Kesultanan Tidore sebagai sebuah kesatuan wilayah yang cukup besar, meliputi daerah yang sangat luas hingga ke Papua. Terdapat hal yang bertahan dari gempuran kebudayaan modern di kawasan inti kesultanan dan kawasan-kawasan yang umumnya dikenal sebagai kawasan adat atau kampung tua. Dalam artikel ini kita akan membahas Kampung Tua Soasio.
Soasio dalam konteks kekinian, secara administratif merupakan ibukota Kota Tidore Kepulauan. Dalam konteks budaya, Soasio adalah ibukota Kesultanan Tidore yang keempat. Sebelumnya ibukota kesultanan berpindah dari Rum ke Mareku, selanjutnya Toloa, dan terakhir Soasio pada masa pemerintahan Sultan Saifuddin atau Jou Kota (1657 – 1689). Soasio juga dikenal dengan nama Limau Timore atau kota matahari terbit.
Soasio sebagai sebuah nama tempat, hampir selalu ditemukan di wilayah Maluku Utara, juga Maluku. Menurut Leirissa (1996) istilah Soasiu biasanya digunakan untuk negeri induk setiap distrik di Halmahera. Begitupun di Pulau Tidore, disebut sebagai negeri utama dalam dokumen VOC. Dan adapun istilah negeri menurut Fraasen (1987) dalam Widjojo (2013), memiliki fungsi sebagai entitas yang berkaitan dengan organisasi sosial politik.
Widjojo (2013) mendeskripsikan Negeri Soa Sio pada abad ke-17 dan ke- 18 sebagai berikut. Penduduk pulau diorganisir ke dalam suatu permukiman yang terdiri dari sejumlah kampung dan soa. Pusat pemerintahan terletak di negeri utama Soa Sio. Di depan Kota Soa Sio terdapat tebing karang dan bebatuan. Tempat berlabuhnya memiliki kedalaman sekitar 30 fathom (54,9 meter) dengan pasir kurang dari 400 meter. Terdapat arus pecah akibat adanya muara sungai di tempat berlabuh. Tidak jauh dari istana, berdiri sebuah benteng Belanda bernama Tahula. Negeri Soa Sio, tidak termasuk istana terdiri dari 18 kampung. Dua di antaranya adalah Kampung Cina dan Kampung Jawa (kadangkala disebut Kampung Makassar). Selain Soa Sio, terdapat empat negeri lainnya; Jonganjili, Marieko, Toloa, dan Gurabati. Total jumlah kampung di ke-empat negeri adalah 27.
Dalam Leirissa (1996), dijelaskan juga mengenai kondisi Soa Sio pada awal abad ke-19. Susunan perumahan di Soasio setelah dibangun kembali pada 1810, sebelumnya Kedaton Soasio sempat dibakar oleh Belanda pada 1806. Terdapat dua deretan rumah masing-masing dengan sekitar 35 buah rumah yang berpekarangan luas dan dihuni oleh orang-orang yang secara fungsional berkaitan dengan kedaton. Hiasan-hiasan pada pintu rumah-rumah penduduk kampung tersebut menjadi indikasi dari status sosial para penghuninya. Pada rumah-rumah kaum bangsawan pintunya dihiasi semacam perahu yang letaknya terbalik dan terbuat dari kayu (lambang gunung) sedangkan pada orang biasa hanya terdapat semacam jendela segiempat saja (lambang laut).