Masjid Kesultanan pertama adalah Sigi Lamo yang dibangun di dekat Benteng Gamlamo, yang terbuat dari kayu. Sigi Lamo dipindahkan sekitar 100 meter dari lokasi awal oleh Sultan Khairun. Bahan kayu diganti dengan batu sehingga menjadikan Sigi Lamo tersebut sebagai masjid pertama yang berwujud bangunan semi permanen. Ketika Spanyol terusir dari Ternate, Sigi Lamo dan bangunan lainnya dibakar. Menurut Valentijn, Sigi Lamo dibangun pada 1679 sedangkan kedaton dibangun lebih dulu pada tahun 1673.
Saat terjadi kebakaran besar pada 1705, Sigi Lamo pun hangus. Kemudian Kaicil Toloko kembali membangun Sigi Lamo dengan material kayu dan tetap mempertahankan desain arsitektur sebelumnya yang terdiri dari tiga tumpang pada atapnya dan berlokasi di Kedaton Limau Jore-Jore, Kasturian. Pada tahun 1818, Sigi Lamo yang dapat kita lihat hingga sekarang ini kembali dibangun oleh Sultan Muhamad Zain (Kelurahan Soa Sio).
Dinding masjid diganti memakai batu, dengan bahan perekat dari campuran kulit kayu dari Pohon Lubiri yang tumbuh di Batu Angus. Atap limasan tiga tumpang tersebut ditambah dua lagi sehingga menjadi lima tumpang. Jika dilihat dari kejauhan nampak seperti tujuh tumpang. Sejak kematian Sultan Muhamad Zain ini, area lapangan yang ada di sisi barat digunakan sebagai makam kesultanan.
Kini bangunannya dicat dengan nuansa krem dan hijau. Bangunan utama masjid ini terdiri dari ruang utama yang berfungsi sebagai ruang shalat lengkap dengan mihrab, mimbar, tempat shalat sultan (masyuro), dan serambi. Selain itu ada tempat wudhu dan sumur pada bangunan utama masjid ini. Elemen pendukung terdiri dari gerbang utama, gerbang samping, kolam, makam, bangunan dan dapur pengurus masjid. Pada mulanya, masjid ini hanya diperuntukkan tempat ibadah bagi kaum pria sedangkan bagi kaum wanita beribadah di mushola yang tidak jauh dari Sigi Lamo.
SumberĀ : Asriani, Sherly, Ridwan, Barjiyah, Umi, Sejarah Masjid Sultan Moloku Kie Raha. Makassar: Pustaka Refleksi, 2015
Foto dan video : Feri Latief