You are currently viewing Selanyang Pandang Peninggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung Lawu

Selanyang Pandang Peninggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung Lawu

Lereng barat Gunung Lawu diketahui memiliki beragam tinggalan arkeologi yang dimulai sejak masa Pra Sejarah sampai dengan masa Kemerdekaan. Tinggalan arkeologi masa Pra Sejarah berupa watu kandang , istilah tersebut diberikan oleh masyarakat untuk menyebut suatu susunan batu berbentuk persegi atau rectangular of stones (Junawan, 2016: 4). Situs watu kandang di Kabupaten Karanganyar tersebar di tiga Kecamatan, yaitu Kecamatan Matesih, Kecamatan Tawangmangu dan Kecamatan Kerjo. Situs Watu Kandang di Kecamatan Matesih berada di Desa Karangbangun (Dukuh Ngasinan dan Dukuh Bodagan), Desa Matesih (Dukuh Kedungsari), dan Desa Plosorejo (Dukuh Ploso). Situs Watu Kandang di Kecamatan Tawangmangu terletak di Desa Plumbon (Dukuh Pakem), sedangkan Situs Watu Kandang di Kecamatan Kerjo terletak di Desa Karangrejo (Junawan, 2016: 4).

Berdasar data dari penelitian M. Junawan, tahun 1978 dan 1994, Watu Kandang di Dukuh Ngasinan, Kecamatan Matesih memiliki jumlah paling banyak. Lokasi Situs Watu Kandang di Dukuh Ngasinan secara astronomis terletak pada koordinat 7º 39‟ 17.793 Lintang Selatan dan 111º 03‟ 31.149 Bujur Timur, sekitar 20 km di sebelah tenggara Kota Karanganyar. Situs Watu Kandang sebelah utara dibatasi Sungai Samin, sebelah timur dibatasi oleh jalan desa, sebelah selatan dibatasi oleh Jalan raya alternatif Karanganyar-Tawangmangu, sedangkan sebelah barat dibatasi oleh pemukiman penduduk. Letak Watu Kandang di Ngasinan masih ada yang insitu dan tidak insitu. Secara makro sebaran watu kandang di Kabupaten Karanganyar membentuk pola berkelompok yang berada tidak jauh dari Sungai Samin sebagai salah satu sumber daya alam.
Watu Kandang Ngasinan dapat memberikan gambaran budaya Megalitik manusia pendukungnya dalam konteks sosial-religi yang diwakili dengan elemen formasi watu kandang, Sungai Samin, dan pegunungan (Junawan, 2016: 48). Menurut Darwill (2010: 35), bahwa sumber bahan, monumen dan lanskapnya memiliki keterkaitan yang di dalamnya terkandung arti dan makna. Persebaran Watu Kandang Ngasinan baik makro maupun mikro menunjukkan adanya masyarakat pendukung budaya Megalitik yang banyak jumlahnya. Bagi pendukung budaya Watu Kandang keberadaan Sungai Samin sangat penting karena dapat memenuhi kebutuhan baik kebutuhan air maupun bahan pendirian Watu Kandang. Pendukung budaya Watu Kandang tampak lebih memiliki konsep seperti yang banyakdianut oleh beberapa kelompok etnis di Indonesia.
Konsep mengenai kehidupan setelah mati, telah dikenal oleh masyarakat di Indonesia. Pada masa Pra Sejarah, roh nenek moyang diyakini tetap hidup di alam kehidupannya sendiri, hal itu tergambar dari kebiasaan pemberian bekal kuburpada orang yang meninggal dunia. Selain itu, keyakinan tersebut terefleksi dari bangunan megalitik yang difungsikan sebagai tempat pemujaan roh nenek moyang. Beberapa ahli yang melakukan penelitian terhadap Situs Watu Kandang Matesih, menyimpulkan bahwa watu kandang tersebut berfungsi sebagai tempat penguburan. Berdasarkan adanya temuan artefak yang lazim digunakan sebagai belak kubur. Artefak itu antara lain adalah manik-manik dan gerabah. Asumsi ini didukung adanya feature yang diperkirakan sebagai liang lahat. Namun, hingga sekarangasumsi itu belum didukung oleh temuan tulang rangka manusia. Berdasarkan penentuan umur relatif, Situs Watu Kandang Matesih diperkirakan berasal dari abad IX-XII Masehi. Dengan demikian, Situs Watu Kandang merupakan bukti bahwa budaya megalitik terus dianut hingga masa pengaruh Hindu-Budha berkembang di Pulau Jawa (Buku Peninggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung Lawu).