You are currently viewing Tandu Dan Jodang, Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya

Tandu Dan Jodang, Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini ditampilkan di laman ini.

Tandu adalah salah satu alat transportasi dari kayu yang menggunakan teanaga manusia. Tandu terdiri atas bagian untuk mengangkut serta bagian yang digunakan oleh para pengangkut untuk membawa tandu. Bagian untuk mengangkut bentuknya bervariasi, yang paling sederhana dibuat dari anyaman tali, bambu, atau papan, bentuk lain berupa kursi dengan berbagai macam hiasan, dan bentuk seperti rumah kecil. Bagian yang untuk mengangkut tandu pada umunya berbentuk seperti tongkat, dan tenaga yang mengangkut tandu memegangi tongkat pengangkut, bukan pada tandunya. Jumlah tenaga yang mengangkut tandu tergantung dari besar kecilnya tandu, bisa dua orang sampai dengan delapan orang. Tandu, pada masa Islam disebut joli, digunakan untuk mengangkut manusia, sedangkan tandu yang digunakan untuk mengangkut barang disebut jodang.

Tandu mungkin sudah dikenal sejak jaman prasejarah, karena merupakan alat trasnportasi yang paling sederhanan sebelum roda dikenal. Akan tetapi, bukti nyata mengenai keberadaan tandu pada masa prasejarah tidak ditemukan. Bukti tertua pemakaian tandu dapat ditemukan pada relief Candi Borobudur (abad IX TU). Melalui relief candi tersebut diketahui berbagai macam bentuk tandu, juga diketahui bahwa tandu hanya digunakan oleh golongan bangsawan pada masa melakukan perjalanan, jika tidak menunggang kuda, gajah, atau naik kereta. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, tandu masih digunakan oleh keluarga kerajaan dan para bangsawan lainnya pada waktu melakukan perjalanan ke daerah, yang tidak dapat dijangkau oleh kuda atau kereta. Para putri kraton juga sering menggunakan tandu jika melakukan perjalanan yang tidak terlalu jauh.

Pada masa itu, terlebih lagi ketika pengaruh barat masuk, tempat duduk pada tandu diberi variasi, termasuk busa yang biasa digunakan untuk mebelair Eropa agar supaya yang mendudukinya menjadi nyaman. Di Keraton Yogyakarta, Pakualaman, Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarta tandu diperlakukan sebagai benda pusaka, seperti kereta, sehingga diberi julukan dengan sebutan Kanjeng, Kyai atau Nyai, serta diupacarai pada waktu-waktu tertentu. Data etnografis yang berhasil dikumpulkan memberikan bukti bahwa tandu sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan yang tidak dapat dicapai kedaraan, misalnya di daerah Wanakriya (Batang).

(foto Kasunanan Surakarta)