Siwa Mahadeva

Mahadeva adalah dewa tertinggi. Oleh karena itu, ketika Siwa digambarkan sebagai mahadewa, maka ia didudukkan sebagai dewa utama yang tertinggi. Di kompleks pencandian Prambanan misalnya, Siwa digambarkan sebagai mahadewa. Dalam hal ini berarti Siwa menempati posisi sebagai dewa utama dalam percandian yang diperuntukkan bagi Trimurti. Hal ini dapat diartikan pula bahwa Siwa menunjukkan tiga fungsinya sekaligus, sebagai pencipta, pemelihara, dan pengembali alam semesta ke asalnya. Kemahadewaan Siwa di Prambanan ditunjukkan pula melalui bangunan candinya yang lebih besar dan lebih tinggi dari candi untuk Brahma dan Wisnu.

            Siwa Mahadewa di Candi Prambanan digambarkan berdiri dengan sikap samabhanga di atas padmasana yang diletakkan di atas yoni. Tangannya empat, sepasang tangan yang di belakang, masing-masing memegang aksamala dan camara. Sementara kedua tangan yang lainnya menampilkan sikap ardhanjalimudra. Laksana yang ditampilkan mahadewa Siwa di Prambanan terdiri atas jatamakuta dengan hiasan ardhachandra kapala, jnananetra, upawita ular, dan ajina yang terbuat dari kulit harimau. Pakaian yang dikenakan dilengkapi pula dengan berbagai abharana, yang khas adalah sampur yang diikat sedemikian rupa sehingga membentuk pita besar di pinggul belakang.

            Arca Siwa Mahadewa lain yang menarik adalah arca perunggu yang ditemukan di

Kricak Lor, Yogyakarta. Arca digambarkan berdiri di atas padmasana dengan sikap samabhanga. Tangannya empat, masing-masing memegang laksana-nya yang terdiri atas aksamala, trisula, camara, dan kamandalu. Atribut lain yang digambarkan adalah jnananetra, jatamakuta dengan hiasan ardhacandrakapala, upawita berbetuk pilinan benang, dan lembu Nandi sebagai wahana-nya digambarkan kecil di bawah kaki kanannya.

            Arca mahadewa Siwa dari Kricak Lor ini digambarkan di atas lapik yang bertingkat dan mempunyai stela, yang bentuknya persegi dan memiliki kepala stela bulat. Kepala pada stela sekaligus juga merupakan prabha yang dikelilingi lidah api. Ciri yang menarik dari arca ini adalah bibirnya di-inlay dengan emas. Lower garment yang dikenakannya pun menarik, tidak berhiaskan kepala dan ekor harimau sebagaimana umumnya pakaian yang dikenakan mahadewa Siwa, melainkan mempunyai motif yang mirip dengan motif lereng pada batik.

            Sebagai dewa tertinggi, Siwa Mahadeva paling sering diseru, bentuk seruan yang paling sederhana adalah “Om nama Siwaya”. Seruan kepada Siwa semacam itu sering dijumpai sebagai kalimat pembuka dalam prasasti. Sejumlah prasasti berbahasa Jawa Kuna yang berasal dari periode Jawa Tengah Kuna menggunakan seruan tersebut sebagai kalimat pembuka, misalnya adalah Prasasti Gandasuli II (810 M) yang ditemukan di Temanggung dan Prasasti Ra Kidan (900 M) yang ditemukan di Dieng. Sebutan lain untuk Siwa Mahadewa adalah Siwa Mahesamurti atau Mahesvara. Meskipun demikian, dalam pengarcaannya memiliki sedikit perbedaan dalam hal atributnya. Sejumlah atribut yang menjadi penanda identitas Mahesamurti adalah angkusa, damaru, ghanta, jambira, khadga, khatwangga, khetaka, parasu, pasa, trisula, dan wajra.

            Keberadaan Siwa Mahadeva juga dikenal di dalam Buddhisme Mahayana, dipuja di dalam mandala Dharmadhatuvagisvara. Dharmadhatuvagisvara adalah sebutan lain untuk Manjusri yang menjadi dewa utama dalam sistem panteon tersebut, yang pada hakekatnya Manjusri adalah juga Brahma, Wisnu, dan Maheswara (Mahadewa). Ciri utama dari Mahadewa yang menjadi bagian dari mandala Dharmadhatuvagisvara adalah sikap tangannya, yang menampilkan anjalimudra. Padahal anjalimudra merupakan sikap yang umumnya digunakan oleh dewa-dewa sub-ordinat, bukan mahadewa. Atribut lainnya adalah trinetra, camara, kapala, dan trisula (Buku Dewa Dewi Masa Klasik terbitan BPCB Jateng).

mahadewaSiwa Mahadewa dari Kricak Lor
(Repro: Fontein, 1990)