Siwa-Parwati

Perwujudan Siwa yang lain adalah yang digambarkan bersama sakti-nya, Parwati. Terdapat dua kategori penggambarannya, yaitu yang an-iconic sebagai lingga-yoni dan yang ikonik dalam wujud antropomorfik. Dalam wujud antropomorfik, Siwa dan Parwati dapat digambarkan dalam wujud dua individu yang terpisah atau satu individu yang bersifat androgini. Ardhanariswara (ri) adalah wujud androgini dari Siwa dan Parwati. Dalam hal ini, Siwa diarcakan separuh bagian di sisi kanan, sedangkan separuh bagian yang kiri adalah sakti-nya, Parwati. Keberadaan Ardhanariswara dilatari oleh konsep yang tidak berbeda dengan lingga-yoni, yaitu sebagai simbol bersatunya energi kreatif yang bersifat menciptakan. Pendapat lain menengarai bahwa keberadaan ikon Ardhanariswara menjadi penanda munculnya sinkretisme antara sekte Saiwa dan shakta, yaitu aliran yang memuja sakti dewa. Asumsi ini tampaknya dapat dikaitkan dengan mitologi yang melatari lahirnya ikon Ardhanariswara.

Dikisahkan bahwa di kahyangan Siwa, di Gunung Kailasa, Siwa dan Uma duduk di atas singgasana. Dewa Brahma, Wisnu, serta para resi datang untuk memberi penghormatan kepada mereka. Salah seorang resi, bernama Bhrengi, ikut memberi hormat, tetapi hanya kepada Siwa dan tidak mempedulikan Parwati. Akibatnya, Parwati murka dan mengambil kesaktian sang resi. Untungnya Siwa menolong sang resi dan mengabulkan permohonan Parwati untuk meleburkan diri dengan Siwa, supaya memdapatkan penghormatan yang sama.

Ardhanariswara sepertinya bukan merupakan ikon yang populer pada periode Jawa Tengah Kuna. Penggambaran Siwa dan Parwati sebagai dua individu yang terpisah lebih populer. Meskipun digambarkan sebagai dua individu yang berbeda, akan tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, merupakan binari oposisi yang keberadaannya saling melengkapi. Apabila Siwa diibaratkan sebagai energi maka Parwati adalah kekuatan yang menjadi pemicu bagi energi tersebut untuk menghasilkan karya kreatif secara maksimal.

Di India, penggambaran pasangan Siwa dan Parwati termasuk populer. Mereka dijadikan simbol keluarga idaman, karena dalam penggambaran tersebut Siwa menjadi simbol suami ideal. Tidak hanya itu, pasangan Siwa dan Parwati ini pun menjadi simbol kesetaraan jender. Periode Jawa Tengah Kuna menghasilkan beberapa arca yang menggambarkan pasangan Siwa-Parwati, setidaknya yang ditemukan di Dieng, Klaten, Gua Seplawan Purworejo, dan Candi Mantup.

Arca Siwa-Parwati yang ditemukan di Dieng, kondisinya tidak terlalu baik, terutama karena arca tersebut aus, sehingga atributnya pun sukar diidentifikasikan. Atribut yang masih tampak adalah kalasa yang dipegang oleh tangan kiri Parwati dan kepala Nandi yang ada di bawah padmasana. Kedua arca yang kepalanya sudah aus ini digambarkan dengan sikap samabhanga. Tangannya masing-masing empat. Akan tetapi, hanya dua tangan Parwati saja yang dapat dikenali, satu tangan kirinya membawa kalasa dan tangan kanannya menunjukkan sikap waradahasta mudra.

Meskipun kualitas arca Siwa-Parwati yang ditemukan di Dieng tidak terlalu bagus, akan tetapi keberadaannya sangat penting. Setidaknya mengokohkan peranan Dieng sebagai pusat sekte Saiwa pada masa itu. Berkenaan dengan hal tersebut, maka Dieng, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kapuhunan (878 M), disetarakan dengan Kailasa, yaitu gunung suci tempat Kahyangan Siwa berada.

Berbeda dengan arca Siwa-Parwati dari Dieng, arca Siwa-Parwati dari Klaten ini kondisinya sangan bagus. Keduanya digambarkan berdiri di atas padmasana dengan sikap samabhanga. Siwa mengenakan jatamakuta dengan hiasan ardhacandrakapala. Tangannya empat, masing-masing memegang laksana yang terdiri atas aksamala, camara, kalasa, dan tangkai lotus. Pakaiannya berupa kain yang diikat dengan katisutra dan sampur. Perhiasannya terdiri atas kundala, hara, keyura, kangkana, udarabanda, dan padawalaya. Upawita-nya dari pilinan benang.

Sebagai pasangan Siwa, Parwati pun diarcakan mengenakan jatamakuta. Tangannya dua, yang kanan menampilkan sikap waradamudra, sedangkan yang kiri memegang tangkai lotus. Pakaian bawahnya diikat dengan katisutra dan sampur. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas kundala, hara, keyura, kangkana, channawira, dan padawalaya.

Dari segi bahan, arca Siwa-Pawati yang ditemukan di Gua Seplawan, Purworejo ini paling istimewa, karena dibuat dari bahan logam emas. Arca dan padmasana-nya terbuat dari emas, akan tetapi lapiknya dai perak. Siwa dan Parwati digambarkan berdiri di atas padmasana dengan sikap samabhanga. Keduanya digambarkan dengan dua tangan. Satu tangan masing-masing saling berpegangan, sedangkan satu tangan yang lainnya menampilkan sikap waradamudra. Pakaian masing-masing berupa kain, diikat dengan katisutra dan sampul yang disimpulkan di belakang sehingga membentuk seperti kelopak bunga. Perhiasan yang dikenakan Siwa terdiri atas jatamakuta, kundala, hara, keyura, kangkhana, udarabhanda, dan katisutra. Perhiasan yang sama juga dikenakan Parwati, perbedaannya hanya terletak pada pakian yang dikenakan.

Arca Siwa-Parwati Seplawan digambarkan dengan prabha lidah api. Masing-masing arca dinaungi chattra. Prabha dan chattra dibuat terpisah dengan arcanya, dan disatukan dengan teknik patri atau casting-on. Dengan demikian keberadaan arca ini tidak hanya memberikan informasi tentang ritual keagamaan, melainkan juga memperkaya pengetahuan tentang teknik pembuatan arca pada masa Jawa Tengah Kuna (Buku Dewa Dewi Masa Klasik).

siwapar(Arca Siwa Parwati di Goa Saplawan)