You are currently viewing Urutan Pembangunan Candi-Candi Di Dieng

Urutan Pembangunan Candi-Candi Di Dieng

Di dataran tinggi Dieng saat ini dijumpai tinggalan purbakala yang dahulu digunakan sebagai pusat kegiatan keagamaan, baik berupa candi sebagai bangunan suci, bangunan profan, dan arca-arca lepas. Nama yang diberikan kepada candi-candi tersebut berasal dari nama para pahlawan dan panakawan di dalam cerita Bharatayudha. Menurut Kempers nama tersebut mungkin diberikan pada permulaan abad XIX. Saat ini, terdapat sekitar sembilan bangunan yang masih tersisa, seperti Candi Bima, Candi Dwarawati, Candi Gatutkaca dan Candi Setyaki serta Kelompok Candi Arjuna yang terdiri dari Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, Candi Sembadra, dan Candi Semar.

Candi Bima yang dibangun sekitar abad VII-VII M masih menunjukkan pegaruh India yang kuat. Hal ini ditunjukkan dengan bentuk atap yang terpengaruh oleh dua gaya dari India, gaya India Utara tampak pada atap yang berbentuk menara tinggi (sikhara), sedangkan gaya India selatan ditunjukkan dengan adanya atap bertingkat dengan menara-menara sudut dan relung berbentuk tapal kuda dengan hiasan berupa arca kudu. Meskipun masih terpengaruh gaya India, namun hal itu menjadi satu keistimewaan yang dimiliki oleh Candi Bima, karena sampai saat ini gabungan dua gaya itu hanya dijumpai pada candi tersebut. Sayangnya keterawatan Candi Bima cukup mengkhawatirkan karena pengaruh uap belerang menyebabkan batu-batu penyusun candi menjadi sangat rapuh.

Candi Arjuna dibangun sejaman dengan Candi Bima dan juga menunjukkan pengaruh dari India yang masih kental, pengaruh tersebut terlihat dari bentuk atap yang bertingkat dan menara-menara di setiap tingkatan atap. Keistimewaan yang dapat dilihat di Candi Arjuna adalah adanya spout makara di bawah relung  dinding sisi utara. Makara tersebut berfungsi untuk mengalirkan air atau cairan lain yang dituang pada lingga yang berada di atas lapik di dalam bilik utama.  Candi Semar juga dibangun pada abad VII-VIII dan menunjukkan pengaruh India. Candi ini mengambil bentuk bangunan mandapa yang berfungsi sebagai tempat pada peziarah dalam acara festival.

Candi-candi yang dibangun kemudian seperti Candi Srikandi, mulai memunjukkan gaya lokal dengan mulai terlihatnya relung di tubuh candi dan menara atap. Perkembangan gaya selanjutnya dapat dirunut melalui candi Candi Puntadewa, Candi Sembadra, dan Candi Dwarawati relung dan menara atap semakin terlihat jelas. Sedangkan gaya lokal Dieng ditunjukkan oleh Candi Gatutkaca dengan relung yang sangat tegas dan atap yang menyatu dengan bangunan.

Candi-candi lain seperti Candi Parikesit, Candi Antareja, Candi Nakula, dan Candi Sadewa sekarang hanya tinggal nama saja atau tinggal berupa pondasi candi. Namun, Candi Setyaki yang terletak di dekat Kompleks Candi Arjuna pada tahun 2008 mulai dipugar. Meskipun demikian, pemugaran baru sampai pada bagian kaki candi sedangkan bagian tubuh untuk saat ini belum ditemukan sehingga belum diketahui gaya atau arsitektur candi tersebut seperti apa. Demikian pula dengan Ondho Budho dan Tuk Bima Lukar, kondisinya sudah tidak lengkap lagi, konon para peziarah yang datang harus melewati tangga untuk masuk ke kompleks kegiatan keagamaan (Ondho Budho) kemudian bersuci di pancuran air (Tuk Bimo Lukar) baru menuju ke candi. Sedangkan istilah Bale Kambang dan Gangsiran Aswatama mungkin dahulu berfungsi sebagai saluran untuk membuang genangan air yang menutupi halaman Kompleks Candi Arjuna.