Selain Ekskavasi Penelusuran Benteng Nassau yang dilakukan pada pada 19-29 Februari 2016, ada kegiatan lainnya yang dijalankan secara bersamaan dalam rangka pelestarian cagar budaya. Kegiatan tersebut adalah Klarifikasi Kepemilikan Lahan di sekitar Cagar Budaya yang dikerjakan tanggal 19-25 Februari 2016. Sesuai dengan judulnya, kegiatan ini bermaksud untuk memetakan kondisi kepemilikan lahan yang bersebelahan atau berdekatan dengan cagar budaya yang ada di Pulau Neira, Kecamatan Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku.
Dengan dilakukannya klarifikasi kepemilikan lahan maka diharapkan masyarakat yang berdomisili di sekitar benda cagar budaya dapat memberikan sumbangsih pemikiran khususnya dalam merumuskan regulasi tata kelola lahan dalam rangka pemanfaatan dan pengembangan cagar budaya di Pulau Neira secara spesifik dan Kecamatan Banda Neira secara umum.
Setidaknya sejak abad ke ke-15, Kepulauan Banda Neira yang berpusat di Pulau Neira menjadi primadona dalam perdagangan rempah-rempah dunia karena merupakan tempat asal dari tumbuhan pala (Myristica fragrans). Bersama dengan cengkeh dari Maluku Utara, khasiat dan kegunaan pala menjadikannya sebagai salah satu komoditi dagang yang paling diminati dan oleh karenanya membuat harga komoditi ini menjadi sangat mahal. Konsekuensi dari keberadaan pala di Kepulauan Banda Neira adalah penjajahan silih berganti dari penguasaan Bangsa Portugis hingga Pemerintahan Hindia Belanda. Para kolonialis mewariskan begitu banyak tinggalan baik secara fisik maupun non fisik yang dapat ditemui hingga saat ini.
Khusus di Neira, potensi bangunan cagar budaya tersebar merata di pulau yang memiliki luas kurang lebih 19 kilometer persegi ini. Klarifikasi kepemilikan lahan dilakukan di sekitar bangunan cagar budaya yang ada di Pulau Neira yaitu Benteng Nassau, Benteng Belgica, Gereja Tua, Istana Mini, Rumah Kapten Christopher Cole, Rumah Pengasingan Bung Hatta, Rumah Pengasingan Syahrir, Rumah Pengasingan dr. Cipto Mangunkusumo, dan Rumah Pengasingan Iwa Kusuma. Dari hasil klarifikasi, diketahui bahwa terdapat beberapa lahan atau rumah yang sudah dibangun dan peruntukannya secara langsung merusak bangunan cagar budaya. Selain itu, juga terdapat beberapa rumah atau lahan yang berbatasan dengan bangunan cagar budaya namun tidak memiliki kejelasan kepemilikan sertifikat tanah. Secara keseluruhan, warga tidak mempermasalahkan jika nantinya rumah atau lahan yang dimilikinya digunakan untuk kepentingan pelestarian cagar budaya di Pulau Neira.