pelapukan karena jamur kerak (lichen) lebih besar dibanding penyebab pelapukan biotis lainnya. Pembersihan secara khemis ini dimaksudkan untuk menghilangkan jamur kerak/ Lichen yang melekat pada batu makam dengan menggunakan AC 322. Pembesihan basah, pembersihan ini dimaksudkan untuk menghilangkan tingkat keasaman setelah pengolesan larutan AC 322 dengan cara permukaan makam dibilas menggunakan air, hingga air pencucian menjadi pH netral (pH = 7).

3.   Pengawetan

Pengawetan ini dimaksudkan untuk menghambat pertumbuhan lumut (moss), dengan menggunakan hyamine 2 %. Adapun prosedur kerjanya yaitu pertama-tama mempersiapkan bahan dan peralatan yang diperlukan, kemudian meniter hyamine ke dalam gelas ukur sebanyak 20 mL yang selanjutnya dituang ke dalam wadah berisi 10 L air. Larutan kemudian disemprotkan ke bagian-bagian makam pada Kompleks Makam Latenri Ruwa.

Pasca Konservasi

Langkah terakhir yang dilakukan setelah semua kegiatan perawatan dilaksanakan adalah pengukuran atau perhitungan volume kegiatan, pendokumentasian secara menyeluruh serta pembersihan peralatan.

  1. Pembersihan secara mekanis dilakukan pada permukaan bagian-bagian makam, seperti jirat, gunungan dan nisan serta dinding-dinding Kompleks Makam      Latenri Ruwa. Alat yang digunakan pada kegiatan pembersihan mekanis ini yaitu sapu lidi, kuas, sikat, solet bambu, masker dan sarung tangan. Dari hasil kegiatan tersebut, volume pembersihan mekanis adalah sebesar 1403,76 m².
  1. Pembersihan secara Khemis, menggunbakan larutan AC 322 dengan menggoleskan pada permukaan-permukaan makam dengan volume pembersihan sebesar 1430 m². Aplikasi penggunaan larutan AC 322 dilakukan sebanyak 2 kali pengolesan, hal ini mengingat kondisi pertumbuhan biotis seprti algae, moss serta Lichen permukaan makan cukup tinggi sehingga apabila aplikasi bahan dilakukan hanya sekali pengolesan tidak menembus ke akar-akar algae dan moss.
  1. Pengawetan yang dilakukan pada Kompleks Makam Latenri Ruwa dengan menyemprotkam larutan hyamine konsentrasi 2 %. Volume kegiatan ini sebesar 1200 m².

Kesimpulan

  1. Pembersihan mekanis dilakukan pada Kompleks Makam Latenri Ruwa Kegiatan ini mencapai volume pengerjaan seluas 1.403, 76 m².
  2. Pembersihan secara Khemis, menggunbakan larutan AC 322 dengan menggoleskan pada permukaan-permukaan makam dengan volume pembersihan sebesar 1.430 m². Aplikasi penggunaan larutan AC 322 dilakukan sebanyak 2 kali pengolesan, hal ini mengingat kondisi pertumbuhan biotis seperti algae, moss serta Lichen permukaan makan cukup tinggi sehingga apabila aplikasi bahan dilakukan hanya sekali pengolesan tidak menembus ke akar-akar Algae dan Moss.
  1. Pengawetan yang dilakukan pada Kompleks Makam Latenri Ruwa dengan menyemprotkam larutan hyamine konsentrasi 2 %. Volume kegiatan ini sebesar 1.200 m².

Saran-saran

  1. Juru pelihara yang bertugas pada Kompleks Makam Latenri Ruwa Kabupaten Bantaeng, Propinsi Sulawesi Selatan sebaiknya melaksanakan tugas secara maksimal, tidak terbatas pada situsnya atau pemeliharaan taman, tetapi lebih kepada pemeliharaan obyek yaitu pada batu makam agar keterawatan makam lebih terjaga dari berbagai macam pertumbuhan jasad renik sehingga makam yang telah dikonservasi tetap awet dan bersih.
  2. Kegiatan konservasi hendaknya diikuti dengan kegiatan evaluasi hasil konsrrvasi secara pisik yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas penggunaan bahan kimia dan tingkat kerusakan yang lanjut.
  3. Kegiatan konservasi hendaknya dilakukan sekali setahun